Hari Ketiga, Kamis

54 11 7
                                    

—Fadila

Besoknya, aku pergi ke sekolah pagi-pagi sekali. Begitu pagi hingga masih bisa disebut malam. Begitu malam hingga masih bisa disebut kemarin. Tak ada orang di jalanan, tidak bahkan tukang warung yang berbelanja atau lonte yang mejeng atau maling yang mencari mangsa.

Tiba di sekolah, aku memanjat benteng. Sulit. Tinggi dindingnya ada mungkin tiga meter, kawat berduri bertengger di puncak. Aku butuh empat kali percobaan melompat, dan begitu aku menjatuhkan diri di sisi seberang, kakiku penuh goresan dan darah.

Aku bergegas pergi ke belakang kelas, ke rimba liar di tengah-tengah peradaban itu. Kusingsingkan lengan bajuku, kunyalakan senterku, kukalungkan sepatuku—lalu aku mulai menggali. Aku menggali di petak kosong itu. Aku menggali dengan jariku. Aku menggali sampai sela kukuku hitam dan ngilu. Tanah di sana lembek, terang betul hasil urugan.

Entah berapa lama waktu yang kuhabiskan. Tubuhku dekil, kotor oleh tanah dan basah oleh keringat. Ketika jariku mencapai tanah keras, langit sudah terang benderang. Aku menggali begitu dalam, nyaris melebihi dada. Dan apa yang aku temukan? Cacing. Cacing dan kerikil dan akar. Selain itu, tak ada apapun.

Terdengar derit besi saat gerbang sekolah di buka. Aku melongok, memanjat naik dan melesat ke toilet. Kulepas seluruh pakaianku, berjongkok dan mengguyur diri di bawah air keran. Di sana, aku mulai berpikir—hal yang patut dipuji berhubung berpikir adalah pekerjaan yang paling kubenci di dunia ini.

Kalian pasti mengira kalau usahaku sia-sia. Pun diriku—awalnya. Tak ada yang dikubur di sana. Kalau boleh jujur, aku sempat mengira bakal menemukan mayat orang, tapi ternyata realita tidak sedramatis itu. Lalu aku menyadari sesuatu. Tak ada yang dikubur di sana.

Tak ada apapun.

Hal itu sudah jadi keganjilan tersendiri, karena buat apa orang menggali bila tak ada yang dikubur? Jawabannya cuma satu: untuk mengambil sesuatu. Sesuatu yang pernah ditanam di sana. Sesuatu ... yang mesti kucari tahu apa itu.

—Fadila

Tak lama kemudian, aku pun suci kembali. Aku bangkit, menggoyangkan badan, lalu menunggu sejenak hingga tetes air di tubuh seksiku tiris. Aku tak keberatan menggunakan pakaian yang sedikit basah, tapi rambut beda lagi. Rambut agak merepotkan. Aku memerasnya, mengacaknya, melecutnya. Kampret. Lengket, berat, berabe.

Kujepit sejumput dengan ujung jariku, berpikir, lalu mengangguk. Aku mengeluarkan pisau kater dari tas. Kupangkas dua buku jari, dimulai dari bagian samping, depan, lalu belakang. Ketika aku mengikatnya kembali, kucirku tinggal beberapa senti panjangnya. Ringan, nyaman, adem.

Aku keluar dari bilik toilet dan bertemu dengan sejumlah siswi yang sedang dandan berjamaah. Satu sibuk memakai lipstik, satu fokus membedaki pipi, satu asyik menggambari alis. Mereka melihatku lewat cermin besar di dinding, awalnya sekilas, lalu lebih lama.

"Pa'an?" tanyaku. Aku menunduk, lalu mendapati sehelai rambut yang menempel di bahuku. "Oh," kataku, lalu menepisnya. "Thanks." Hampir saja aku pergi ke kelas dengan penampilan berantakan.

Kususuri lorong dengan langkah gontai. Aku lelah, aku ngantuk. Kulihat sekolah masih sepi. Mungkin masih ada waktu beberapa menit lagi sebelum masuk. Aku bisa tidur sebentar.

Aku menguap lebar, lalu buru-buru menutupnya lagi. Di sana, di pinggir kosen pintu, tertoreh sebuah angka kecil: 5. Aku nyaris melewatkannya. Satu-satunya alasan aku melihatnya adalah karena aku setengah menduganya. Di hari pertama sekolah, aku menemukan angka tujuh. Di hari kedua, angka enam. Dan sekarang lima. Apa maksudnya?

Setengah melamun, aku masuk ke dalam kelas. Seorang gadis berdiri di depanku. Aku melompat, tangan tersilang, macam Ultraman yang melancarkan jurus terakhirnya.

Mayat yang Berjalan (ed. revisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang