[2]

71 14 3
                                    

"Jangan berani-berani keluar rumah!" perintah ayah

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


"Jangan berani-berani keluar rumah!" perintah ayah. Dia meraih parang di atas meja bambu, bersiap membuka pintu. "Kau mengerti? Jangan keluar—"

Aku berdiri. Kutunjuk pintu, di sana terdengar kericuhan yang samar dalam telingaku; lolongan kesakitan, teriakan melengking anak-anak serta sumpah serapah yang menyudutkan orang campuran. Aroma bakaran mengisi udara.

"Aku perlu mencari Jenar."

"Jangan keluar! Kau sudah membuat Ayah muak selama ini! Diamlah di rumah, jangan menambah masalah!" bentaknya. Kilatan tajam tertoreh pada netra ayah. Dia meraih gagang kayu pada pintu. "Bisu menyusahkan," katanya sebelum hengkang, dan menutup pintu keras.

Jenar. Aku harus mencarinya—

Brak. Pintu menjeblak terbuka. Muncullah Sabda dengan penampilan urakan. Bersimbah keringat, dilanda panik, khawatir, takut dan semacamnya. "Bahar!" teriaknya, "kita harus mencari Jenar!"

Aku segera mengangguk. Lekas-lekas kuraih pelita kecil di atas meja bambu, lalu keluar membuntuti Sabda.

"Matilah orang campuran!"

"Hidup kalian bukan di Serani!"

"Kembalilah ke tempat asal kalian, di Neraka!"

Kericuhan di mana-mana. Tanah Serani bak lautan api yang berkobar tinggi. Tombak-tombak melesat di atas kepala bagai hujan tajam yang membunuh. Menciptakan tangisan, lolongan, dan teriakan menyakitkan. Aku dan Sabda berlari melewati belakang perumahan yang terasnya telah menjadi abu. Hawa panas membungkus kulit. Asap berbau kayu kental dipenciuman.

Di jalanan dipenuhi darah. Banyak warga yang tumbang dengan anggota tubuh terpisah. Yang lainnya masih saling tebas, saling mengacungkan tombak di kepala.

Ayah .... ada di antara orang-orang itu.

"Jenar pasti berada di bangunan bekas Benteng Nippon itu!" Sabda berteriak. "Ayahmu benar, Serani dikutuk! Makanya banyak orang hilang, termasuk Sabda. Bahkan bentrok yang terjadi sekarang karena kutukan!"

Aku ingin meneriakkan tentang kutukan, itu semua cuma mitos. Namun, terasa percuma dan aku tak bisa melakukannya. Tidak dalam kondisi seperti ini.

Aku dan Sabda keluar dari jalan ujung desa yang perumahannya terbakar habis. Api masih meretih menjadi saksi bisu. Asap pekat membumbung ke udara. Lahan rempah milik warga telah hangus. Tanahnya berhamburan. Binatang peliharaan seperi babi dan ayam hutan telah gosong bercampur dengan para tubuh yang tergeletak menghitam dan berdarah kental.

Tungkai kakiku lemas. Pelita yang kubawa nyaris tergelincir jatuh. Siapa pun orang-orang berjubah hitam itu, mereka sungguhan membenci orang-orang seperti ... kami. Orang-orang campuran.

Sabda segera memapahku. "Lekas!" teriaknya, "Jenar menunggu kita."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Anak MerahWhere stories live. Discover now