Takdir

297 14 0
                                    

"Kenapa ada disini?"

"Saya disuruh Bapak untuk menjemput Nona."

"Untuk apa? Bukankah lima tahun lalu Bapak sendiri yang mengatakan jika saya bukan anaknya."

Masih teringat di ingatanku peristiwa yang membuatku sadar bahwa selama ini aku hidup sendiri.

Dimana diriku adalah anak pertama dari dua bersaudara, aku adalah anak mendiang istri pertama Bapak.

Saat itu aku baru saja lulus sekolah menengah atas, seharian berpesta dengan teman-teman membuatku lupa jika ada prahara yang tengah aku sembunyikan. Prahara yang membuat diriku terbuang dari rumah.

"Gea? Kamu hamil?" Todong Bapak saat aku baru saja duduk di kursi. Bapak saat itu tengah berdiri dan memegang tespek.

Usiaku yang masih terbilang belasan tahun membuat rasa takutku akan amarah Bapak cukup besar. Saat itu aku tahu bahwa masa depanku akan hancur.

"Gea bicara sama Bapak? Iya atau tidak?" Aku mendongak menatap Bapak yang berdiri dihimpit Dea dan Mama Eli. Dan aku putuskan untuk mengangguk, toh memang aku sudah hamil.

"Ya Tuhan Gea, apa yang kamu lakukan." Racauan dan sumpah serapah aku dengar, aku tahu Bapak kecewa tetapi disini aku juga butuh penguat. Dan aku sadar jika diriku salah karena telah melakukan hal yang seharusnya dilarang.

Nasi sudah menjadi bubur, dimana aku nggak bisa mengugurkan janin ini. Karena bagiku janin ini tak berdosa, salahkan tingkahku tapi jangan pernah menyalahkan anakku.

"Anak siapa dia Gea?"

Apakah aku harus menyebutkan siapa ayah dari janinku disaat beberapa hari yang lalu pria yang menghamiliku mau bertunangan dengan adikku.

Aku putuskan untuk tetap diam. Menjaga nama baiknya untuk ketenangan keluarga ini.

"Bapak sudah susah-susah membesarkanmu tetapi ini yang kau perbuat?"

"Sudah aku bilang Mas, kalau Gea nggak sebaik apa yang ada dipikiran kamu." Ucap Mama Eli yang membuat diriku bersumpah bahwa apa yang menimpa diriku suatu hari nanti pasti akan menghancurkan hidupnya.

"Lebih baik kamu keluar dari rumah ini. Bapak nggak mau lihat wajah kamu lagi."

Dan detik itu juga aku tidak pernah menginjakkan kaki di rumah yang menjadi saksi bisu tumbuh kembangku. Aku keluar dengan membawa baju dan uang tabungan yang selama ini aku sisihkan.

Bagiku titik itu menjadi titik awal Gea yang hebat dan Gea yang pemberani. Kujalani kehamilan ini dengan bekerja di sebuah toko kecil di pinggiran kota. Dengan gaji sedikit setidaknya aku bisa memenuhi biaya hidup.

Hingga akhirnya aku melahirkan bayi mungil yang begitu tampan, bayi yang sekarang sudah tumbuh menjadi anak kecil yang menggemaskan. Bayi yang kuberi nama Angkasa Mahendra.

"Bapak tengah kritis Nona. Apa hati kecil Nona tidak ada secuil rasa kasih sayang?"

Deg!

Sebagai manusia pasti aku memiliki rasa itu, tapi apakah rasa itu cocok untuk Bapak?

Aku menatap pria yang selalu ada untukku, pria yang dikirim Bapak selama beberapa tahun ini.

"Jangan biarkan rasa itu hilang karena Nona sakit hati." Ucapnya, "Nona yang saya kenal adalah perempuan yang baik, yang bisa memaafkan siapa saja." Hiburnya.

Apakah aku sebaik itu? Jelas tidak. "Apa jaminan jika aku mengunjungi Bapak?"

Pria itu menatapku, netra gelap yang memancarkan ketenangan. "Setidaknya Nona tidak akan merasakan seperti saya."

Short Story I (Karyakarsa) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang