28. Yuno akhirnya tau

2K 150 14
                                    


"Apakah masih ada orang disana? Yang paham rasanya sakit dan kecewa? Namun, sulit untuk melepaskan...."


>><<>><<>><<


Malam sudah menyergap. Suasana hening khas malam hari merambat di setiap rumah yang ada. Termasuk rumah besar bertingkat dua itu. Hanya saja, keheningan yang merambat di rumah itu bertambah dua kali lipat. Berbeda seperti rumah orang lain. Hanya mereka yang bermukim di rumah itu yang tahu sebabnya.

Yang mana tidak lain karena sudah tidak kemistri pada sekumpulan manusia yang harusnya menciptakan hal itu.

Bahkan kini, setelah tercetusnya kata pisah setelah sepuluh tahun menanti, suasana tampak makin suram. Bukan kelegaan sama sekali.

Silsia mengetuk kamar Sintia, anaknya. Sosok yang harusnya paling berbahagia dan memang, hanya gadis itu yang paling menantikan momen pisah ini, tetapi justru gadis itu yang akhir-akhir ini tampak murung. Terlebih tadi, saat pulang Sintia tampak begitu kacau. Sepertinya ada terjadi sesuatu saat dia keluar.

Silsia menghela napas. Memikirkan oleh sebab apa anaknya ini menangis begitu kembali dari luar.l.

''Sayang, Bunda ijin masuk, yah?'' tanya Silsia setelah usahanya mengetuk pintu tidak digubris dari dalam. Tanpa menunggu respon lagi, Silsia masuk.

Sementara itu, Sintia yang sedang melamun sambil bersandar di kepala ranjang mendengus. Kemudian, berubah gaya tubuhnya menjadi tertidur, memunggungi bundanya yang baru masuk.

''Loh, kok tidur sih, Sayang?'' Silsia mendesah lelah. ''Bunda mau ajak bicara sebentar boleh?''

''Bicara aja. Aku denger, kok.''

Silsia harus bersabar dengan respon Sintia yang tidak memuaskan.

''Kamu masih marah yah sama Bunda? Karena Bunda mutusin tinggal disini dulu?''

''Yaiyalah, menurut Bunda apalagi? Aku nggak suka banget sama keputusan Bunda ini yah!'' Sintia yang mengalihkan muka, langsung menatap bundanya. Mengernyit tidak suka.

''Bunda nggak pernah yah buat keputusan yang bener! Untuk kesekian kalinya keputusan Bunda ini kecewain aku!"

Untuk sejenak, Silsia tersentak menemukan mata Sintia yang sembab. Sangat sembab. Seolah habis menangis begitu deras. Sintia sepertinya tersadar akan apa yang dilihat bundanya, sontak ia menyembunyikan dirinya dalam selimut.

Silsia menatap Sintia cemas. ''Bunda harus gimana lagi, Sintia? Kamu lihat sendiri Ayah kamu waktu itu marahnya kayak gimana .... Bunda takut hipertensinya kambuh, kan bahaya. Lagian setelah cerai resmi, kita bisa pergi kan? Oke? Jangan ngambek lagi yah?'' Silsia berujar lembut. Membujuk anaknya dengan sabar. Meski begitu, hatinya terpukul melihat mata anaknya yang membengkak.

Sintia mendengus dibalik selimut. Sejujurnya untuk saat ini, Sintia sedang berpura-pura marah kepada bundanya. Berharap bundanya berpikir bahwa ia menangis karena keputusan mereka tinggal disini, bukan karena alasan yang lain.... ''Hipertensi? Emangnya istri barunya kemana? Ngapain? Nggak bisa jagain suaminya? Lagian kenapa sih Bunda masih mau merhatiin perasaan Ayah? Dia kan udah punya keluarga sendiri!'' Sintia terkekeh sinis.

Silsia mengambil tangan Sintia dan menggenggamnya. Hatinya terasa nyeri karena ucapan Sintia pada ayahnya. Dibalik itu semua tersimpan perasaan yang sudah disakiti berkali-kali hingga rasanya perasaan itu sudah mati rasa.

Sintia menghempas tangan bundanya. ''Seandainya dulu Bunda tegas. Berpikir jernih. Kita nggak bakal diterror mulu sama perhatiannya. Caper banget asli. Apaan itu! Mau beliin makanan kesukaan? Mau anter jemput?'' Sintia tanpa sadar terkekeh miris. Mengenang sesuatu yang lampau, yang kini justru menjadi kenangan ingin dilupakan sekarang. ''Emangnya dia pikir makanan kesukaan aku masih sama seperti dulu? Emang dia pikir masih harus nganterin aku ke sekolah? Semua masih sama seperti 10 tahun lalu gitu?''

REMUKWhere stories live. Discover now