2. Catur

186 36 36
                                    

Abinawa Kalil. Jika harus aku gambarkan, dia adalah laki-laki bertubuh tinggi namun sedikit bungkuk. Kulitnya berwarna putih kemerahan, kontras dengan iris matanya yang berwarna coklat kekuningan. Rambut dan pakaiannya ditata terlalu rapi dan terlihat kaku sehingga membuatnya terlihat seperti sesuatu yang diprogram.

Aku jelas tidak menyukai penampilannya. Tapi, aku rasa karakternya cukup menarik. Mungkin hidupku kedepannya akan lebih menyenangkan karena aku mempunyai harta rampasan, hasil perang kecil dengan geng Robin, yang bisa terus-terusan aku rampas setiap hari.

Maka mulai besok, aku tidak harus sarapan roti kukus srikaya lagi. Aku bisa memesan salmon donburi!

Keuntungan lainnya, biaya akomodasi bolosku kali ini pun disponsori oleh uang Abinawa. Harusnya, aku rampas juga uang menjijikan yang berasal dari celana dalamnya itu. Toh, aku bisa cuci tangan, atau sekadar menyemprotkan handsinitizer.

Setelah sampai di terminal kota, aku mulai berjalan kaki dan menyusuri tempat-tempat acak sambil menunggu jadwal filmku diputar. Masih ada waktu satu jam setengah lagi untuk bermain-main. Dan tepat di depan sana, aku bisa melihat ada yang sedang bermain catur. Kebetulan sekali! Aku suka menonton permainan catur dan aku juga suka bermain catur.

Ternyata, ada banyak hal yang lebih menarik dari sekedar bemain catur dengan komputer. Lawannya hanya bisa dipilih berdasarkan tingkatan mudah, sedang, sulit dan maestro.

Seperti saat ini. Dalam jarak 10 meter dari tanah tempat aku berpijak, terdapat sebuah warung kecil yang mungkin lebih kecil daripada toilet sekolahku. Di depannya adalah bangku-bangku kayu yang kelihatanya berasal dari kayu jati belanda, dihiasi beberapa pot anggrek hitam yang ditata sebegitu hati-hati dan dipadukan dengan beberapa ornamen lain sehingga terlihat jelas bahwa sang pelaku di baliknya adalah ahli seni ikebana. Tidak mungkin hasil tataan si tukang warung. Atau mungkin, tukang warung tersebut adalah ahli ikebana yang sedang menyamar.

Tapi, jika si tukang warung adalah ahli ikebana, mengapa warungnya ditata secara sembarang? keripik kentang dan kopi instan dibiarkan menumpuk, obat sakit gigi dan pembalut bersayap juga disambung menggunakan staples, lalu santan bubuk dan cairan pembersih lantai disusun bersebelahan.

Bisa jadi, si tukang warung adalah ahli ikebana yang eksentrik. Ya, itu mungkin.

Tidak mungkin!

Ya, mungkin saja.

Tidak mungkin!

Persetan dengan perdebatan kecil di kepalaku, karena yang ingin aku bahas adalah : Kali ini, di warung kecil tersebut aku bisa melihat ada dua orang laki-laki dewasa, berjaket gelembung, sedang bermain catur dan memakan keripik kentang. Jelas sekali terdengar oleh telinga kelinciku, bahwa yang sedang mereka bahas adalah sebuah strategi kecurangan. Mereka terus-menerus berbicara, "Kita akan kaya, kita akan kaya, kita akan kaya!"

Lalu suara tawa pecah dan nyaris membuat warung kecil itu bergetar seperti gempa kecil.

Aku duduk di bangku trotoar sambil menggunakan earphone tanpa mendengar musik atau apapun, aku hanya menjadikannya sebagai aksesoris untuk menguping pembicaraan mereka tanpa perlu terlihat seperti sedang menguping.

Setelah membunuh waktu selama 30 menit, salah satu dari mereka menyadari keberadaanku dan melambaikan tangannya. "Hei!" panggilnya cukup keras. Aku bergegas menghampiri mereka dengan suara berisik yang berasal dari koin receh yang bergesekkan di dalam ranselku.

"Temen sekolahnya anak saya, ya?" Ternyata dia mengenali seragamku.

Yang benar saja! Apakah sekitar 1000 orang lebih murid di sekolahku semuanya adalah anaknya? Dasar bapak-bapak plontos, mirip seperti korek kuping, atau lebih mirip korek api? Ya, lebih mirip dengan korek api karena warnanya coklat.

"Kok gak masuk sekolah?" Tanya si plontos berkemeja kotak-kotak.

"Telat, Pak, gerbangnya udah ditutup." Dan aku tidak berbohong.

Pertama, ini memang sudah telat jika aku kembali ke sekolahku karena jam istirahat pertama pasti sudah habis. Kedua, gerbangnya memang sudah ditutup dan baru akan dibuka lagi setelah bel pulang sekolah berbunyi.

"Dilanjut bolos ya, Nak?" tanya yang satunya lagi. Nah, kalau yang ini, pakai kemeja polos warna putih yang terlalu tipis sehingga aku bisa menerawang bulu ketiaknya dari jauh.

Aku mengangguk.

"Jauh sekali bolosnya..." ucapannya mengambang. "Waktu tempuhnya kurang lebih sekitar 1 jam."

Aku mengangguk lagi. "1 jam, 13 menit, 7 detik."

Mereka berdua tergelak. "Detail oriented, Bung." Si kemeja kotak menyenggol lengan temannya. "Mau main sama Om?"

Semula aku berpikir mereka menawariku untuk bergabung dan bermain catur. Tapi, jenis senyum yang muncul adalah senyum licik. Mereka menatap dada dan pahaku secara bergantian. Aku berpura-pura tidak terusik dan menerima tawarannya dengan antusias.

"Ayo," jawabku. Aku menyeret satu bangku tambahan dan bergabung di meja kecil tempat mereka menopang pantatnya. "Lawan siapa?"

"Lawan saya." Kemudian akupun mulai bermain dengan Bapak plontos kotak-kotak.

"En passant," ucapku di b4.

"Aku menjelaskan ini kepada anakku lebih dari 20 kali." Ia bercerita sambil memajukan kudanya. Di dalam hati, aku berucap : giddy up, giddy up, giddy up!

"Dan dia masih saja tidak mengerti. Omong-omong, langkah apa itu namanya?" Keningnya memang tidak berhenti berkerut ketika aku memainkan bidak caturku secara zig-zag, menolak pembukaan Ruy Lopez darinya.

"Langkah acak," jawabku. "Tanpa strategi, tanpa jebakan template, dan hanya berjalan secara dinamis."

Mereka tertegun mendengar penjelasanku dan terlihat lebih semangat memperhatikan gerakanku yang asal-asalan itu. "Kapan-kapan ajaklah anakku bermain."

Aku mengangguk yang ke sekian kalinya. "Checkmate." Dan kemudian tersenyum bangga.

Bapak plontos kotak-kotak itu menepuk pundakku, senyumnya mengembang secara alami. "Anakku harus tau bahwa Ayahnya kalah secara konyol oleh anak SMP." Ia tertawa ringan. "Namanya Robin, kalau tidak salah, ya... sekarang kelas tiga."

Oalah, ternyata si bangsat itu.

Baguslah, sekarang aku memegang kartu AS laki-laki arogan itu. Seluruh pembicaraan Ayah Robin dan rekannya sudah terekam dengan jelas di kepala. Untuk itu, hari ini aku bisa mengganti istilah kegiatan bolosku dengan sesuatu yang lebih keren : spionase. Aku berhasil training menjadi seorang pengintai!

Setelah urusanku dengan bapak-bapak korek api itu selesai, aku pamit dan berlari mengejar waktu. Sisa 10 menit sebelum film favoritku dimulai. Dengan judul "Chia vu" Film laga fantasi ini bercerita tentang seorang pemuda yang tersesat mencari 7 kunci ghaib untuk membuka portal lintasan ruang dan waktu.

Sangat menarik. Untuk itu, dalam seminggu ini aku sudah menontonnya sebanyak 3 kali, dan sekarang adalah yang ke-4.

Aku masuk ke dalam bioskop untuk memesan 1 tiket film, 1 teh lemon ukuran besar dan dua sosis panggang. Melipir sebentar ke toilet untuk mengganti atasan seragamku dengan sweater bersablon capibara, kemudian aku memasuki audio 4 setelah filmnya berlangsung selama 15 menit sehingga aku hanya ketinggalan openingnya saja.

Sepulang dari sini, aku akan mampir di warung nasi seberang sekolahku, menyantap tumis kembang kol, tahu lada garam dan ayam goreng serundeng. Aku akan menunggu bel pulang dari sana. Mungkin, kali ini aku akan menunggu Abinawa juga. Karena sepertinya, anak autis yang sebenernya tidak mengidap sindrom autisme itu memiliki banyak sekali komik dan buku-buku ensiklopedia yang bisa aku pinjam (rampas) di dalam tas polo-nya.

Aku berhasil mengintip semua itu dari resleting tasnya yang dol ketika kami masih mengobrol di kantin.

AWAN DI LANGIT SWITZERLANDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang