Empat (4) - Pedjoeang

27 4 1
                                    

Derap kaki Lies bergema melintasi gedung Stasiun Tugu. Topi seragam putihnya nyaris terbang saat ia menerobos pintu ganda ke wilayah embarkasi.

Hatinya mencelos.

Ratusan tentara berseragam aneka warna memenuhi peron, mengantri memasuki barisan gerbong kuning-hijau. Tak sedikit yang berpamitan dengan orang-orang terkasih.

Bagaimana mencarinya di lautan manusia begini? Lies berjinjit, memindai wajah-wajah yang hilir mudik.

Jauh di ujung rangkaian kereta, terdengar siulan uap lokomotif.

Dibacanya jarum jam gantung besar atap peron.

17.52

Delapan menit lagi.

"Lies!"

Lies menengok; matanya melebar. "Djati!" Napas lega diembusnya.

Pandangan saling mengunci, keduanya membelah keramaian, hingga akhirnya berhadapan. Asap uap putih mulai menyelimuti lantai peron.

"Lies." Binar mata Djati menyamai senyumnya. "Kukira tak keburu."

"Sersan Tarno gesit nyetirnya." Lies terkekeh pelan. "Klaksonnya juga. Tuli aku."

Keduanya tertawa.

"Lies, aku ditugaskan ke front [20] utara. Belanda resmi menyerang." Djati mengkerutkan alis tegasnya.

"Aku ikut, Djat." Lies mendekat selangkah. "Aku akan berguna."

"Jangan; tinggallah di ibukota. Lebih aman."

"Djat!"

"Lies ..., jangan keras kepala. Aku tak akan tenang jika kau ke front."

Lies menjepit bibirnya. "Aku tak ada saat Hendri, orangtuaku; butuh kemampuanku." Napasnya mencepat.

Terlihat Kepala Stasiun muncul dari kantornya, menjinjing lentera keberangkatan. Topi merahnya sudah dikenakan.

Lies mencengkeram tali tas selempang kulitnya. "Kau cenderung nekat, Djat. Kalau kau nanti juga ...." Sebulir air matanya lolos dari bendungan ketegarannya.

"Lies ...." Jempol Djati menghapus bulir air mata itu. "Coba kita tebak sekali lagi: kenapa biru matamu masih tersembunyi dari orang lain?"

"Kau tahu sudah buntu aku," jawab Lies parau. "Darimu nasib Hendri sudah kudapat; entah kenapa masih begini."

Djati tersenyum hangat. "Menurutku ... yang kau cari: kemerdekaanmu pribadi. Kehidupan di mana kau tak lagi takut menunjukkan dirimu yang sebenarnya."

Lies tertegun.

"Itulah yang kuperjuangkan, Lies: kemerdekaan sejati rakyat kita. Agar suatu hari, mereka sembuh dari membenci siapa pun karena tampilan luar semata, dan melihat hati.

"Untukmu." Tangan Djati membingkai wajah risau itu. "Yakinlah, ada maksud besar kelak, mengapa kau punya kemampuan ini. Bertahanlah. Ayo, kita berjuang bersama! Rawatlah rakyat kita."

Beratnya hati Lies saat mengangguk. Namun, ucapan Djati benar.

Terdengar siulan panjang peluit.

Saatnya berpisah.

Peron hampir kosong. Gerbong-gerbong kini dipenuhi semangat ratusan pejuang revolusi.

"Lies." Djati menggenggam erat kedua tangannya. "Jika ... aku selamat." Ia menelan ludah. "Kita .... Bersediakah kau ...?"

Lies terkikik; mengangguk bersemangat. "Berangkatlah, Djat. Aku doakan; selalu."

Djati sumringah; menatapnya lekat terakhir kali, sebelum berbalik berlari; melompat ke tangga gerbong yang bergulir pergi.

Bergelantung pada gagang vertikal gerbong, Djati berseru, "Lies! Kalau kau tanyakan aku ke markas, sebut nama sandiku!"

"Namanya??" sahut Lies.

"Radjawali!" Djati tersenyum lebar; kepalan terusung ke udara.

Lies melambai; menelan kerinduannya. Dipandanginya rangkaian kereta api hingga menghilang ditelan lembayung senja cakrawala, menyisakan kepulan asap hitam panjang.

Merekalah pemudi pemuda bertugas besar. Garda pembela dan perawat bangsa; mengabaikan gentar di dada.

Kemerdekaan telah direbut.

Saatnya mempertahankan, dan membangun.

✨ SELESAI ✨

Bagaimana nasib hubungan Lies & Djati? Apa hikmah kemampuan Lies? Akan diungkap dalam cerita "Miss Bakwan & 3 Men" (cek di profil penulis)
_____

[20] Front = garis depan pertempuran.

Sepasang Mata Biru: Sebuah Cerpen RevolusiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang