chapter 8 - marah

297 6 0
                                    

Elendra melakukan aktivitas nya seperti biasa. Menjadi seorang dosen. Setelah 3 tahun mengabdi dan memilih kampus yang sama, Elendra terpilih menjadi dekan hal ini menjadikan sosok Elendra sebagai sosok yang di segani. Namun, sudah banyak kabar beredar bahwa dirinya memang masih berpacaran dengan salah satu mahasiswa yang ada di Fakultas nya itu.

Elendra menghampiri ruangan yang menjadi tempat biasa ia bertemu dengan syifa. Tatapannya masih sama. Ia merindukan sosok syifa. Sudah 2 minggu lamanya Elendra tidak menemui syifa. Bahkan untuk memberikan pesan melalu kabarpun Elendra tidak lakukan. Hal itu Elendra lakukan untuk menghindari perasaan negatif Syifa, karna benar saja. Elendra sangat menghargai Syifa dan tidak mau Syifa berfikiran negatif tentangnya.

"Sudah lama ya anak kecil disini? Hari ini mau makan apa? maaf ya kakak ngga kabarin anak kecil ini" Ungkap Elendra sambil mengelus rambut halus Syifa.

"Mau makan nasi goreng aja, tapi nanti cerita ya? Syifa minta maaf gabisa hadir waktu mama kakak ngga ada" jawaban Syifa mampu membuat Elendra semakin gemas, umpan balik yang diberikan Syifa dengan muka polos nya mampu menyihir Elendra yang ia ajak untuk berbicara.

"Sayang, jangan diem aja" memegang tangan Elendra.

"Iya cantik, ayo makan. Udah kelas kan?"

Mereka melewati koridor dan mencari kantin ternyaman dan bebas dari gangguan mahasiswa lain. Elendra benar-benar meratukan Syifa. Dimulai saat Syifa tidak suka cuaca panas. Elendra selalu menyediakan kipas mini portabel di tasnya. Ia tak mau kekasihnya itu kepanasan. Syifa dan Elendra memang sering menghabiskan waktu berdua. Meskipun keduanya sama-sama memiliki tugas di kampus,  mereka selalu menyempatkan untuk sekedar mengobrol atau bertegur sapa. Elendra tidak pernah membiarkan kekasihnya itu merasakan kesepian, kecuali saat mendesak seperti meeting ataupun ada kegiatan kampus lainnya.

2 jam lamanya Elendra menghabiskan waktu itu dengan Syifa, tiba-tiba suara dering pesan berbunyi.

From : kila
"Mas, kila udah masak nanti mas cobain ya masakan kila dirumah."


Elendra  :
Saya hari ini ada rapat, prodi meminta saya
untuk rapat

Kila :
yah, padahal kila udah masak :)

Elendra :
Kamu makan sendiri dulu, bisa kan?

Kila :
Tapi kan...

Elendra :
ini lebih penting, la

Kila:
Iya mas

Handphone itu langsung disimpan kembali oleh Elendra. Dering pesan berikutnya ia abaikan.

Bagi Elendra mungkin pernikahan yang ia jalani dengan Kila tidak sepenting itu. Bahkan, untuk urusan makan bersama. Elendra tidak terbiasa dengan semuanya, ia hanya bisa melakukan hal romantis itu dengan Syifa dan hanya Syifa. Keberadaan kila mungkin sebagai pelengkap rumah tangga tapi tidak dengan hati Elendra. Ia belum bisa menerima kila. Sedangkan kila, hatinya yang luas mampu bertahan dengan Elendra. Kila selalu berfikir kalau nanti ia akan dicintai secara tulus oleh Elendra tanpa tetapi, namun saat ini ia hanya bisa mengharapka sesuatu itu terjadi. Sesuatu yang hanya bisa menjadi pengharapan biasanya tidak dapat menjadi kenyataan, karena sudah banyak ekspetasi duluan. Jadi, ketika kita membiarkan ekspetasi itu berjalan dengan pikiran kita sendiri, kita akan kehilangan akal untuk hal yang seharusnya. Sama seperti perasaan. Kalau perasaan dipaksa tumbuh, seterusnya ngga akan bisa tumbuh. Beda dengan perasaan yang dirawat. Sama seperti tanaman dan bunga, lama kelamaan akan mekar dan merona.

El&KilaWhere stories live. Discover now