[6]

79 10 5
                                    

Di depanku, jubah merah gelap menjuntai perlahan turun dari atas

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Di depanku, jubah merah gelap menjuntai perlahan turun dari atas. Seketika tempat ini bergetar, seolah akan roboh. Sesuatu itu semakin turun, hingga ia berhenti di tengah-tengah udara kosong. Dia adalah seorang pria dengan kombinasi mengerikan antara manusia dan ... monster.

Urat-urat lehernya timbul, hitam pekat serupa aliran darah gelap. Tangannya yang panjang terangkat, seketika orang-orang berjubah di sekitarku bangkit.

Wajah pria itu dipenuhi luka balur aneh, sebagiannya mengelupas, bernanah, darah dan bekas bakar. Matanya merah, memancarkan aura kejahatan murni. "Bahar," katanya. Kuperhatikan gerak bibirnya lamat, "Selain bisu, kau juga ternyata begitu buta. Kau selalu mengira dirimu adalah bagian dari keluargamu. Namun, sebenarnya Ayahmu bahkan tidak memiliki darahmu, Bahar."

Tangan pria itu menyentak, lalu ayah muncul dari kegelapan belakang, digiring satu pria berjubah memakai topeng. Ayah memberontak, "Zohrah! Lepas!"

"Apakah kau terkejut?" tanyanya bengis. Kuperhatikan pria itu. "Bagaimana rasanya ketika tahu bahwa kau adalah pribumi murni?"

Pikiranku kalut. Kepalaku bergemuruh bak dilanda vertigo ekstrim. Aku bingung, marah, kecewa. Semuanya bercampur aduk; bersikukuh melumatku secara utuh. Ayah ... sejahat-jahatnya dia padaku selama ini, aku tak percaya dia sungguhan tega melakukan hal itu padaku—di tengah-tengah kekacauan yang melibatkan orang campuran.

Apakah dia berencana membunuhku? Pun, jika dia tidak memiliki darahku ... di mana ayah kandungku sekarang?

Ayah didorong oleh pria berjubah yang ia sebut Zohrah. Hingga orang yang telah lama tinggal satu atap yang sama denganku itu tersungkur ke lantai berbercak darah di mana-mana. Ayah meringis, ia menunduk di depanku. Ketika mendongak, wajahnya bersimbah air hujan atau keringat, bercampur dengan darah yang entah milik siapa. Sorot mata ayah tampak kecewa, banyak menyampaikan makna yang aku tak mengerti.

"Sekarang," kata pria yang berjubah merah itu. Netra merahnya berkilat, "Tugasmu adalah memastikan kebangkitan kami. Satu-satunya cara untuk memulihkan kehormatan yang telah hilang adalah dengan cara membunuh ayahmu."

Pedang jatuh, terlempar ke lantai di depanku. Zohrah entah bagaimana telah ada di kananku. Energi gelap serupa asap menguar di badannya yang berbalut jubah gelap pekat.

"Maaf." Ayah bangkit pelan. Ia fokuskan menatapku. "Ayah berusaha melindungimu, tetapi gagal. Maafkan Ayah ..." katanya, nadanya bergetar. Tangannya bergerak berusaha membuat gerak bahasa isyarat, "Maafkan Ayah, Bahar ...."

Aku terlarut dalam emosi beberapa detik. Selama ini ayah tidak pernah berbicara denganku menggunakan gerakan tangan atau lainnya. Ketika bicara padaku, aku berusaha memahami gerak mulutnya, dan ayah tak sama sekali peduli dengan kondisiku. Ayah ....

"Ayah pantas menerima ini." Ia bergerak mendekat, di ambilnya pedang tajam yang berlumuran darah di lantai. Ia serahkan padaku. Aku terkejut ketika bibirnya membuat gerakan, "Bunuh Ayah."

Duniaku berhenti sesaat. Aku ling-lung dan tersentak begitu menerima semburan darah ayah ke wajahku. Ujung tombak menancap menembus jantung ayah, membuatnya jatuh ke depan. Tombak itu kemudian lenyap menjadi asap pekat. Di belakangnya, Zohrah berdiri tanpa ekspresi.

Aku berjongkok, memangku kepalanya tanpa peduli darah di mana-mana.

Aku mendongak, "Anak Merah-ku!" Anak Me—rah-ku. Mulut kehitaman pria itu berucap. Seketika tempat ini bergetar. Orang-orang berjubah gelap lantas berubah menjadi asap pekat yang mengelilingi si pria berjubah merah gelap. Sementara, para warga berdiri kaku; matanya terbelalak ke atas dengan mulut terbuka lebar. Sebuah asap keluar dari sana menuju ke arah pria yang tengah melayang itu, seakan-akan jiwa mereka tersedot.

Melalui netra yang basah, serta belakang bola mata yang perih, kuperhatikan gerakan bibir pria itu. Kedua tangannya terentang. "Kembalilah kita ke masa kejayaan sepuluh dekade lalu, sebelum Tanah Serani menguasai! Kembalilah kita ke masa kekelaman nan hitam di Tanah Serani! Lingkupilah Tanah Serani dalam energi kegelapan lagi! Tutuplah Tanah Serani dari peradaban! Berikanlah aku keabadianmu sekali lagi, wahai Penyihir Agung!"

Di belakang, ada Jenar muncul, melangkah pelan sembari tersenyum intens dibalik kegelapan. Pakaiannya berdarah, sampai ke wajah dan rambut yang basah. Perut gadis itu tampak besar, ia elus lembut dengan telapak tangan. Di tangan yang lain, Jenar sedang menenteng sesuatu yang buruk, berdarah menetes-netes seperti kepala seseorang—

Kepala Sabda.

Jantungku berdegup kencang. Kepalaku luar biasa bergemuruh. Jenar mendekatiku. "Bahar," katanya dalam gerakan bibir.  Meski tak stabil, aku bisa membaca mulut Jenar ketika ia berucap, "Ikutlah denganku, Zohrah dan Bartaza menuju keabadian." Satu tangannya terulur padaku, "Karena kita pribumi Serani yang murni."

"

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Anak MerahWhere stories live. Discover now