Pelita Kasih Ibu (Slice of Life)

15 2 0
                                    

"Kenapa Dian harus lahir dari rahim Ibu? Kenapa nggak dari rahim wanita kaya? Kenapa harus lahir dari rahim wanita miskin seperti Ibu?" tanya seorang perempuan sambil menunjuk wajah wanita paruh baya yang berdiri di depannya.

Wanita itu hanya menatap sedih ke arah putri semata wayangnya yang jari telunjukknya mengarah tepat di wajahnya. Ketika mendengar pertanyaan yang begitu menyakitkan, wanita paruh baya bernama Anggun itu sekuat tenaga menahan air mata yang hendak menetes dari pelupuk matanya.

"Sadar, Dian. Perkataan kamu itu tidak pantas." Anggun mencoba meraih tangan putrinya, tetapi Dian dengan kera menepis tangan yang berkeriput itu, sampai-sampai membuatnya sedikit oleng. Tubuh ringkihnya tidak bisa menahan tepisan kuat Dian.

"Bu! Kalau kamu bukan Ibuku, aku pasti tidak akan dirundung! Aku tidak akan dihina miskin jika kamu bukan Ibuku! Kamu sudah tua! Miskin! Jelek pula!" teriak Dian sambil melipat tangannya di depan dada. Menatap dingin ke arah Anggun yang raut wajahnya mengguratkan kekecewaan.

Setelahnya, ia mendengkus kesal lalu pergi begitu saja dari hadapan Anggun. Ia melenggang tanpa berpamitan lebih dulu. Anggun menatap punggung putrinya yang dahulu selalu menghormati, patuh dan menghargainya, tetapi begitu masuk ke bangku sekolah menengah atas, sikapnya mulai berubah. Suka sekali hidup mewah, membeli barang-barang mahal dengan uang yang seharusnya digunakan untuk keperluan sekolah, bahkan rela memecah celengan yang sejak dulu ia simpan untuk membeli tas dan sepatu mahal.

Anggun meluruhkan tubuhnya, air mata mengalir begitu deras membasahi wajah keriputnya. Ia berkali-kali menghapus air matanya dengan punggung tangannya. "Kenapa kamu berubah, Dian? Kamu bahkan melupakan janjimu untuk tetap menjadi Dian putri Ibu," lirih Anggun. Ia menyandarkan tubuhnya di kaki meja yang sudah mulai rapuh. Hatinya merasakan sesak yang luar biasa, putrinya yang ia besarkan dengan penuh kasih sayang, perlahan mulai menyakiti hatinya. Selalu tidak terima jika ia menjadi ibunya.

"Bagaimana kalau kamu tahu Ibu menemukanmu di bawah jembatan saat mencuci pakaian? Apa kamu akan semakin marah dan menyalahkan Ibu karena membawamu pulang?" tanya Anggun lirih sambil terisak. Suaranya begitu pilu, membuat siapa saja ikut merasakan bagaimana sakit hatinya dia.

Ia mencoba bangkit walau tubuhnya lemas. Perlahan berjalan mendekati kamarnya. Begitu sampai, ia meraih buku bersampul usang yang selama ini menjadi tempatnya menulis keluh kesahnya. Padahal, ia sudah berkata tidak akan menuliskan kisah menyakitkan lagi, tetapi hari ini ... ia mulai menuliskan kembali kisah pilu yanh dirasakannya.

Dian ....

Maafkan Ibu karena menjadi Ibu yang miskin dan tidak mampu memberimu kemewahan. Namun, percayalah, sejak pertama kali Ibu menemukanmu, rasa cinta Ibu padamu lebih besar dari segalanya. Bahkan, Ibu menganggapmu putri kandung Ibu. Ketika mendengar kamu memanggil Ibu dengan senyuman manis di bibirmu, bahagia Ibu rasakan. Seolah kupu-kupu menari di perut Ibu, membuat Ibu tidak bisa berhenti tersenyum, bahkan tertawa.

Dian ... jujur Ibu sakit ketika kamu tidak menerima Ibu sebagai Ibumu, tetapi Ibu sadar, karena Ibu memang bukan ibu kandungmu. Semoga kamu tidak pernah tahu jika wanita tua yang miskin ini bukan ibu kandungmu dan orang yang membawamu ke gubug tua dan reot ini.

Sekali lagi maaf Dian ....

Oh iya Dian, Ibu juga ingin bercerita, sebenernya ... waktu Ibu tidak lama lagi, penyakit Ibu, ya, benar. Ibu mengidap penyakit kanker darah stadium akhir. Ibu berharap bisa melihatmu menikah. Namun, rasanya setiap hari Ibu semakin lemah.

Begitu selesai menulis, air mata semakin deras keluar dari pelupuk matanya. Namun, belum sempat ia menghapusnya, seorang pria tua tergopoh-gopoh memasuki rumahnya.

"Bu Anggun! Bu .... Bu Anggun! Dian kecelakaan!"

Bak tersambar petir di siang hari yang terik, Anggun begitu terkejut mendengar perkataan pria tua itu. Air matanya kembali mengalir, ia segera keluar dari kamar dan mendekati pria tua itu.

"Bapak jangan bercanda! Baru beberapa menit yang lalu Dian pergi dari rumah. Saya tadi masih berbicara dengannya, bagaimana dia kecelakaan?" tanya Bu Anggun dengan raut wajah khawatir.

