3. Feeling Lonely

258 26 0
                                    

Salwa mencebik melihat ada tiga puluh tiga panggilan tak terjawab dari Abyan, membuat hatinya yang tadi membaik kini kembali sakit. Ia tertidur sangat lama setelah puas menangis, tanpa tahu keadaan mereka di luar sana, apakah sudah pulang atau masih ada. Mungkin Salwa adalah contoh menantu kurang ajar karena meninggalkan mertuanya yang sedang berkunjung.

Tapi mau bagaimana lagi, kalau hatinya sedang tak baik - baik saja. Dan semakin sakit kalau nekat melihat wanita berstatus sepupu yang terlihat jelas menyukai suaminya itu. Ia tak bodoh sampai tak bisa membedakan tatapan memuja wanita itu, karena ia pun pernah seperti itu ketika bertemu Abyan untuk pertama kalinya.

Teringat hal itu membuatnya kembali menangis karena menyadari ia lah yang memulai semuanya. Ia yang menyukai lelaki itu untuk pertama kalinya, ia yang nekat berkenalan dan meminta nomor telepon Abyan, dan dirinya lah yang pertama kali menyatakan cinta. Walau pada akhirnya Abyan lah yang pertama kali mengajaknya menikah.

Jemari yang sibuk menghapus air matanya kini terhenti, ketika telinganya tak sengaja mendengar langkah kaki dari luar kamar. Hampir saja ia berteriak kalau saja sosok yang sangat ia kenali itu tak terlihat. Tanpa sadar bibir itu mencebik kesal, sangat kesal melihat rupa lelaki yang sudah membuatnya kacau seperti ini.

"Ngapain pulang?!" Tanyanya ketus, dan membalikkan tubuh agar tak bertemu pandang dengan lelaki berstatus suaminya itu.

Tapi sialnya ia terpaksa menoleh ketika tak jua mendengar suara Abyan, dan mencebik ketika Abyan tanpa rasa bersalah melepaskan kaos yang ia gunakan bahkan tanpa ragu merebahkan tubuh tepat di sampingnya. Decakannya terdengar merasakan Abyan yang memeluk tubuhnya tanpa tahu malu, seolah tak bersalah sama sekali.

"Kamu kenapa?" Suara berat Abyan, terdengar jelas. Bagaimana tidak, kalau Abyan baru saja berbisik tepat di telinganya.

"Menurut Mas?!" Tanyanya, dan melengos ketika helaan napas Abyan terdengar.

"Aku minta maaf ya."

Salwa benci dengan keadaan seperti ini, ia benci dengan Abyan yang selalu meminta maaf tanpa mau menjelaskan masalahnya terlebih dahulu. Apakah tidak bisa Abyan menjelaskan semuanya dan mereka berbicara dari hati ke hati sampai tahu kesalahan itu bermula di mana. Bukan seperti ini yang ia mau, tak semua kata maaf itu bisa menyelesaikan masalah.

"Jelasin semuanya?!" Tanyanya lagi, mencoba mengabaikan suaranya yang kembali bergetar. Ini adalah salah satu hal yang tak ia sukai dari dirinya sendiri. Selalu menangis ketika sedang marah, kesal dan kecewa. Ia sangat ingin seperti wanita tangguh di luaran sana, yang tetap tegar dalam kondisi apa pun.

"Kamu dikte aja, aku lupa kesalahan aku yang mana, kayaknya banyak ya?"

Tangan Abyan yang ingin mengelus pipinya dengan cepat Salwa tepis, tak akan ada sentuhan malam ini, ia tak akan mau. Tatapan mereka bertemu dengan raut yang berbeda, Salwa yang menatap dengan sinis, hanya dibalas raut datar Abyan. "Kenapa nggak pernah balas pesan aku?!"

Kerutan di kening Abyan terlihat jelas, pertanda ia sedang berpikir keras. "Bukannya aku udah balas?"

Salwa lagi - lagi mencebik kesal, ia tak menyangkal kalau Abyan memang sudah membalas pesannya. Tapi masalahnya, lelaki itu hanya membalas dua kali dari dua puluh pesan yang ia kirimkan. "Tapi Mas nggak niat buat balas pesan aku!" Tanyanya lagi, merasa tak puas dengan jawaban Abyan.

"Iya maaf, besok aku usahain selalu balas pesan kamu."

Puas? Tentu saja tidak, masih ada yang mengganjal di hati Salwa.

"Apa bedanya aku sama Syifa?!" Tanyanya lagi, merasa tak perlu berbasa basi.

Kalau tadi kening Abyan berkerut, maka kini kerutan itu harus ditambahi dengan kedua alis yang hampir bertaut. "Kamu ngomong apa?"

"Ngomongin aku sama sepupu Mas, aku penasaran bedanya aku sama dia apa sih?"

Salwa yang kembali ingin menepis tangan Abyan, harus berbesar hari karena rencananya tak berhasil, karena kini lelaki itu dengan leluasa mengelus pipinya.

"Kamu istri aku, sedangkan Syifa sepupu aku."

"Sepupu kesayangan!"

Salwa dengan cepat menghindar ketika menyadari Abyan ingin mengecup pipinya. Kalau biasanya ia akan luluh, maka tidak untuk sekarang.

"Aku pikir ada sesuatu yang serius, makanya aku telepon. Maaf kalau kamu marah karena hal itu." Jawab Abyan lirih, dengan tangan yang masih setia mengelus pipi mulus Salwa.

Wajah Salwa yang masih masam sampai detik ini tak jua berubah, rasanya sangat lucu kalau ia langsung luluh setelah mendengar penjelasan Abyan. Rasa kesal di hatinya sudah menumpuk dan ia malas untuk menjadi istri pemaaf untuk suami yang menyebalkan.

***

"Ikut ya!"

"Kenapa harus ikut?"

"Kasihan kamu sendirian terus di rumah."

Salwa tak bisa menyembunyikan tawanya mendengar ucapan Abyan. Ke mana saja ia selama ini, kenapa baru sadar kalau istrinya ini selalu sendirian. Mereka hidup berdua, tapi seolah hidup sendiri - sendiri dengan kesibukan yang tak sama. Abyan terlalu sibuk dengan pekerjaannya dan ketika memiliki waktu luang ia lebih memilih sibuk dengan hobinya. Membuatnya teringat kapan terakhir kali mereka menghabiskan waktu berdua? Sial! Ia lupa kapan terakhir mereka melakukannya.

Sebagai seorang istri, ia tak mengeluh memiliki suami yang sibuk bekerja. Bahkan ia bangga karena tahu suaminya adalah seorang pekerja keras dan melakukan itu semua untuk istrinya. Tapi hal yang tak ia sukai adalah Abyan seperti tak menyadari kalau seorang istri juga perlu diperhatikan. Ia tak meminta lebih, cukup Abyan bercengkrama dengannya di saat waktu luang itu sudah lebih dari cukup.

Salwa mungkin bisa saja mencari kesenangan di luaran sana, ia punya teman yang bisa diajak bersenang - senang. Tapi ia memilih tak melakukan itu karena sadar dengan statusnya saat ini, dan itulah yang ia inginkan dari Abyan, meluangkan waktu yang tak seberapa dengan menceritakan banyak hal yang membuat mereka semakin dekat.

Abyan menyayanginya, ia tahu itu. Lelaki itu selalu memperlakukannya dengan baik, bahkan sangat pandai meluluhkan hatinya.

Tapi apakah Abyan mencintainya?

Entahlah ia tak pernah mendengar itu secara langsung.

"Sayang." Suara Abyan yang kembali memanggil, menghentikan lamunan Salwa. Ia menatap wajah lelaki di sampingnya ini, ada binar berharap di mata itu tapi entah kenapa tak membuatnya bahagia.

"Emang boleh bawa istri?"

"Boleh, aku dikasih rumah dinas jadi kamu bakalan nyaman di sana."

"Berangkat kapan?"

"Besok pagi."

Salwa yang sedang mencuci piring bekas makan malam mereka, menghentikan kegiatannya. Ia menatap Abyan dengan pandangan nanar. Lagi dan lagi, apa yang ia dengar selalu membuatnya kecewa.



Bersambung.

Feeling Lonely [END]Where stories live. Discover now