BAB 25

357 8 2
                                    

Setelah puas menikmati sarapan yang terlalu pagi itu, Mereka pergi berkuda disekitar perkebunan.

Reno dan Khadijah memang memelihara dua ekor kuda karena mereka sangat suka berkuda. Aiza dan Gerald juga punya, hanya saja kuda mereka dititipkan di perkebunan milik Ali. Sesekali mereka kesana untuk berlatih dan berlomaba bersama Ali, Reynald dan Elena yang juga suka berkuda.

Setelah puas berkuda, Aiza mengajak Gerald pergi ke pabrik teh milik mamangnya yang tidak jauh dari sana. Pabrik itu masih menggunakan metode tradiaional, tidak ada meain-mesin canggih hanya ada beberapa wajan raksasa yang digunakan untuk melayukan pucuk teh. Setelah cukup layu teh itu akan dijemur dilapangan luas.

"Ini punya manang lo?" Tanya Gerald yang dijawab Aiza dengan anggukan.

"Kalo kaya gini proses produksinya lama dong." Komentar Gerald melihat pengolahan teh yang masih sangat manual.

"Iya, sih. Mamang bilang dia cuman nau pertahanin cara tradisional dan yah, rasanya emang beda sama rasa teh di pabrik lain. Teh disini rasanya masih fresh." Jelas Aiza sembari mencomot teh yang sudah kering dan dimakannya.

Melihat Aiza yang begitu menikmati teh itu membuat Gerald penasaran lalu mengambil dan dimakannya. Baru satu gigitan Gerald sudah memuntahkannya karena rasanya yang pahit. Aiza tidak bisa tidak tertawa melihat kebodohan Gerald.

"Gila! Pahit banget." Umpat Gerald sembari berusaha melepeh sisa-sisa teh di mulutnya. 

"Ya iya lah pahit. Namanya juga teh kalo gak pake gula ya pahit."

"Lo yang ngerjain gue, iya kan? sampe gue ngira itu bisa dimakan."

"Lah kan emang bisa dimakan. Makannya gue makan. Orang yang gak biasa kayak lo ya gak bakalan suka."

"Emang kapan lo makan teh kayak gini?"

"Waktu gue kecil." Jawab Aiza sembari dengan santainya memasukan kedalam daun teh yang mengering itu kedalam mulutnya. Gerald hanya bisa bergidik melihatnya.

"Tapi aneh si, Mamang lo bisa ngelola pabrik itu, tapi dia gak bisa ngelola perusahaan bokap lo." Ujar Gerald saat mereka tengah berjalan diperkebunan teh.

Yah, mereka memutuskan untuk berjalan kaki nenelusuri perkebunan untuk sampai ke rumah Reno. Kuda yang mereka bawa tadi mereka titip pada petani yang juga sering mengurus kuda itu.
Tidak kunjung mendapatkan respon, Gerald menoleh kearah Aiza.

Dilihatnya gadis itu tengah mendudukan dirinya diatas rumput diantara tanaman teh dengan napas tersengal dan dengan penampilan yang sudah berantakan.

Gerald segera menghampiri Aiza sembari terkekeh. Ia tahu Aiza sangat benci olahraga. Bahkan dalam setahun saja kegiatan olahraga Aiza bisa dihitung dengan jari. "Kenapa lo, Az?"

"aah. Ini semua gara-gara lo Er. Gue udah bilang kan kalo gue gak mau jalan kaki." Gerutu Aiza sembari mewek ria dengan kaki yang berusaha menendang Gerald.

Gerald yang melihat itu semakin mengeraskan tawanya. Aiza memang sangat cengeng dan mudah nenangis karena hal-hal kecil. Tapi anehnya hal itu malah membuat Gerald gemas dan senang.

"Lo itu butuh olahraga Az. Liat badan lo udah melar gitu."

"Siapa yang peduli sama badan gue?" Bujukan itu malah semakin membuat Aiza meraung. Gerald yang melihatnya juga malah semakin senang.

Hingga Gerald sadar bahwa semua perhatian petani teh sekarang tertuju pada dirinya dan Aiza.  Beberapa ikut tersenyum, yang lainnya menatap iba pada Aiza. Seketika itu juga ia menghentikan tawanya dan mengeraskan wajahnya lagi sebari berdehem pelan.
Tidak ingin semakin menarik perhatian orang-orang. Gerald akhirnya berjongkok menbelakangi Aiza. "Cepetan naik!" Titah Gerald dengan nada dibuat sedingin mungkin.
Tak ubahnya anak kecil, Aiza menuruti perintah Gerald dengan masih sesegukan.
"Untung gue yang jadi suami lo. Coba si Yusuf-yusuf itu, mungkin lo udah jadi janda di malam pertama lo."

"Kalo Yusuf jadi suami gue. Dia pasti gak akan ngetawain istrinya yang lagi kecapean." Sergah Aiza yang mulai berhenti menangis.

"Lo mau jalan lagi?" Tanya Gerald dengan nada mengancam.

Tak ayal hal itu membuat Aiza menggeleng dan semakin mengeratkan pelukannya di leher Gerald.

"Aduuh pengantin baru meni romantis pisan." Ujar salah satu petani.

"Iya, saya jadi iri liatnya." Timpal petani lain yang hanya Aiza balas dengan senyuman sembari mengucap 'punten' pada petani itu. Sementara Gerald, lelaki itu hanya menatap datar. Membuat Aiza kesal dan menepuk pundak lelaki itu.

"Lo bisa gak sih jadi orang ramah dikit!"

"Kan lo udah nyapa."

Yah, inilah Gerald. Orang paling dingin yang pernah Aiza kenal. Sebenarnya, ia tidak sedingin itu. Gerald hanya terlalu malu untuk bersosialisasi dengan orang yang baru dikenalnya. Ia terlalu takut ditolak. Dan jadilah seperti itu, ia lebih suka menampilkan sikap dinginnya. Dan itu terkesan sombong untuk orang-orang yang baru mengenalnya.

"Er!"

"Hm."

"Soal permintaan lo di bioskop hari itu. Lo udah minta satu permintaan. Sekarang Apa permintaan kedua lo?"

"Lo masih inget sama permintaan ngasal gue?"

"Ya ingetlah. Gue gak pernah lupa sama utang.”

"Bagus deh."

"Jadi apa permintaan lo?"

"Gue minta..." cukuo lama Gerald mejeda kalimatnya membuat Aiza cukup penasaran dan waswas. Ia takut Gerald akan meminta hal yang aneh.

"Belum ada."

"Maksud lo?"

"ya, gue mau gunain itu saat gue bener- bener butuh."

"Dasar licik."

"Bukan licik, tapi cerdas. Lagian kapan lagi gue punya kesempatan itu."

Aiza hanya mendesis tajam pada Gerald karena ia merasa dimanfaatkan.

Mereka akhirnya sampai di rumah. Ternyata semua orang sedang berkumpul di kebun samping rumah. Aiza dan Gerald segera bergabung. Ternyata Reno dan Asep tengah mencangkul lahan disana untuk ditanami singkong.

Baru saja Gerald berniat mendudukan dirinya di saung kecil disana Reno sudah memanggilnya.

"Ah, Gerald! Kebetulan kamu disini. Sini! Bantuin mamang nyangkul."
" Saya mang?" Gerald menunjuk dirinya sendiri tidak yakin. Pasalnya ia tidak pernah mencangkul. Jangankan mencangkul, menyentuh alat itu saja ia tidak pernah.

"Iya, kamu." Ujar Reno geregetan.

Dengan ragu Gerald beranjak dari duduknya lalu berjalan kearah Reno. Rano segera memberikan Gerald sebuah cangkul. Dan yah, ia tidak menyangka kalau cangkul akan seberat itu.

Dengan percaya dirinya ia mulai mencangkul, tapi baru satu kali cangkulan Reno sudah memprotesnya.

"Aduh Gerald, itu mah udah dicangkul. Udah dirapihin. Malah kamu berantakin lagi. Yang harusnya dicangkul itu yang masih keras, yang ini nih!" Tunjuk Reno pada lahan yang masih belum dicangkul.

"Oh gitu yah Mang. Ya maaf! Kan Gerald belum pernah nyangkul." Aku Gerald membela dirinya sendiri.

"Ya udah lah mang. Biar saya aja yang nyangkul. Kasian atuh Den Gerald. Mamang juga pasti udah cape kan?"

"Iya saya capek banget. Kita istirahat dulu, Sep."

"Tapi..."

"Udah Sep. Ada Gerald yang nerusin." Ujar Reno sembari menarik tangan Asep.

Asep sebenarnya enggan meninggalkan majikan mudanya, tapi bagaimana lagi, Reno sepertinya tidak mau dibantah.
Gerald yang hanya anggota keluarga baru hanya bisa menurut. Ia tidak ingin di cap sebagai menantu tidak tahu diri meskipun ia tahu kalau Reno sedang mengerjailagi

"Loh Mang, kok Gerald ditinggal sendiri?" Tanya Khadijah keheranan.

"Biarin aja lah Bi. Si Gerald itu sekali-kali perlu diospek."

"Tapi Gerald pasti kecapean dari bawah gendong Aiza."

"Lah kok bibi tahu Gerald gendong Aiza?" Tanya Aiza keheranan. Pasalnya ia tidak pernah mengatakan itu pada Khadijah.

"Kamu ini kayak kenal sama Bibi baru kemarin aja. Kan udah jadi kebiasaan kamu kalo pergi ke pabrik gak bawa kendaraan pasti pulangnya nangis dan ujung-ujungnya minta di gendong. Tadi juga bibi liat si jalu sama si prianka dibawa pulang sama Mang Dadang. Jadi ya udah ketebak." Jelas Khadijah panjang lebar. Sementara Aiza, gadis itu hanya nyengir kuda mendengarnya.