"Saya tidak bercanda Bu, mari ikut saya ke rumah sakit. Dian langsung dibawa ke sana, kondisinya parah. Matanya tertusuk ranting ketika ia terpental jauh." Penjelasan pria tua itu membuat hati Anggun seolah tertusuk ribuan jarum. Sakitnya bahkan beribu kali lebih sakit dibanding tadi saat Dian memakinya.

Anggun mengangguk lalu berjalan mengikuti pria tua itu untuk pergi ke rumah sakit. Beberapa menit kemudian, mereka sampai di rumah sakit di mana Dian berada. Anggun segera bergegas pergi ke UGD bersama dengan pria tua tadi. Begitu sampai di sana, dokter sudah berada di luar dengan raut wajah khawatir, di dalam ada dokter yang sedang menangani Dian, sementara ia sedang menunggu keluarga Dian untuk bertindak.

"Bagaimana kondisi anak saya?" tanya Anggun dengan suara parau. Tubuhnya lemah, ia menguatkan diri agar tetap sadar dan berdiri.

"Ranting yang menusuk mata anak Ibu membuatnya kemungkinan tidak bisa melihat lagi.

Tubuh Anggun mendadak semakin lemah, bahkan ia sudah tidak kuat menopang berat badannya sendiri. Dokter itu dengan sigap menopang tubuh Anggun, perawat yang lewat di sana pun dengan sigap membantu. Membawa Anggun untuk segera dirawat.

***

Satu minggu berlalu, usai operasi mata, Dian sudah bisa melihat dengan normal. Ia menatao sekeliling ruangannya dirawat tetapi tidak mendapati ibunya. Ia merasa aneh, tidak mungkin ibunya tidak peduli padanya, selama ini, ibunya selalu khawatir padanya dan dengan telaten merawanya jika sakit.

"Di mana Ibu saya?" tanya Dian pada perawat yang tengah memeriksa cairan infus.

"Oh, apakah wanita paruh baya yang mendonorkan mata itu ibumu? Dia menitipkan surat untukmu." Perawat itu memberikan selembar kertas yang ia ambil dari saku bajunya.

"Apa? Mendonorkan mata? Tidak! Jangan bohong! Aku tidak sudi menerima mata wanita miskin dan reot itu!" teriak Dian.

Perawat itu tampak terkejut, ia bahkan sampai mengusap dadanya. Ia menggelengkan kepala tidak percaya. "Kamu akan menyesal berkata seperti itu. Ingat Mbak .... Kasih sayang seorang ibu itu akan terus bersinar walau dalam kegelapan." Begitu selesai mengatakannya, perawat itu keluar dengan wajah kesal.

"Anak tidak tahu diri," gerutunya.

Dian membuka surat yang ditulis oleh perawat itu ketika Anggun sudah tidak berdaya menggerakkan tangannya.

Dian ... ketika kamu membaca surat ini, mungkin ini adalah kali terakhir kamu mendapat ungakapan sayang dari Ibu, tapi percayalah, kasih sayang Ibu tidak akan pernah hilang. Bahkan sampai Ibu tiada, oh iya, semoga mata Ibu cocok denganmu, Nak.

Maafkan Ibu karena selama ini, tidak bisa memberikan apa yang kamu mau. Maaf sudah membuatmu malu. Maaf Ibu tidak bisa menyaksikanmu menikah kelak. Jika kamu bertanya, mengapa tulisan tangan Ibu sebagus ini? Itu bukan tulisan Ibu, tetapi perawat yang menyampaikan surat ini padamu. Beruntung dia bersedia membantu, jika tidak ... Ibu akan sangat sedih.

Salam hangat dari Ibumu, wanita tua yang miskin ini.

Begitu selesai membaca surat itu. Air mata Dian tidak bisa berhenti mengalir. Raungannya bahkan terdengar memilukan.

"Arghh! Tidak! Ibu tidak boleh pergi! Ibu harus tetap bersama Dian! Ibu ... Dian mohon, kembalilah. Maafkan Dian Ibu. Maaf," ujar Dian sambik terisak.

Dian mencabut infus yang menempel pada punggung tangannya, membuat darah keluar begitu saja. Ia berlari keluar dari rumah sakit sambil memegang surat terakhir dari ibunya. Ia sempat ditahan oleh beberapa perawat, tetapi ketika ia mengatakan alasannya, perawat memilih melepaskannya.

Begitu sampai di rumah, Dian langsung masuk ke kamar ibunya. Berharap jika ibunya masih tertidur di kamarnya. Namun, harapannya tidak terwujud, yang ada hanyalah ruangan yang hampa. Matanya tertuju pada sebuah buku bersampul usang yang masih terbuka, menampilkan lembaran yang menampilkan tulisan tangan terakhir Anggun.

Dia berjalan mendekat, ia membaca deretan kalimat yang ada di sana. Air mata semakin menetes, bahkan ia terisak sangat keras. Penyesalan datang di hatinya. Ia benar-benar menyesal dan bersalah.

"Maafkan Dian .... Ibu! Dian mohon! Kembali ...." Begitulah raungan seorang Dian Anggraeni, perempuan yang dirawat Anggun seperti anak kandungnya.

Tamat

Kumpulan CerpenDonde viven las historias. Descúbrelo ahora