Dia Zahra

3 2 0
                                    

"Bahkan sang dunia seakan tahu dan ingin membantu menyadarkan jika rasa itu sekedar ujian dari Tuhan." -Zia

•••

Akhirnya pagi ini sesuai permintaan Zidan, Zia menemani calon lelaki itu untuk berkeliling desa. Sesungguhnya dia merasa malas, karena pasti mereka berdua akan cukup canggung. Namun, beruntung Eva dan Silva mau menemani. Hingga setidaknya suasana di antara mereka menjadi lebih terasa nyaman.

"Jadi, Zia ... kamu masih kuliah, ya?" tanya Zahra.

Zia tahu jika basa-basi Zahra ini agar keadaan tidak hening. Alhasil, dia membalas dengan anggukan kepala sebelum disusul pertanyaan balik, "Kalo Mba Zahra sendiri?"

Mendengar namanya dipanggil dengan sapaan 'Mba', Zahra sontak merangkul bahu Zia. Membuat sang empu terkejut, terlebih saat jemari perempuan berhijab persegi empat itu menarik tubuhnya agar merapat. "Panggil Zahra aja, biar kita lebih akrab," katanya. "Kalo aku sendiri nggak kuliah, cuma mondok. Alhamdulillah sekarang lagi ngejar hafalan Al-Qur'an."

Eva dan Silva yang tadinya berada di belakang pun beralih melangkah maju. Eva berdiri di sebelah kiri---tepat di sebelah Zahra, sementara Silva di sisi kanan raga Zia.

"Udah hafal berapa juz, Mba?" tanya Eva penasaran.

Perempuan tanpa hijab itu menatap Zahra dari samping, lalu mata kembali fokus pada ponsel di cekalan. Sesekali dia memotret pemandangan sekitar, sehingga fokus terbagi menjadi dua.

"Alhamdulillah sudah 15 juz. Doain, ya biar bisa genap jadi 30 juz," jawab Zahra diselingi senyum manis.

Sungguh, seketika jantung Zia menjadi berdegup kencang. Dia merasa seperti sedang menaiki roller coaster sekarang. Begitu mengetahui satu fakta ini jika selain cantik, Zahra juga ternyata seorang hafidzah yang di mana membuat rasa insecure dalam diri Zia semakin menjadi-jadi.

"Aamiin." Eva dan Selva kompak merespon demikian, kecuali Zia yang mendadak menatap ke depan disertai sorot kosong.

Silva yang peka dan paham akan perubahan temannya itu langsung berujar, "Mba Zahra di sini berapa lama dan selama di sini tinggal di mana, ya? Maaf kalo pertanyaannya lancang."

Perempuan berhijab instan tersebut sengaja bertanya demikian guna mengalihkan topik seputar tadi. Setidaknya mood Zia tidak merasa kian memburuk.

Namun, respon Zahra malah di luar dugaan. Di mana raut kurang mood Zia justru semakin terpampang jelas di matanya.

"Di sini berapa lama belum tau, ya. Soal tinggal di mananya, aku sama umi Mas Zidan, tinggal satu atap sama Mas Zidan sendiri. Tapi, aman, kok. Kalian nggak usah mikir aneh-aneh. Soalnya Mas Zidan tidur satu kamar sama Mas Adnan," tuturnya memandang orang-orang di dekatnya bergantian.

Pada akhirnya, netra Eva yang tidak sengaja menangkap wajah Zia pun tersadar jikalau perempuan itu tidak enak hati. Dia baru ingat jikalau sosok bercelana hitam bahan kain tersebut memiliki rasa suka terhadap calon Zahra.

"Kalo boleh tau, kamu sama Mas Zidan mau tunangan kapan?" Di luar perkiraan, Zia bertanya semacam ini, seolah sengaja memasukan diri ke kandang macan. Membuat Eva dan Silva diam-diam saling melempar tatapan satu sama lain.

"Kemungkinan setelah Mas Zidan selesai tugas dari sini. Doain juga, ya biar kami langgeng dan bisa lanjut ke jenjang lebih serius!"

Entah Zia sadar atau tidak, Silva merasa jika Zahra sengaja mempertegas jawaban barusan. Dirinya juga menilai bahwa dia sudah mengetahui tentang perasaan Zia terhadap calonnya itu.

•••

Zia dan Eva tampak membawa masing-masing mangkuk ke atas meja makan. Mereka berdua baru sahaja selesai membantu Bu Murni memasak di dapur untuk makan siang. Hingga kini hasil masakan tersebut sudah siap untuk disantap bersama.

"Zi, tolong ambilin itu," ujar Eva menunjuk sup bakso di sisi kiri.

Zia pun mengambil alih mangkuk bening di depan sang ibu. Sebelum dirinya jua ikut mengambil isi di dalamnya setelah Eva.

Tak lama kemudian, sang ayah jua ikut bergabung lantaran pria berperawakan tinggi itu baru sahaja kembali dari tempat bekerja. Ngomong-ngomong soal pekerjaan, beliau bekerja sebagai seorang penengadah hasil panen warga desa. Siapa pun bisa menjual hasil panen sawah kepadanya---terutama padi.

"Ngomong-ngomong, Eva udah ada pacarkah?" Tiba-tiba ibu Zia bertanya demikian, membuat Eva dan Zia sendiri kaget dibuatnya.

"Kenapa tiba-tiba nanya gitu, sih, Mah? Kepo banget!" Zia memanyunkan bibir. Padahal temannya yang ditanya, tetapi dirinyalah yang merasa kesal.

"Biarinlah, Eva aja nggak keberatan." Netra Bu Murni lantas kembali menatap Eva di depan raga.

"Jadi, gimana, Va? Tapi, Tante tebak, sih udah, ya? Keliatan auranya beda dari si jomblo!"

Ketika sorot mata wanita yang telah melahirkannya itu kembali memandang Zia, decakan lirih refleks terlontar. Ibunya ini amat menyebalkan, dia paham betul jikalau beliau sedang menyindir.

"Si Zia emang pemilih banget, Tan. Padahal kemarin temen aku ada yang mau kenalan, tapi malah dia tolak mentah-mentah. Eh, sekarang malah kepincut sama jodoh orang."

Spontan telapak kaki Zia di bawah meja makan menendang sebelah kaki Eva saat perempuan itu berkata seperti barusan. Entah sengaja atau tidak, tetapi ucapannya tadi mampu mengundang huru-hara.

"Jodoh orang?" Ayah Zia langsung menatap Eva meminta penjelasan.

Jelas Eva dan Zia yang menjadi korban seketika panik bukan main. Terlebih saat sang ibu jua meminta penjelasan kepadanya, sampai-sampai kegiatan mengunyah nasi di mulut harus terhenti.

"Nggak ada, kok, Om dan Tante. Tadi aku cuma bercanda aja, hehe." Alhasil, terpaksa Eva berdalih di balik kata bercanda. Pasalnya, mustahil jika dia berkata jujur, sebab jikalau hal tersebut sampai terjadi maka bencana akan datang dari sosok perempuan di sebelahnya ini.

Hingga, kedatangan tamu siang bolong di rumah ini setidaknya membuat topik menyebalkan tadi teralihkan dengan mudah. Namun, seketika Zia merasa seperti jatuh lalu tertimpa tangga pula. Sebab ternyata, tamu barusan tak lain adalah Zidan, lelaki yang secara kasat mata sempat menjadi topik pembicaraan.

"Terima kasih, ya, Mas Zidan," kata Bu Murni tatkala Zidan mengantarkan undangan acara di mushola.

"Nggih, kalo begitu ... saya pamit, Bu."

Namun, baru saja hendak berbalik badan, suara Bu Murni terdengar berkata, "Eh, nanti dulu, Mas. Kebetulan kami lagi makan siang, gimana kalo Mas Zidan sekalian gabung?"

Zia yang mengintip dari balik pintu penghubung ke ruang tamu langsung membulatkan bola mata. Bisa-bisanya sang ibu menawarkan makan siang kepada lelaki yang membuat putrinya patah hati!

"Sebelumnya mohon maaf, Bu. Tapi, tadi saya sudah makan siang. Terima kasih atas tawarannya." Hingga penolakan ini keluar dari mulut Zidan.

"Masak sendiri?"

Dengan senyum tipis, Zidan menjawab, "Calon saya yang masak."

Hingga jangan ditanya bagaimana keadaan hati Zia ketika mendengarnya. Kegalauan yang belakangan ini berusaha dipendam kian menguar seiring ucapan, "Semoga langgeng, ya." Dari sang ibu.

Beliau tidak tahu sahaja bahwa lelaki itulah yang dimaksud oleh Eva sebagai jodoh orang lain.

•••

TBC ⊱🌟

Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}Where stories live. Discover now