"Udah, sekarang siapin minuman buat suami kamu. Dia pasti haus."

Tanpa mau membantah, Aiza segera pergi ke rumah dan membuatkan jus tomat tanpa gula untuk Gerald dan dibawanya pada lelaki itu.

Dilihatnya Gerald sudah mandi keringat dan kotor, tanpa sadar Aiza tersenyum bangga pada Gerald.

"Eh Az jangan kesini! Banyak batu tajem disini."

"Ch. Lo kayak sama anak kecil aja."

Duk

Baru satu detik kata itu terucap. Aiza sudah merengek karena tidak sengaja menendang batu tajam didepannya. Ia mendudukan dirinya di tanah dan melupakan jus yang dibawanya untuk Gerald.
Gerald yang mendengar suara rengekan Aiza segera menoleh. Dan betapa terkejutnya ia saat melihat Aiza sudah terduduk di tanah. Lebih terkejut lagi, melihat darah yang keluar dari kaki gadis itu.

Gerald segera melepaskan cangkulnya lalu menghampiri Aiza dengan tergesa.

"Lo gapapa?" Tanya Gerald panik.

"Gapapa gimana? Sakit tahu!"

Teriak Aiza mulai menangis.
Dengan sigap Gerald menggendong Aiza. Sepertinya orang-orang di saung tidak terlalu ngeh dengan keadaan Aiza dan baru sadar saat Gerald menggendongnya.

"Aiza kenapa?" Tanya Reno ikut panik.

Gerald tidak menjawabnya dan mendudukan istrinya di saung.

"Asep cepet bawain kotak p3k di di rumah." Teriak Khadijah yang juga panik dan ngeri melihat darah yang keluar dari kaki Aiza.

"Lo ceroboh banget si, Az." Tanpa rasa canggung sedikit pun Gerald memarahi Aiza di depan Khadijah dan Reno. Bukan tanpa alasan, ia melakukan itu karena ia khawatir pada Aiza.

"Kok lo jadi marah sama gue si. Er!" Sergah Aiza dengan nada bergetar hampir menangis.

"Lo gak dengerin gue. Kan udah gue bilang disana banyak batu tajem." Ujar  Gerald sembari membasuh kaki Aiza dengan air putih yang diberikan Khadijah.

"Aw! Sakit, Er. Pelan-pelan!" Pinta Aiza dengan air mata yang mulai mengalir dipipinya.

Gerald yang melihatnya juga ikut meringis. Tapi bagaimana lagi, ia harus tetap membersihkan luka Aiza. Dan benar saja. Luka Aiza cukup dalam. Jempol kakinya robek, darahnya juga tidak kunjung berhenti keluar.

"Kotak P3K-nya gak ada Bi." Ujar Asep dengan napas memburu. Sepertinya ia berlari untuk mengambil kotak P3K itu.

"Aduh! Mamang lupa.Kotak P3K-nya kan dipinjem sama si Dadang kemarin." Ujar Reno sembari nenepuk dahinya.

"Ya udah. Asep bawa dulu yah, Mang."

"Kelamaan Mang Asep. Mang Asep tolong bawain pucuk daun singkong!"

"Oh iya. Itu juga bisa jadi obat." Segera saja Asep mengambil pucuk daun singkong itu. Kebetulan lahan yang mereka gempur adalah lahan kebun singkong.

Tak berapa lama Asep datang dengan membawa daun singkong. Tapi ia harus menepuk dahinya saat ia melupakan sesuatu. "Ampun! Asep lupa bawa buat numbuknya."

" Gapapa, Mang. Kasih ke saya saja!"

Seperti titah Gerald, Asep menyerahkan daun singkong itu pada Gerald.  Tanpa diduga, Gerald segera mengunyahnya.

"Er, itu pait." Ujar Aiza khawatir. Ia ingat saat Gerald mencoba daun teh tadi,tapi sepertinya Gerald tidak menghiraukannya.

Setelah itu, ia menempelkan daun singkong itu pada luka Aiza yang cukup lebar. Tanpa sadar, Aiza meremmas bahu Gerald karena kakinya benar-benar perih.

"Lo tunggu disini, gue ganti baju dulu. Kita klinik." Putus Gerald setelah ia membalut luka Aiza dengan saputangan yang diberikan Reno.

"Tapi..."

"Gue gak nerima penolakan." Tegas Gerald sembari masuk kerumah.

Semua orang menatap takjub kepergian Gerald. Lagi-lagi, Khadijah tersenyum simpul pada suaminya dan Reno hanya menanggapinya dengan memutar bola matanya.


Bersambung...

MARRIED WITH MY FRIEND حيث تعيش القصص. اكتشف الآن