Fear⚠️

3.8K 192 27
                                    

⚠️ terdapat adegan kekerasan yang tidak boleh ditiru.

Sebelumnya, maaf ya guys karena kepikiran untuk ghosting kalian beberapa bulan:> tapi kemarin aku ada liat komen katanya kangen, yang bikin aku mikir ulang. Kalian rajin-rajin komen & vote ya! Biar aku rajin-rajin update hahah

Selamat baca

U ´ᴥ' U

"Kakak," panggil seorang remaja yang lumayan tinggi itu, dia meremas tali tasnya sembari menatap ragu mata laki-laki yang lebih tua di hadapannya.

Laki-laki itu tidak bereaksi banyak, hanya menatap Jeno—yang barusan memanggilnya dengan alis sebelah terangkat.

Jeno memutus kontak mata mereka, tatapan saudaranya yang tajam dan sarat akan ketidaksukaan itu membuat dirinya ingin meringis sedih di pagi hari seperti ini. "Boleh Jeno ikut?"

Seakan suaranya begitu mahal, laki-laki yang Jeno panggil kakak itu tak berujar apa-apa, hanya melegos pergi sebagai tanda dia menolak.

Jeno tersenyum kecut, tidak apa-apa. Kan memang sudah biasa—maksudnya, sudah harus biasa.

Dia lalu menatap entitas lain, saudaranya yang juga baru keluar dari rumah. "Bang? Jeno boleh numpang? Sampai pertigaan aja, gak apa-apa," ujarnya, mau tak mau berujar cepat agar didengar tuntas.

Pemuda berlesung pipi itu menoleh, wajahnya nampak enggan untuk menatap Jeno. "Gak, pergi sendiri sana. Ogah gue," ujarnya. Begitu enggan berkomunikasi lama-lama dengan anak yang katanya adalah adiknya, maka dengan segera dia memasuki mobilnya dan berkendara saat itu jua, mana peduli pada Jeno yang diam terbisu seribu bahasa.

"Okay, it's okay, Jen. Lo bisa jalan sendiri!" Jeno menyemangati dirinya. Meski hatinya sedih, saudaranya masih saja menolak kehadirannya. Sungguh, padahal alasan tak masuk akal keluarganya adalah hal di luar kuasa Jeno.

Tapi ya sudah, mau diapakan lagi? Jeno hanya bisa pasrah dan berdoa, semoga suatu saat para saudaranya itu berubah.

Langkah kakinya lantas membawa Jeno untuk memulai perjalanan menuju sekolah yang letaknya agak jauh dari rumah. Dalam hati dia kembali berharap, semoga saja datang tepat waktu atau hukuman berlari 10 kali lapangan outdoor akan menyapanya pagi ini.

U ´ᴥ' U

Jeno mengusap peluh yang bercucuran di dahi. Kacamatanya sampai merosot karena hidung bangirnya jadi licin, maka dari itu dia memilih mengantonginya saja. Tidak apa-apa penglihatannya jadi terganggu, yang penting kacamatanya aman.

Seperti dugaan, pagi ini Jeno terlambat. Dia sedang mengitari lapangan, ini adalah putaran ke-tiga, dan kemeja Jeno sudah basah akibat keringat. "Jeno pasti bisa! Ayo, Jeno bisa!" Jeno bergumam di sela-sela kegiatan berlarinya, meski napasnya sudah mulai memendek dan dadanya terasa sesak.

Dalam hati, Jeno berandai-andai. Andai saja, kedua saudaranya berkenan mengantarnya, pasti dia tidak akan dihukum seperti ini. Ah, jika harapan itu terlalu tinggi, maka Jeno akan merendah; andai saja, para anak-anak yang berkuasa di sekolah ini tidak merenggut paksa uangnya, Jeno dapat berangkat menggunakan bis sebagaimana biasanya.

Tidak mau hatinya berubah makin mendung, Jeno menggelengkan kepala, mengenyahkan segala perkara yang membuatnya semakin penat. Dia sudah memasuki putaran ke-empat.

Langkah Jeno mulai gontai pada putaran ke-enam, dia sudah ngos-ngosan, lalu berdiri dengan tumpuan pada lutut. Jeno mendongak, menatap Pak Kim yang menatapnya garang, "Lanjutkan, Jeno!"

Jeno terhentak karena teriakan itu, dia lalu langsung berdiri tegap dan kembali berlari sendirian mengitari lapangan. Hanya dia yang terlambat hari ini.

Shorts: Lee Cute Jeno [Selesai]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang