sip-yuk

106 17 8
                                    

Lagi, lagi, dan lagi.

Tubuh remaja itu harus kembali memiliki luka baru. Entah mengapa emosi sangat ayah kian hari kian menjadi-jadi.

Hanya karena ia yang bangun sedikit lama pukulan demi pukulan ia terima. Wajah lebam dengan bibir sepucat salju di warnai menggunakan darah. Bahkan rambut pun berserakan dimana-mana.

Telah sepuluh hari ia habiskan hanya dengan berdiam diri di dalam kamar, tak sekalipun berniat kembali ke sekolah padahal waktu untuk ujian makin dekat.

Yang ia lakukan hanya diam, menatap lekat wajah sang adik yang tengah sibuk tidur diatas ranjang.

Rumah terasa begitu sepi, tak ada lagi suara cekikikan Doyoung yang biasanya menggema diseluruh penjuru rumah.

Tak ada lagi teriakan cempreng Doyoung yang memaksa diajak main keluar rumah.

Tak ada lagi senyum cerah juga guyonan garing Doyoung yang selalu menghiburnya kala awan mendung kembali menyelimuti hari.

Tak ada lagi— sudah, hentikan. Sebelum bayang-bayang si kecil kembali membuat air mata tumpah.

"Kim Doyoung, bagaimana makanan disana? Apa enak?"

Junkyu meringis kala salep yang ada di genggaman mengenai luka di kaki. Namun dengan cepat ia tertawa, tak ingin kembali terlihat menyedihkan dihadapan sang adik.

"Doyoung-ah, hyung ingin makan es krim. Doyoung mau tidak? Nanti hyung belikan"

Tak ada jawaban, yang diajak bicara lebih memilih diam menikmati dunianya sendiri.

"Hei Kim Doyoung, hyung sudah sangat sering bilang padamu, jika ada yang mengajak bicara itu harus dijawab. Kalau kau diam saja seperti itu tidak sopan namanya"

Percuma Kim Junkyu-ssi. Karena meskipun kau mengomel sampai mulutmu berbusa tetap tak akan ada jawaban, tak akan ada yang menyahut.

Dan satu-satunya suara selain suara serangga yang tengah kontes menyanyi itu adalah suara yang keluar dari bibirmu sendiri.

"Doyoung-ah, hyung iri padamu, bisa bertemu eomma lebih dulu"

Suara Junkyu makin lirih mendekati akhir kalimat, air mata pun telah menggenang di pelupuk mengaburkan pandangan, siap tumpah kapan saja.

Kenbali hening, Junkyu hanya diam memandangi wajah damai sang adik yang tengah tertidur pulas, sama sekali tak terusik oleh omelannya sejak tadi.

Lagi, memori indah itu terputar di otaknya, memaksa agak air mata tumpah membasahi pipi.

Kim Doyoung, apa yang tengah bocah itu lakukan saat ini? Apa makannya teratur? Apa ia bersenang-senang disana? Apa ia sekali saja merindukan kakaknya?

Pertanyaan demi pertanyaan muncul memenuhi otak Junkyu, membuat tangisnya kian menjadi dengan isakan menyedihkan yang terdengar begitu menyayat.

Sebenarnya apa salah Junkyu dulu? Apa dikehidupan sebelumnya ia adalah seorang psikopat yang membantai satu kota? Atau mungkin ia adalah orang yang telah menghasut terjadinya perang dunia?

Apa begitu? Apa itu alasan mengapa hidupnya kini terasa begitu menyiksa.

Diperlakukan layaknya budak, dipandang seperti hewan yang tak memiliki martabat, dan kemudian satu-satunya alasan untuk bertahan pun direnggut paksa dari dekapan.

Apa begini cara dunia bekerja? Mempermainkan hidup seseorang, lalu tertawa kala darah mulai mengalir, memberi warna pada hidup yang terasa begitu hampa.

Dengan gusar ia membuka laci disamping, meraih sebuah penggaris besi dari dalamnya.

Untuk beberapa alasan, izinkan Junkyu membenarkan perbuatannya kali ini, perbuatan paling menjijikkan yang pernah manusia lakukan.

Tangled [REVISI]Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz