BAB 3 》Aris

710 117 6
                                    

Kam, 23 Nov

.

"Aku akan menebusnya. Jadi maafkan kakak oke?"

"Emang kamu salah apa sama aku? Kita aja nggak pernah saling ngobrol," Eza tarik tangan Arga yang melingkar di atas bahunya, lalu membuangnya seolah jijik. "Udah deh. Awalnya kita kaya apa ya udah biarin kek gitu seterusnya. Kamu urus urusanmu sendiri. Kalian tiba-tiba peduli bikin aku nggak nyaman."

"Aku kakakmu, aku harus peduli padamu," sanggah Arga.

"Formalitas di atas kertas kak jangan besar kepala. Itu cuma di mata hukum ngerti. Udah deh, jangan paksain. Kek biasanya gimana kalian tanpa aku. Aku juga bakal kaya biasanya tanpa kalian."

"Oke kita salah. Kita udah buat kesalahan fatal. Tapi coba ngertiin keadaan kita Za. Kita bukan sengaja lakuin itu."

Sudut mulut Eza menyungging senyum, itu senyuman mengejek. Mudah sekali Arga mengatakan itu. Apa dia pernah merasakan dipoposisinya, dulu ia masih kecil tanpa dipedulikan entah ia sudah makam apa belum, tidur di mana, pergi ke mana dengan siapa, dia tidak pernah kan? Di masa itulah ia benar-benar membutuhkan kata maaf mereka.

Sekarang ia sudah besar, kata maaf serta kepedulian mereka tidak memberi manfaat baginya. Sikap mereka itu malah membuat dirinya jengkel.

Arga akan bicara lagi, namun bertepatan itu pintu mobil terbuka. Papa serta mamanya kembali. Jika percakapan ini terus berlangsung hanya akan membuat Eza kesal.

Terpaksa Arga mengurungkan niatnya. Bibir Arga mendengus sambil menatap kedua orang tuanya. Sisa roti di tangan Arga makan, memasukkan sekaligus ke dalam mulut untuk melampiaskan.

Mereka melanjutkan perjalanan. Sesekali Arga menggantikan Rian kala papanya terlihat lelah. Beruntung perjalanan cukup mulus, hanya berhenti dua kali, sekali di restoran tadi lalu satunya pergi ke SPBU untuk mengisi bahan bakar.

Lima jam berlalu. Mereka akhirnya sampai rumah dengan selamat. Hari sudah mulai gelap, namun juga belum terlalu malam. Belum ada jam tujuh, bertepatan jam makan biasanya mereka di rumah.

Mereka semua turun, diikuti Eza yang paling akhir. Tidak banyak barang yang Eza bawa, yaitu ransel serta koper kecil. Ranselnya sudah Eza bawa, namun koper yang akan Eza ambil didahului oleh Arga.

Menyebalkan.

Eza pikir di luar rumah yang suram karena di dalamnya tidak ada orang. Tembakannya salah. Malah berbanding terbalik. Ada mungkin sepuluh anak remaja, mereka semua masih menggunakan seragam sekolah. Dan apa-apaan itu, meja berantakan, lantai penuh sampah snak. Serta tas mereka yang berserakan.

Hanya menggunakan kaos kaki, Aris menghampiri Siska dengan wajah bahagia. "Ma.... maaf aku bawa mereka main kesini."

Menjijikkan. Kotor. Eza yang tidak jauh berdiri dari Siska tanpa sadar selangkah mundur.

Aris menatap orang asing di depannya sambil mengangguk-anggukan kepala. Oh jadi dia kakak gue. Pendek hah.

"Aris, ini kakak kamu yang mama ceritakan, namanya Eza," Siska menarik lengan putra bungsunya dan mendekatkan ke Eza. "Eza ini Aris, adik kedua kamu sayang."

"Hallo kak, salam kenal," sapa Aris lalu menghaburkan diri untuk memeluk Eza. Aris berbisik dengan suara yang benar-benar kecil, bahkan Eza hampir tidak dengar kalau bukan anak itu bicara tepat di sebelah telinga. "Si pendek."

Apa?!

Aris melepaskan diri sambil tersenyum puas. "Kita saudara kak, jadi jangan terlalu sungkan oke?"

Eza tidak berniat menjawab. Yang namanya bocah pola pikirnya tetep aja bocah. "Mana kamarku," tanya Eza tidak sabar pada Arga yang berjalan masuk dengan membawa koper.

"Lantai dua."

"Sayang makan dulu," Siska menahan Eza yang akan pergi. "Kamu belum makan dari tadi siang. Mama buatin, makan dulu ya."

"Aku--"

"Ma aku juga belum makan," potong Aris. "Temenku semua juga belum."

"Kenapa belum makan? Mama kan sudah minta bibi buatin kamu makan lebih awal. Perut kamu nggak boleh telat makan."

Tidak biasanya Siska melihat anak bungsunya manja seperti ini. Terlebih ini di depan teman sekolahnya. Itu sangat anti untuk anaknya. Mungkinkah Aris sengaja melakukannya?

Siska menatap raut wajah Eza yang sangat masam. Jadi benar, si adik ingin menggoda si kakak. Siska menggelengkan kepala, tidak habis pikir dengan tingkah anaknya.

Tangan Siska mengusap surai Aris. "Makan di rumah atau di luar hm?"

"Luar."

"Oke," Siska berbisik ke telinga Aris. "Tapi ajak kakakmu juga. Kamu bantuin mama pastiin dia buat makan. Mengerti?"

Kepala Aris mengangguk setuju. "Siap ma. Kalian, ayo ikut gue keluar," ucap Aris pada semua temannya.

Semua pergi keluar usai sekalian berpamitan. Ketika Eza yang tidak peduli tiba-tiba ranselnya diambil lalu di buang ke sofa, ia terkejut.

"Lepas!"

Pemberontak Eza tidak berguna. Tangan anak itu baru terlepas saat ia sudah masuk ke dalam mobil. Belum ada satu menit ia keluar dari mobil dan sekarang harus berkendara lagi? Ya Tuhan ia sangatlah lelah! Kapan ini berakhir, ia ingin segera mandi dan tidur.

Ahhhh menyebalkan. Menyebalkan, ini sangat menyebalkan.

"Yo kak, jangan marah. Aku cuma jalanin perintah mama."

Eza menampar tangan Aris yang masih menggema pergelangan tanganya.

"Bukan urusanku."

Aris tidak ambil pusing dengan sikap jutek Eza padanya. Maklumi saja, kita baru saja bertemu, dan ini untuk pertama kali jadi wajar jika sikap kita saling bertolak belakang. Bersabar oke, Aris pastikan lambat laun ia bisa menundukkan kakaknya ini.

Di mobil mereka ada empat orang, Eza, Aris, dan kedua teman Aris yang duduk di bagian depan. Awalnya Aris sudah menyuruh mereka berdua buat balik, tidak perlu ikut pergi. Namun teman satunya ngotot pengen ikut, sedangkan satunya lagi langsung duduk di dalam mobil tanpa bicara.

Untungnya temannya yang lain mau pergi, Aris tidak terbebani.

Mereka pergi ke restaurants yang tidak terlalu jauh, hanya butuh kurang dari lima belas menit. Lagi-lagi Eza diseret oleh Aris, hingga akhirnya Eza di dorong duduk ke kursi.

Sampai akhirnya makanan yang Aris pesan datang, Eza seolah merasa ditipu. Hanya ada satu porsi, dan itu diletakkan di depan dirinya.

"Ayo kak, makan. Apa mau aku suapin?" tanya Aris ramah.

Eza mendorong piringnya menjauh. "Kenapa kamu pesannya cuma satu? Buat temenmu mana? Dan aku, nggak makan."

"Kak," orang yang duduk tepat di depan Eza mendorong piringnya kembali ke posisi semula, tepat di depan Eza. "Kita udah makan sebenernya. Tadi di rumah Aris, sebelum kakak dateng," ucap Zexi menjelaskan.

"Aris!" bentak Eza marah. Kamu penipu!

"Hahaha lo berdu lihat. Kakak gue orang yang perhatian kan."

Orang diseberang Eza, Rexa yang sejak awal diam, menganggukkan kepala sedikit dengan sopan.

"Sangat perhatian," ujarnya setuju.

.









BAB 3 ¤ done
●●●●●●●●●●●●●

E Z Ā - on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang