Bagian 7

16 1 0
                                    

Sambil menggosok rambut basahnya dengan handuk, Yaya segera mengangkat ponselnya dan menghubungi kekasihnya. Dilihatnya kini sudah pukul 17.30, seharusnya Gibran sudah berada dirumah sekarang. Sejak Gibran wisuda 2 bulan lalu, ia kini bekerja freelance sebagai fotografer. Ditambah ia juga sibuk mengembangkan band nya. Kali ini ia melakukan panggilan video pada Gibran. Mengubungi Bapak dan Ibu? Tentu saja sudah. Setiba nya di Jogja tadi siang, Yaya langsung menelpon dua orang kesayangannya itu. Tak lama kemudian Gibran mengangkat panggilan tersebut

"Halo? Gibyy, aku sudah sampe tadi jam 1" manja gadis itu

"Ohiya? Syukurlah. Cape banget ya cantik?" tanya
Gibran

"Ya lumayan lah, tapi ini udah segeran kok, barusan aja mandi"

"...siapa Gib?"

Sayup-sayup terdengar suara wanita bertanya pada Gibran yang mengundang atensi Yaya. Heran nya, Gibran malah mematikan kamera dan membisukan panggilan itu selama beberapa saat.

"Sorry sayang. Gimana-gimana?" tanya Gibran kembali. Wajahnya terlihat agak tegang

Sebenarnya Yaya marah karena Gibran sering kali menyembunyikan sesuatu dari Yaya seperti tadi. Yaya bukan tipe wanita pencemburu apagi pemarah. Gibran tahu itu. Jadi, seharusnya tidak ada alasan bagi Gibran untuk menutupi sesuatu dari Yaya, bukan? Apalagi jika hal tersebut bukan 'apa-apa'. Yaa, kecuali jika itu 'apa-apa'.

Yaya memang kurang bisa mengekspresikan sesuatu, baik itu marah, sedih ataupun kecewa. Yaya lebih suka diam dan hanya menunjukkan sisi 'baik-baik saja' nya kepada orang lain. Meskipun hal seperti ini bukan terjadi satu ada dua kali, namun Yaya tetap tenang menanggapinya.

"Siapa Gib?" tanya Yaya

"Itu? temen. Tadi mau pinjam charger" jawab Gibran kaku

"Temen? Siapa? Kan dia ada nama, Gib" tanya Yaya dengan tenang

Sebelum menjawab, Gibran menghela nafas panjang

"Thalita.."

Belum juga 24 jam ditinggal, udah ada aja kelakuannya. Heran.

"Maaf baru bilang, pulang kerja tadi aku diajak Tama ke rumah Frans. Eh, taunya disini ada Balqis sama Thalita juga. Maaf, bukannya niat mau nutupin atau apa, aku cuma nggak mau berantem, nggak mau bikin kamu overthinking, aku mau kamu liburan happy disana, sayang." lanjut Gibran

Thalita. Sudah lama Yaya tidak mendengar nama itu. Terakhir kali Yaya mendengar namanya adalah di hari mereka putus. Selepas band Gibran tampil di sebuah acara, wanita itu dengan penuh kesadaran memeluk kekasih Yaya, dan gila nya lagi Gibran membalas pelukan itu. Iya, didepan banyak orang. Jangan ditanya seperti apa rasanya. Dada Yaya mendadak nyeri, nafas pun rasanya hanya sampai di leher saja. Panas? Tentu. Dari ujung kepala hingga kaki rasanya mendidih. Terdengar berlebihan, namun itulah kenyataan yang Yaya rasakan. Yang bisa ia lakukan hanya diam dan mematung, memaksa otak dan hatinya untuk percaya pada kedua matanya bahwa sang kekasih memeluk wanita lain tepat didepannya. Mungkin jika tak segera menyadari kehadiran Yaya, kegiatan mereka bisa berlanjut lebih dari sekedar berpelukan. Setelah merasa terpojok, Gibran akhirnya mengakui bahwa ia dan Thalita memang mempunyai hubungan yang disembunyikan dari Yaya.

Ah, sudahlah. Malas sekali membuka luka lama. Ternyata kejadian 1 tahun lalu itu masih membuat Yaya sakit hati jika mengingatnya. Tapi sekarang Yaya sedang malas untuk overthinking. Atau sebenarnya Yaya tak lagi peduli pada Gibran sejak hari itu? Tidak tahu juga sih. Lebih baik Yaya memikirkan akan jalan-jalan kemana besok bersama Irzan, teman nya.

"Hmm.. Gitu. Yaudah, aku percaya sama kamu Gib. Udah dulu ya, aku mau nyamperin Oma" segera Yaya mematikan telpon itu setelah Gibran meng iya kan ucapannya.

"Dek, nanti malam pakai baju yang cantik ya" teriak Oma

Oh iya, makan malam. Setelah menelpon Gibran, Yaya jadi tambah semangat untuk menghadiri acara makan malam itu.

Kini Yaya berada didepan meja rias. Dipakainya lipstick merah muda di bibirnya menjadi tanda bahwa aksi corat-coret wajah itu telah berakhir. Ia memutar diri di cermin memastikan bahwa tampilannya sudah terlihat sempurna. Yaya tampak anggun dengan balutan dress berwarna putih itu. Baju Yaya memang mayoritas berwarna putih. Sepertinya putih adalah warna favorit Yaya.

"Cantik sekali cintanya Opa ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Cantik sekali cintanya Opa ini. Sudah besar kamu sayang, perasaan baru kemarin minta gendong sama Opa disini" ucap Opa sambil menepuk pundaknya. Terlihat mata Opa berkaca-kaca.

"Ah Opa kok jadi sedih sih. Jangan sedih dong, harusnya senang sekarang kan Yaya sudah dewasa dan Opa masih sehat segar begini." Sebenarnya Yaya juga sedang menahan sedihnya

"Kamu sangat mirip Ibumu waktu gadis, dek." Oma turut menanggapi sambil memeluk Yaya dari arah samping.

Hati Yaya sangat penuh saat ini. Menyadari bahwa dirinya adalah kesayangan mereka membuat Yaya tak hentinya bersyukur.

"Yuk?" Ajak Opa.

Waktu memang sudah menunjukkan pukul 19.15, sudah lebih 15 menit dari waktu undangan yang disampaikan Kakek dan Nenek Regen. Kata Oma, kalau diundang kerumah orang harus agak ngaret sedikit, begitu etikanya. Entahlah, Oma memang sangat menjunjung tinggi hal-hal seperti itu.

Mereka bertiga pun berjalan santai ke rumah keluarga Regen yang hanya berjarak dua gang dari rumah Oma dan Opa. Beberapa menit kemudian mereka pun tiba dan menekan bel rumah keluarga Regen. Tak lama pintu pun terbuka, menampilkan Regen yang terlihat gagah dan rapi dengan kemeja berwarna putih tulang yang lengannya di gulung hingga siku. Senada dengan dress Yaya malam ini.

"Loh? Kembaran lagi?!"  Opa agak kaget melihatnya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Loh? Kembaran lagi?!" Opa agak kaget melihatnya

"Kalian udah janjian atau memang sehati?" Goda Oma

Sial! Muka gue sekarang pasti semerah kepiting rebus

Sial! Muka gue sekarang pasti semerah kepiting rebus

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Rumah Kakek Hartono dan Nenek Sri /
Rumah Regen

Jogja dan CeritanyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang