Kesempatan?

4 3 4
                                    

"Kejar dulu penciptanya, baru ciptaannya. konsekuensi jatuh cinta sama orang
yang paham agama itu yang dirayu
bukan nafsunya, tapi Tuhannya."
-Imama Al-Hafidz

•••

"Aku ketahuan waktu mau ngevideo beliau."

Tawa itu seketika menggelegar. Silva tidak bisa menahan perasaan geli di perut setelah mendengar cerita memalukan Zia ini. Bisa-bisanya dia melakukan hal yang amat memalukan untuk dirinya sendiri.

"Bisa-bisanya? Emang gimana bisa ketahuan?" tanya Silva, sebisa mungkin mereda sisa tawa meskipun gagal.

Sembari memasang wajah jengkel, Zia menarik napas panjang lalu diembuskan perlahan sebelum berkata lagi, "Karena aku nggak sadar flash-nya nyala!"

Lagi-lagi tawa Silva menggelegar hebat, sampai membuat perempuan penyebab tawa tersebut timbul harus memukulnya akibat terlampau kesal. Beruntung rumah Zia sedang sepi, hanya ada dirinya dan Zia sendiri. Kebetulan Eva tengah tertidur pulas di kamar, sedangkan ayah dan ibu si pemilik rumah sedang memiliki keperluan di area luar.

"Nyesel aku cerita kalo diketawain gini! Malunya, loh masih kerasa sampe sekarang!"

Seketika Silva menutup mulut sendiri menggunakan telapak tangan mendengar suara misuh Zia---bermaksud meredam tawa yang masih sahaja sukar dihentikan.

"Ya, maaf. Habisnya lucu banget, sih! Kok, bisa-bisanya kamu nekat ngevideo? Jangan-jangan kamu naksir, ya sama dia?"

Spontan Zia bungkam. Dia langsung memasang wajah datar lantas meringis lebar, seakan baru saja tertangkap basah mencuri sesuatu. Sosok mungil di depannya ini memang paling pintar membaca pikirannya. Maklum saja, mereka berdua sudah saling mengenal cukup lama.

"Cuma sebatas kagum, kok. In syaa Allah nggak bakal lebih dari itu," timpalnya kemudian.

Malam itu, kedua insan berbeda usia satu tahun tersebut tertawa kompak. Menertawakan sesuatu yang hanya mereka berdua yang tahu. Hingga tanpa sadar membuat penghuni kamar Zia menjadi terbangun dari mimpi indahnya.

"Oh, jadi diem-diem kamu naksir Mas Zidan, Zi?"

Sontak bola mata Zia membola lebar saat mendengar suara familier ini. Dia menoleh cepat dan mendapati raga Eva sedang berdiri tegap di ambang pintu kamar.

Sudah dipastikan bahwa sedari tadi perempuan cantik itu menguping. Hingga sekarang, senyum menyebalkan terpatri jelas di bibir merah karena polesan lipstiknya itu.

"Cieee, sejak kapan lo suka sama dia?"

"Kenapa nggak bilang sama gue, sih?"

"Heh!" Zia menatap Eva tajam. "Sttt, jangan keras-keras! Lambemu itu, loh!"

Dia khawatir orang tuanya tiba-tiba pulang dan mendengar percakapan mereka tadi.

"Lambe? Lambe apa?" tanya Eva, malah salah fokus kepada penggunaan kata Zia. Maklum saja dia tidak mengerti, karena kata tersebut terdengar asing dan belum pernah dia dengar di kotanya---Jakarta.

"Lambe itu bibir," kata Silva mengartikan. "Btw, aku mau pulang dulu, deh, ya. Takut kemaleman, hehe."

Zia menghela napas kasar. Hanya bisa mengangguk pasrah dan mengantarkan Silva sampai teras rumah. Dia pun kembali masuk ke dalam rumah setelah motor matic sang empu sudah tidak terlihat lagi oleh indra mata.

Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}Where stories live. Discover now