Makin Jatuh Cinta

3 3 0
                                    


Gus Hilman kembali ke kamar nya dengan hati yang sembrawut. Niat hati ingin berbagi masalah, ujung-ujungnya malah gigit jari. Gus Hanif memang seperti itu orangnya. Kalau sudah tidur, paling anti jika di ganggu.

Sementara Gus Hilman, ia hanya bisa memakluminya, wajar saja, saat itu jam sudah beralih ke pukul 11 malam. Berbeda dengan di Aceh, pukul 11 malam di Jawa, itu seperti masih pukul 10 di Aceh.

Sedangkan di Jawa, pukul 11 sama seperti sudah pukul 12 di Aceh.  Karna perbedaan jarak perputaran waktu yang lebih awal 1 jam di Jawa. Jadi wajar saja jika Gus Hilman masih betah melek. Kadang juga ia lebih sering tidur hingga lewat tenggah malam.

Gus Hilman berjalan menuju meja yang di jadikan tempat untuk belajar. Diambilnya secarik kertas lalu menuangkan seluruh isi hati nya kedalam lembaran putih itu. Meski agak ragu, takut jika nanti kertas itu di temukan oleh orang lain, itu cukup memalukan sekali bagi dirinya.

"Rukayya Zafiraa, dulu aku memang sangat membenci dirimu. Tapi berpisah dengan mu itu sangat menyiksa ku. Hari yang ku lalui tanpa dirimu itu sangat lah membosankan. Tidak ada gombalan konyol yang biasanya menjadi nyanyian rutin dalam hari ku. Maaf jika dulu aku tidak membiarkan mu masuk ke hati ku. Tapi kini, nama mu terus menari dalam hati ku. Karna bait bait rindu ini tidak akan padam tanpa hadir mu. Belum genap sebulan, tapi sudah berasa setahun. Bagaimana jika aku tampa mu? Mungkin sebagian jiwa ku akan hilang bersama mu. Rindu ini sudah memilih kamu, Rukayyaa."

Gus Hilman melipat kertas itu, lalu menyelipkannya kedalam buku Forto Folio. Ia menghela nafasnya lalu membuangnya dengan kasar. Tubuhnya lelah, tapi hatinya juga tidak kalah lelahnya. Merindu pada yang jauh. Jangankan untuk bertemu, mendengar suaranya saja tidak akan bisa.

"Oh iya, dulu Rukayya pernah menulis no hp di kitab Istilahatul Muhaddisin."

Gus Hilman begitu antusias, lalu berjalan dengan cepat dan mencari kitab itu. Tapi realita tak seindah ekspektasi, kitab itu raib entah kemana. Kemungkinan besar sudah tertinggal di pondok Darul Muhajjirin.

"Astaghfirullah, kenapa nasip tidak berpihak kepadaku? Lagi butuh malah tidak ada, bagaimana aku bisa menghubungi Rukayya, jika no hp nya saja tidak ada."

Tubuhnya terasa lemah dan persendiannya serasa ingin putus. Merasa kecewa pada dirinya sendiri. Karna saat Rukayya menulis no hp nya di kitab itu, Gus Hilman sengaja mengasing kan kitab tersebut.

***

Di tempat lain. Rukayya masih saja setia dengan lamunannya. Meski sudah berstatus istri orang. Tapi hatinya masih milik Gus Hilman. Sekilas, pernikahan itu hanya sebuah pelarian baginya. Tapi nyatanya, ia tetap tidak bisa lari dari kenyataan jika dirinya masih tidak bisa melupakan Gus Hilman.

"Rukaaa, kamu sudah menjadi istri orang. Tidak pantas jika masih memikirkan lelaki lain. Tapi mau gimana lagi, hati nggak bisa bohong. Aku masih mencintai mu Gus, meski tidak ada ruang sedikitpun untuk ku di hati mu," gumam Rukayya, sambil berbaring membelakangi Ustadh Ali.

"Apa sesulit itu untuk melupakan Gus Hilman?" Pertanyaan Ustadh Ali sangat mengejutkan dirinya. Biar bagaimana pun, ia tetap salah karna masih memikirkan orang lain, sedangkan di sampingnya ada seorang lelaki yang sudah menjadi suami nya.

"Enngak kok, Bang. Aku kangen sama Ummi dan Abu. Kita menikah tapi orang tua ku keduanya sudah tiada," elak Rukayya dengan rona wajah yang cukup meyakinkan suaminya itu.

"Oh, kirain mikirin Gus. Walaupun mereka tidak hadir secara langsung. Insyaallah mereka juga bisa melihat dari alam yang berbeda," imbuhnya lagi, sambil melingkarkan tangannya di pinggang Rukayya.

Meski sudah hampir sebulan menikah, hubungan Rukayya dan Ustadh Ali masih terlihat janggal. Tidak seperti layaknya suami istri lain yang selalu bersikap manis. Ini justru seperti orang yang baru mengenal. Bicara seperlunya saja, meskipun suaminya kadang bersikap ramah, tapi balasan Rukayya sangat lah dingin.

"Sayaang, nanti kita jalan-jalan kemana? Apa ke pantai?" tanya Ustadh Ali, mencairkan suasana yang hampir membeku.

"Nggak dulu deh bang, aku males keluar. Pengen di rumah aja," jawab Rukayya dengan wajah yang lesuh.

"Kamu sakit?"

"Enggak kok Bang. Cuma moodnya lagi kurang," jawab Rukayya sambil beralih membelakangi suaminya itu.

Ustadh Ali hanya menghela nafasnya. Rukayya yang sekarang benar-benar sudah berubah. Yang biasanya suka bar-bar, ini justru sangat dingin.

Meski Ustadh Ali dapat menebak perubahan sikap Rukayya, tapi tetap saja tidak mungkin jika ia membahas masalah itu dengan istrinya itu. Terlebih lagi Rukayya masih berusia 18 tahun. Masih sangat mudah terpancing emosi.

"Bagaimana caranya agar kamu bisa menerima aku, Rukayyaa?" batin Ustadh Ali, sambil meraup wajahnya dengan kasar.

"Ali, pagi-pagi udah di tekuk aja mukanya," goda Buya, sambil melemparkan sebuah senyuman kecil pada anaknya itu.

"Ah Abu, enggak kenapa-napa, cuma lagi pusing mikirin soal ujian pondok, Bu!" elak nya, sambil ikut duduk di sebelah Buya.

"Abu tahu, kamu sebenarnya bohong kan?" skak Buya, sambil mentautkan kedua alis nya yang tebal.

"Maksud Abu?"

"Abu juga pernah muda. Kamu tahu pribahasa tentang air dan batu?"

"Kenapa, Bu?"

"Sekeras-kerasnya batu, jika di teteskan air terus menerus pasti batu itu juga akan bolong dengan sendirinya. Yang menjadi permasalahan hanya saja waktunya yang belum tepat."

Ustadh Ali mengangguk, mengerti apa yang di maksudkan oleh ayahnya itu. Meski sudah tidak lagi muda, tapi petuah-petuah beliau cukup meyakinkan hati dan cukup bijaksana.

Ustadh Ali tidak menyerah begitu saja, ia yakin jika suatu hari nanti akan mendapatkan cinta Rukayya, meskipun sikap Rukayya yang kerap dingin padanya.

***

Di desa Mahbubah, Gus Hilman memberanikan dirinya untuk datang menemui Kiai Anshar untuk mengutarakan niatnya, menolak perjodohan bukanlah perkara yang mudah, semudah membalikkan telapak tangan. Jantungnya terus memompa dengan cepat, bagaimana jika nanti Kiai Anshar marah, dan apa nanti yang akan di katakan.

"Bismillah, ayo Man, kamu pasti bisa!" serunya dalam hati, sambil mengelus dadanya.

Langkahnya perlahan mulai menaiki anak tangga rumah Kiai Anshar, meskipun sedikit kaku, tapi ia sudah berniat ingin menyudahi perjodohan itu.

"Assalamualaikum!" Salamnya, dengan suara sedikit bergetar.

"Waalaikumsalam warahmatullah!" Ternyata yang membuka pintu dan menjawab salam nya adalah Shafiya.

"Abii, ada Gus Hilman," pekik Shafiya sambil berlari kecil ke kamar Kiai Anshar.

Mendengar nama Gus Hilman, Kiai Anshar lansung keluar dari kamar nya dengan senyum merekah. Batinnya berharap, jika Gus Hilman datang membawa kabar yang bahagia.

"Masyaallah, duduk Gus. Sudah lama?" tanya Kiai Anshar, basa basi.

"Baru saja, Kiai." jawabnya singkat.

"Bagaimana, apa sudah ada jawaban?" Kiai Anshar lansung membuka pembicaraan ke point utama, seolah tahu maksud kedatangannya itu apa.

"Eumm,,,!" Lidah Gus Hilman terasa cukup keluh, bingung ingin menjawab dari mana dulu.


"Katakan saja, Gus. Apapun jawabannya, insyaallah saya terima!"

"Begini Kiai, sebelum nya saya minta maaf, saya tidak enak jika harus mengatakannya. Tapi saya juga lebih tidak enak jika tidak mengatakan."

"Katakan saja."

"Saya tidak bisa menerima perjodohan ini, karna hati saya sudah milik orang lain. Saya minta maaf Kiai, saya tidak bermaksud untuk menyakiti perasaan Shafiya juga Kiai. Saya harap Kiai bisa memakluminya."

Mendengar pengakuan Gus Hilman. Kiai Anshar lansung terhenyak. Penantiannya selama 8 tahun sia-sia. Sedangkan Shafiya, hanya menangis saat mendengar itu, hatinya hancur kala itu. Mencinta tapi tak berbalas.

***

Bait Rindu sang MurabbiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang