Satoe (1) - Sembarangan

41 6 0
                                    

Rahangnya sakit.

Kain peyumpal mulutnya diikat kencang. Mereka kira dirinya berani berteriak jika tak disumpal?

Gemetar tubuh gadis itu tiada henti; namun, bukan karena dinginnya udara kota malam itu.

Jip terbuka yang membawanya berhenti mendadak. Mesinnya dimatikan. Terpal yang menutupinya disingkap. Sepasang lengan mengangkat cepat tubuhnya dari sisi kanan, lalu memberdirikannya di ... lantai?

Apakah identitasnya ketahuan? Kok bisa? Lagipula, bukankah Djogjakarta aman dari para Republiken [1] ekstremis itu?

"Ayo, masuk!" Tangan itu mendorongnya maju hingga terhuyung.

Bedebah. Masuk ke mana? Kain penutup matanya menghalangi cahaya sekitar.

Dengan ragu, dia melangkah maju. Sepasang tangan di bahunya--sepertinya berbeda orang--menuntunnya sejauh beberapa meter.

"Ini orangnya?" tanya suara laki-laki dari depan. "Mari."

Dia dituntun maju lagi. Bahunya menyenggol yang terasa seperti kusen pintu. Dibawa kemanakah di--

Seketika, tubuhnya menegang.

Bau anyir darah.

Segar; bukan bau metalik khas darah teroksidasi.

Lututnya melemas.

Apakah ini tempat pembantaian? Dia korban berikutnya??

Sia-siakah usaha pelariannya?

Tutup matanya dilepas, diikuti sumpalan mulutnya, lalu ikatan tangannya. Matanya sontak menyipit terpapar terangnya lampu. Diedarkan kejap-kejap pandangannya ke sekeliling ruangan seraya memijat rahangnya.

Tiga pemuda mengelilinginya.

Satu berhelm ceper; satu bercelana pendek. Merekalah yang menculiknya tadi saat berjalan pulang.

Tentara ...?

Satu di hadapannya bersepatu bot. Di kedua kerah atasan putih dekilnya yang ternoda darah, tersemat pin persegi panjang.

Perwira! Mereka TNI!

Mungkinkah mereka tahu tentang--

"Sus [2], maaf kami bawa paksa kemari," ucap si Perwira; sopan, tapi mendesak. "Namamu?"

"Saya ...." Serak suara gadis itu setelah lama terbungkam. "Lies."

Perwira itu mengangguk singkat. "Sus Lies, rekan saya butuh bantuan."

"Bantuan?"

Perwira itu menyingkir, menampakkan dipan di belakangnya.

Lies terkesiap.

Di atasnya tergeletak pemuda dengan perut bersimbah darah. Peluh membasahi wajah dan torsonya yang terbuka. Perut atasnya ditekan dua tangan seorang tentara yang berlutut di sisi dipan; darah merembesi pinggiran tangan itu.

Gemetar Lies hilang, berganti penalaran terlatihnya. "Sejak kapan?" Dia menghampiri dipan; mencermati daerah luka. "Kenapa?"

"Satu jam," jawab si Perwira. "Tusuk pisau."

Bagian epigastric; banyak darah; merah terang. Aorta? [3]

"Kenapa tidak langsung ke Markas Kesehatan [4]? Lekas! Tak ada waktu lagi!" Lies berlutut di sisi dipan. Mata terfokus pada arlojinya, dua jemarinya mengukur nadi pergelangan lelaki itu.

Lelaki di dipan mengerang, membuka mata. "Saya yang menolak."

"Kenapa?" Nadi yang lambat dan lemah merisaukan Lies.

Sepasang Mata Biru: Sebuah Cerpen RevolusiWhere stories live. Discover now