Gagal Move On

2 2 0
                                    

"Bahkan ketika mencintai seseorang yang salah saja, kamu bisa setulus itu, Puan."

•••

Zia tampak sedang terbaring nyaman di atas kasur kamarnya. Di tangan, sosok tanpa hijab itu memegang sebuah buku dengan cover perempuan mengenakan hijab instan dengan keadaan menangis di bawah rintik hujan. Sesekali, dia membalik setiap lembar dari novel religi tersebut, sehingga netra bisa membaca bab di mana dia sampai dibuat menangis pilu.

Dia membaca adegan saat sang tokoh utama perempuan mengalami kecelakaan akibat menyelamatkan sosok yang dia sayang, walau lelaki itu sudah menyakiti hatinya melalui cara berselingkuh.

"Bodoh banget! Masa cuma gara-gara cinta sampe rela diri sendiri celaka!" cetus Zia, menghina tokoh utama perempuan terkait sembari sesekali menghapus air mata menggunakan tisu.

Padahal diri sendiri juga bodoh tentang cinta. Sejujurnya Zia merupakan perempuan pintar, menurun dari sang ibu. Bahkan dia pernah masuk tiga besar sewaktu di bangku SMA. Pun IPK-nya di atas 3,5, sehingga kemungkinan untuk mendapat predikat cumlaude masih ada.

"Zi, sarapan dulu!"

"Iya, Mah!" Terpaksa aktivitas membacanya terhenti saat seruan sang ibu mengudara.

Hingga dia buru-buru keluar kamar lalu beranjak ke kamar mandi guna membasuh wajah agar mata sembabnya tersamarkan. Namun, karena rasa penasaran mengenai cerita tadi lebih menumpuk, Zia sampai rela membawa sarapannya ke dalam kamar. Dia membaca novel koleksinya itu seraya melahap nasi goreng buatan sang ibu.

"Hingga pada akhirnya, dia harus rela melihat orang terkasihnya menikah dengan perempuan lain," gumam Zia, membaca narasi menyebalkan pada novel tersebut.

Seketika perempuan berambut bergelombang itu tertegun. Nasi goreng yang tersisa satu suapan sahaja sampai harus terabaikan tatkala sang empu mencoba mencerna kalimat barusan.

"Mirip kisahku, ya? Bedanya kalo aku nggak sampe nikah." Dia lantas tertawa, mengejek diri sendiri yang merasa aneh sekaligus bodoh.

Pada akhirnya, Zia yang awalnya mengira akan menyesal membaca cerita tersebut hingga ending kini malah merasa lega. Pasalnya akhir cerita itu sangat memotivasi, di mana sang perempuan memilih fokus pada karir, sehingga di saat yang tepat dia bertemu jodoh terbaik pilihan Tuhan.

Faktanya menerima takdir yang telah Tuhan tetapkan jauh lebih baik, bukan?

Sebelum meletakan kembali novel koleksinya di rak buku, tak lupa Zia memotret ending cerita itu lalu dijadikan bahan story WhatsApp. Namun siapa sangka, berselang sekitar lima menit kemudian, dia mendapat pesan baru dari seseorang yang me-replay status tadi.

Bola mata Zia spontan membola tatkala membaca pesan yang berasal dari Zidan.

[Kamu sudah sembuh?]

Pertanyaan sederhana, tetapi bisa membuat tubuh Zia merasa panas dingin.

"Kenapa tiba-tiba? Apa dia khawatir?" Debaran jantungnya mengantarkan hati pada gejolak yang sejak laman diri usahakan supaya menghilang. Namun, akibat satu pesan ini, usaha tersebut secepat kilat menjadi sia-sia.

[Nanti malam sudah bisa ngajar?]

Notifikasi kedua tanpa lama langsung Zia baca setelah sebelumnya dibalas, "Alhamdulillah."

Sesungguhnya sampai sekarang dalam benak sana Zia merasa penasaran, apakah Zidan sadar terhadap perasaan sukanya selama ini?

•••

Malamnya Zia berangkat ke mushola sang paman dengan mengendarai motor. Dia diantar oleh sang ayah, mengingat kakinya masih terasa cukup perih.

Hingga setibanya di sana, dia disambut oleh anak-anak yang bersiap untuk mengaji. Namun, Zia tidak menangkap keberadaan sang paman yang kerap kali sudah duduk bersila di depan meja kecil.

"Bi, Paman ke mana, ya?" tanya Zia kepada sang bibi saat wanita itu baru keluar dari dalam mushola---masih mengenakan mukena berwarna putih.

"Paman lagi ada urusan di luar," kata beliau. "Eh, kamu udah sembuh?"

Mendengar pertanyaan ini, Zia refleks memandang kakinya sendiri. Sebenarnya perasaan nyeri masih mendominasi, tetapi dia lebih memilih menjawab, "Udah, Bi."

Meskipun perempuan berpasmina hitam itu baru menyadari satu hal jika Zidan menanyakan pasal keadaannya pagi tadi bukan karena perhatian. Melainkan di mushola ini sedang membutuhkan tenaga mengajar tambahan.

Ternyata, dia yang telah salah sangka dan terlalu percaya diri.

"Mba Zia?"

Zia refleks menoleh kala namanya disebut oleh seseorang. Di depan pintu seberang sana, sosok Adnan terlihat berdiri sembari memandangnya tanpa ada pergerakan guna mendekat.

"Iya, Mas?"

"Kamu udah baikkan?"

Pertanyaan singkat Adnan dijawab anggukan oleh Zia. Andai saja yang bertanya adalah Zidan, pasti hati akan merasa bahagia. Namun, lelaki itu justru hanya memandangnya sekilas melalui kaca jendela dari dalam mushola saat melihatnya di teras.

Memang harus bagaimana lagi, dia diminta datang ke sini sekadar untuk membantu mengajar. Bukan karena perkara lain.

Malam itu terlewati seperti pada umumnya. Zia mengajar juz amma, sementara Zidan dan Adnan mengajar Al-Qur'an, lantas anak-anak yang mengaji kitab diliburkan karena sang paman sedang memiliki urusan penting.

"Pulang jalan kaki?"

Lagi-lagi Adnan yang mengajak berbicara. Lelaki berkoko putih tulang dan bercelana kain hitam itu ikut duduk di sisi teras mushola---pastinya tetap mengambil jarak sekian jengkal demi menjaga batasan di antara mereka.

"Nggak, Mas. Nanti dijemput, tapi mau sekalian solat isya di sini."

Adnan pun mengangguk mengerti.

"Kalo masih sakit, jangan dipaksa dateng ke sini. Biar kaki kamu sembuh total dulu."

Meskipun terjadi interaksi, tetapi keduanya tetap memandang lurus ke depan. Begitu pula dengan Zia, dia membalas, tetapi arah mata menatap ke halaman mushola, "Nggak papa, kok. Ini juga udah mendingan."

Tak berselang lama, suara adzan mulai terdengar dari beberapa tempat. Pertanda muadzin di mushola ini jua harus mengumandangkan seruan serupa.

Adnan pun berdiri dari posisi duduk tanpa Zia ketahui. Saking asik menengadahkan wajah guna menikmati taburan bintang di langit, dia juga tidak menyadari manakala Zidan keluar lalu berdiri di sisi kirinya.

"Maaf, ya?"

Saking fokusnya mengarahkan sorot mata ke atas, Zia terkejut bukan main begitu telinga mendengar suara familier itu. Dia refleks menoleh ke sisi kiri lantas ke samping kanan di mana Adnan beberapa menit lampu mendaratkan bokong. Namun, keberadaan lelaki itu sudah berganti posisi.

Meski sempat kebingungan, Zia tetap menanggapi, "Maaf ... kenapa, ya, Mas?"

"Karena kamu harus bantu ngajar di sini padahal luka kakimu belum sembuh total."

Setidaknya pernyataan ini masih bisa terlontar dari mulut Zidan. Zia kira, lelaki itu fokus mementingkan kepentingan pribadi tanpa memikirkan orang lain.

"Nggak masalah, terima kasih karena udah khawatir, Mas. Eh?!" Tersadar dengan kesalahan kalimat yang terlontar, kedua telapak tangan Zia langsung menutup mulut sendiri.

Dia sangat malu, terlebih saat senyum lelaki bersarung di dekatnya kini terukir jelas---seakan tengah mengejek. Namun, di satu sisi Zia merasa terlena, sebab senyum Zidan tampak amat manis. Sukses membuat keinginan untuk move on kembali gagal kesekian kali.

•••

TBC ⊱🌟

Bismillah, Kamu Jodohku! {SELESAI}Where stories live. Discover now