02. Suara anak pertama

76 42 371
                                    

Banyak yang mengatakan enaknya menjadi anak pertama. Namun,  tidak pernah melihat seberat apa beban yang harus ia terima.

Si sulung yang katanya selalu menjadi kebanggaan kedua Orang tuanya dan panutan para Adiknya. Pernah kalian melihat seberapa bimbang ia dalam menghadapi dunia?

Ia ketakutan! Ia takut untuk melangkah manakala apa yang dirinya ambil justru adalah langkah yang salah. Dirinya harus bisa melangkah dengan sempurna agar orang tuanya tidak kecewa dan adik-adiknya tidak ikut merasakan susah yang dialaminya juga.

"Kamu itu seorang kakak! Jadi contoh yang baik untuk adiknya, dong!"

"Kamu itu gimana sih? Jagain adiknya yang benar!"

"Kamu anak pertama, sudah kewajiban kamu untuk bantu orang tua kamu. Kalau bukan kamu, siapa lagi? Adikmu belum cukup umur."

"Kamu kapan cari kerja? Jangan asyik rebahan aja!"

"Cie gajian, bantu bayar kebutuhan rumah. Bantuin bayar pendidikan adikmu juga ya?"

Banyak sekali tuntutan untuk menjadi sempurna sebagai anak pertama. Banyak sekali tanggung jawab yang harus ia terima sebagai anak pertama.

Kemana sandaran kita kala kita lelah? Bercerita kepada ayah dan bunda rasanya kurang nikmat. Bukan tidak bersyukur karena masih memiliki orang tua tapi tidak pernah bercerita.

Namun, kalau ku ceritakan beratnya menjadi anak pertama, mereka pun tidak akan mengerti. Mereka justru hanya berucap, "Sabar, jangan banyak mengeluh tentang itu. Itu belum seberapa dibandingkan nantinya jalan kamu telah menjadi orang tua."

Ya! Aku tahu dan aku sangat faham tentang itu. Tapi, Bu, Yah, bahuku terlalu kecil dan lemah untuk menanggung semuanya seorang diri.

Aku juga butuh tempat bersandar dan mengadu. Sejatinya aku hanya seorang anak-anak biasa yang dituntut untuk mandiri dan dewasa. Padahal, aku juga butuh sepasang telinga juga untuk mendengarkan aku bercerita.

Ketika adik sakit, atau bersedih. Kemana ia berlari kalau bukan pada dekapan hangat kalian? Setelahnya, kemana kalian akan bercerita dan mengeluh kalau bukan kepadaku?

Ibu, ayah, bukan ingin menjadi pembangkang dan durhaka kepada kedua orang tua. Tapi kala kalian mengeluh tentang perekonomian keluarga ketika tengah bersamaku, bukankah artinya kalian ingin aku membantu membangkitkan perekonomian itu?

Aku tidak merasa kalian pilih kasih dalam menyayangi kami. Hanya saja, aku masih merindukan masa-masa dimana aku bebas bermanja. Dewasa itu, melelahkan sekali rasanya.

Aku tidak bisa menikmati masa kecilku dengan sempurna karena ada adik yang harus aku jaga.

Aku tidak bisa bermain dan bergaul di kala remaja karena ada masa depan yang harus aku tata dan ku raih secepatnya.

Begitupun dengan Dewasaku. Berat dan sangat berliku. Kala adik mengeluh, Ia akan berlari kepadaku dan menumpahkan segala bentuk emosi yang ia rasa.

Jika adikku masih memiliki aku untuk ia mengadu, lantas, kemana aku harus mengadu? Aku tidak memiliki siapapun untuk mengeluh lelah serta menunjukkan bahwa aku juga lemah.

Kalian terlalu ber-ekspektasi kalau aku kuat dan bisa mandiri. Kenyataannya? Aku mati! Mati! Mati!

Aku mati-matian berdiri sendiri

Aku mati-matian berusaha sendiri

Aku mati-matian menahan semua beban dan ekspektasi kalian yang menuntut anak pertama harus serba bisa serba sempurna!

Aku juga hanya manusia biasa. Sejatinya, aku juga lemah. Tidak memiliki daya namun harus memikul beban yang sulit digambarkan lewat untaian kata.

Jangankan untuk menjadi sempurna, bisa berdiri di atas kaki sendiri saja rasanya sudah sangat luar biasa.

Ayah, ibu
Bolehkah aku mengeluh? Bolehkah aku menangis dan bersandar pada dekapan hangat kalian? Bolehkah aku mengadu dan bergantung pada kalian, selain pada Sujud ku kepada Tuhan?

Sungguh! Dewasa itu menyakitkan, mandiri itu melelahkan, berdiri sendiri itu rasanya menyiksa sekali. Aku selalu butuh uluran tangan kalian dan Do'a tulus yang senantiasa kalian panjatkan untuk mempermudah langkahku di setiap perjalanannya yang aku tempuh.

Untuk adikku, terima kasih sudah terlahir dan selalu bahagia. Untuk semua bentuk syukur atas apa yang kini engkau rasa dan terima.

Terima kasih karena sudah menjadi setitik harapan untuk
Si sulung ini bangkit. Kenyataannya memang sulit, tapi aku bisa karena engkau ada.

Saat ini, nikmati saja apa yang kau punya dan kamu miliki. Selagi aku masih bisa berdiri, ku pastikan engkau tidak akan pernah merasakan apa yang aku rasa saat ini.

Sakitku, lukaku, tangisku, cukup dibayar dengan kebahagiaan ayah dan Bunda serta senyumanmu yang berharga. Takkan aku biarkan engkau merasakan hal serupa dengan apa yang menimpa kakak.

Sebagai anak pertama, aku tidak bisa bercerita. Namun, aku bisa berusaha untuk memastikan kalian, hidup serba cukup dan baik-baik saja.

Goresan HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang