13.

42 30 4
                                    

Lelaki itu masih asyik duduk di balkon kamarnya. Mengabaikan hawa dingin yang sedari tadi telah menyerang tubuhnya. Kenyataan bahwa kesadarannya kini telah direnggut oleh kertas yang dipegangnya pun rasanya telah menutup indra perasanya. Untuk pertama kalinya, ia tersenyum mendapat satu sobekan kertas.

Biasanya, sobekan kertas yang diberikan berisi pengakuan. Ah, juga berisi kunci jawaban ujian. Namun kali ini, sobekan itu berisi goresan-goresan yang membentuk dirinya.

"Fecilia?" Dahinya mengerut, mencoba mengingat siapa nama gadis itu. Jika tidak salah, gadis itu pernah sekali mengunjunginya saat di rumah sakit.

"Ah, adik Praga!" serunya. Ia mencari ponselnya. Jemarinya dengan lihai menari di sana. Indranya bahkan tidak sempat menangkap sosok yang sedari tadi sudah berdiri di sebelahnya.

"Sedang apa?" teguran dari sang ibu membuat ia hampir menjatuhkan ponselnya.

"Bunda! Sejak kapan ada di sini?"

"Sejak tadi? Fecilia siapa?"

"Ah, Bunda ingat gadis yang sekali menemuiku di rumah sakit? Adiknya Praga?" tanya Janendra. Nada suaranya sedikit meninggi, menampakkan betapa senangnya dia menemukan tempat berbagi ceritanya.

"Felicia! Ada apa dengan gadis itu?" Kiara mengerutkan keningnya. Felicia bukanlah gadis pertama yang putranya ceritakan. Ia pikir gadis yang akan diceritakan oleh putranya adalah Nadia, gadis yang telah lama mencuri perhatian putranya sejak lama. Namun semenjak putranya sadar, ia sama sekali belum mendengar nama itu disebut kembali.

"Bunda lihat! Tadi siang gadis itu memberikan ini. Lucu, bukan?" Selembar kertas yang sedari tadi mencuri perhatian putranya. "Anakmu ini tampan sekali, bukan?" lanjutnya.

Kekehan langsung keluar dari bibir merah muda Kiara. Putranya masih sama. "Putra Bunda yang tampan, ayo makan!"

***

Senyum itu mengembang sejak fokusnya terarahkan pada satu sosok yang tengah asyik dengan laptopnya. Tangannya sibuk menari, menyelesaikan tugasnya. Ia menangkap sosok itu berulangkali menghela nafasnya.

"Fel!" Suara Adrian memecah fokusnya. Seniornya itu dengan langkah santai berjalan menuju gadis yang menarik fokusnya sejak ia membuka pintu cafe.

Gadis itu tersenyum, lalu menyingkirkan tasnya yang sejak tadi menghuni sisi sebelah kirinya, mempersilahkan Janendra dan Adrian yang baru saja tiba untuk bergabung bersamanya.

"Apa kalian sudah saling mengenal?"

"Ah, aku ingat kau pernah datang menjengukku. Adiknya Praga, bukan?" Dengan canggung, Felicia hanya mampu menganggukkan kepalanya. Ia masih merutuki kejadian tempo hari di perpustakaan.

"Lain kali aku ingin karyamu yang lain." Nada menggoda itu terdengar sangat jelas. Adrian yang duduk berhadapan dengan Janendra hanya dapat memicingkan matanya. Lelaki itu sibuk menerka-nerka apa yang dimaksud oleh adik tingkatnya itu.

Adrian lalu memilih untuk menyingkir dari adik tingkatnya itu. Beralasan untuk memesankan mereka makanan juga minuman. Dari jauh matanya menangkap sikap malu-malu tetangganya. Gadis itu nampak tak berani memandang lawan bicaranya. Hal yang baru ia dapati hari ini.

Pesona Janendra memang bukan main.

Namun, hal yang membuatnya semakin tertarik adalah kenyataan bahwa Janendra yang biasanya irit bicara pada lawan jenis, justru nampak sangat menikmati waktunya bersama Felicia. Ia masih menerka sejak kapan gadis itu mulai bersosialisasi kembali.

"Nampaknya tante Giana tidak perlu khawatir lagi dengan anaknya." Giana selalu menanyakan tentang keadaan putrinya pada Adrian. Adrian berharap sosok gadis kecil yang dulu bermain bersamanya perlahan akan kembali lagi.

***

Sunyi. Felicia kembali merutuki keputusannya. Harusnya menolak saat tetangga sekaligus kakak tingkatnya itu menawarkan untuk pulang bersama. Ia pikir, saat tawaran itu datang hanya ada tetangganya dan dirinya dalam satu mobil. Namun nyatanya, Janendra pun ikut duduk di sana.

Janendra masih dilarang menyetir.

Penjelasan dari Adrian cukup masuk akal. Mengingat kecelakaan yang nyaris merenggut nyawanya. Namun, bukankah saat kejadian lelaki itu tidak memegang kendali? Kakaknyalah yang menyetir saat kecelakaan itu.

"Maaf merepotkan." Janendra lalu turun. Menyisakan Adrian dan Felicia di sana.

"Apa?" tanya gadis itu. Ia dapat melihat seringaian dari wajah yang duduk di belakang setir itu.

"Apa kamu menyukainya?" Bukan jawaban yang ia dapat, justru makalah yang cukup tebal yang gadis itu lempar. "Benar?"

"Sudah malam, ayo pulang saja." ujar Felicia sebelum mengalihkan pandangannya keluar jendela. Di sana, ia justru mendapati Janendra yang tengah tersenyum padanya. Tangannya melambai seolah mengucapkan sampai jumpa.

"Tapi jika dengan Janendra, aku pun setuju."

===

Into : You will come again Tomorrow!

Into : You [Proses Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang