BAB 7 》niskomunikasi

347 59 4
                                    

Rabu, 10 Jul

.

"Jadi gimana den. Den Gio mau nunggu bibi siapain makanan baru lagi?"

Bagaimana bisa makanan itu bisa di makan, melihatnya saja membuat orang lain mual apa lagi masuk ke dalam mulut. Sudah pasti bakal muntah.

Gio menggelengkan kepala sambil menghela napas pasrah. "Jangan repot-repot bi. Di kamar masih ada snack, aku bisa makan itu."

Gio beranjak berdiri. Namun tiba-tiba teringat suatu hal yang sopir keluarga mereka katakan. Gio hanya ingin mengkonfirmasinya dan bertanya ke bibi.

"Bi, kak Arga tadi ke sekolahannya Aris lagi?"

"Iya den. Katanya kepala sekolah tadi nomer pak Rian nggak diangkat, makanya telepon rumah. Tadinya bibi mau telepon bu Siska, tapi terlanjur den Arga ambil teleponnya, dan jawab kalau den Arga yang datang ke sekolahan."

"Oh."

Berontak dimasa muda sudah hal yang lumrah, itu bukan masalah besar. Mereka dulu juga seperti Aris. Jadi jangan terlalu kaget. Hanya Arga yang cukup bisa di atur, sedangkan Gio, Nanta, serta Aris sama saja. Bedanya Gio sekarang bisa tunduk alias patuh karna sang ayah yaitu Rian. Jika Gio membuat ulah, Rian akan memberikan pukulan sebagai bentuk hukuman sampai si Gio tidak melakukan kesalahan kedua kalinya. Tidak jauh beda, jika Nanta yang membuat masalah Gio yang akan turun tangan, sedangkan Aris Arga yang menanganinya.

Jadi Gio tidak ambil pusing jika tahu kalau Arga pasti dipukuli Arga. Itu resiko yang ditanggung. Karna Gio pun juga pernah merasakan rasanya di pukul. Kalau tidak ingin di pukuli makanya jangan buat masalah lagi. Simple bukan.

Sang bibi ingin mengatakan kalau Eza tadi juga ikut menyusul ke sekolahannya Aris, namun keburu Gio sudah pergi sang bibi juga tidak terlalu ambil pusing. Ia memilih pergi untuk membersihkan meja makan.

Eza tidak keluar sampai malam. Eza menghabiskan berdiam di kamar untuk mengerjakan skripsinya. Kali ini Eza sedikit kesulitan di salah satu topik. Sebenarnya bukan hal yang sangat-sangat sulit, hanya pemahaman Eza mengenai topik ini sedikit minim, jadi Eza kesusahan saat harus menjabarkan penjelasannya.

Andai Eza punya uang untuk membeli buku bahan materi, semua tidak akan sesulit ini. Eza menyesal, harusnya tabungannya tidak ia gunakan buat main-main dengan teman-teman kuliahnya, jika begini kan ia sendiri yang susah. Tidak mungkin ia minta uang ke kakek karna sebelumnya kakek kasih uang lebih. Apa lagi sekarang ia berada di rumah orang lain.

"Otak bodoh."

Tidak ada solusi lain. Eza kembali berpikir lebih fokus untuk memahami sang topik. Topiknya sederhana, masalahnya penjabaran yang digunakan harusnya dimasukkan ke dalam hipot--

"Ma!"

--sis yang ia cantumkan ke dalam topik pertama kali ia cantumkan. Jika dalam sebuah op--

"Belaiin terus sampai lihat sendiri dia ngelunjak!"

Suara teriakan, saut menyaut, keberisikan itu sampai di telinga Eza yang tajam. Eza sudah sangat fokus, tapi semua itu kelar buyar gara-gara kegadungan di luar sana. Eza di lantai atas, itu pun di kamar, pintu juga di tutup, tapi masih saja masuk ke kamar. Bayangkan betapa kencangnya mereka ribut di bawah sana.

Mau tidak mau Eza keluar kamar dengan perasaan jengkel. Benar saja di ruang tamu tengah terjadi keributan. Situasi kondisinya mudah untuk Eza baca. Arga mengadu pada sang mama karna kejadian di sekolah tadi, tapi Aris malah menggunakan mama mereka jadi benteng perlindungan, untuk mama sendiri memihak pada yang siapa? Jelas saja sang bungsu adalah pilihannya.

Eza masih di tangga, tiba-tiba ada sesorang yang melewatinya, tapi yang paling menyebalkan orang itu menyenggol Eza dengan sengaja. Beruntung Eza langsung cari pegangan. Jika saja ia telat detik itu juga dipastikan Eza menggelinding di tangga dengan mengenaskan.

"Ga punya mata apa."

"Apa?"

Gio tidak sengaja mendengar gumaman Eza. Jujur saja Gio sedikit terkejut dengan kata-kata kasarnya. Karna itu sangat bertolak belakang dengan sosok orangnya.

"Ga punya mata? Kalau punya gunain. Jangan cuma buat pajangan. Kalau nggak kasi aja orang lain biar lebih bermanfaat."

Eza tidak ingin memperpanjang urus. Ia berniat naik ke atas untuk kembali belajar namun tengkuk lehernya ditahan. Tangan itu lebar dan kuat. Eza sedikit kesakitan.

"Mulutmu cukup pedas."

Gio membawa Eza turun dengan sembarangan. Bukan ke ruang tamu, melainkan pergi ke ruang makan.

"Bi tolong siapkan makanannya," perintah Gio sambil mendudukkan diri di kursi. Sedangkan untuk Eza masih diposisi tengkuknya di tahan. Bahkan tubuh Eza harus sedikit merendah karna mengimbangi posisi Gio duduk. Karna jika Eza memaksa, lehernya terasa sakit.

Gio menatap Eza yang mencoba melepaskan diri sambil menahan sakit. Sambil menunggu bibi menyiapkan makanannya Gio menatap Eza sinis.

"Lain kali kalau ngomong yang sopan sama yang lebih tua. Minta maaf, setelah itu aku akan melepaskanmu."

"Ma--" Eza sengaja menjeda satu suku kata itu, lalu melanjutkan kata selanjutnya yang tidak Gio sangka. "--ta mu."

"Kamu masih belum mengerti?"

Tatapan Eza tidak kalah sinisnya. "Sesama orang asing jangan sok akrab. Mau kesopananku rusak itu urusanku, bukan urusan orang lain."

"Aku kakakmu bukan orang lain."

"Siapa bilang?" tanya Eza.

"Aku. Di kartu keluarga, di akta kelihatan kamu salah satu anggota keluarga ini. Karna kita jarang bertemu bukan berarti orang asing."

"Bukan cuma matamu yang bermasalah tapi otakmu itu juga. Jarang? Emang kapan kita ketemu? Pernah? Barang sekalipun kita nggak pernah ketemu."

"Oh," Gio melepaskan cengkramannya. Karena kesal dengan ucapan Eza yang memang benar adanya, Gio ganti menarik rambut Eza bagian belakang dengan tidak main-main. Tenaga genggaman Gio memang kuat, namun mimik wajah Gio sangatlah ramah.

"Aku tidak mau tahu. Kamu tetaplah adikku, dan aku kakakmu. Jadi mohon kerja samanya, aku harap kedepannya kita rukun."

Anggota keluarga lain perlahan datang ke ruang makan. Gio langsung saja melepaskan Eza dan pura-pura tidak ada hal yang terjadi.

Siska menggandeng tangan Aris menuju meja makan, lalu menyuruhnya duduk di kursi biasanya dan membantu putranya mengambil makanan. Begitu pula Arga, langsung duduk dan juga mulai mengambil makanan.

Tidak ada yang aneh mereka langsung makan tanpa mempedulikan orang lain. Itu kebiasaan mereka. Jika ingin makan shilakan, tidak perlu menunggu orang lain terutama kepala keluraga. Karena entah jam berapa ayah mereka pulang, mereka juga tidak tahu, makanya mereka makan duluan.

Namun dari sudut pandang Eza itu teramat sangatlah beda artinya. Tidak ada ajakan, tidak ada sapaan, seolah dirinya yang besar ini berdiri di samping meja makan bukanlah manusia.

Perlakuan ini tidak lain hanyalah hinaan, Eza tidak dianggap ada, dan tidak dipedulikan. Benarkan kita orang asing, kenapa aku begitu peduli. Eza memilih pergi tanpa berucap.

Faktanya ini sebuah kesalahanpahaman. Ini sungguh kebiasaan mereka. Sedangkan yang Siska, Arga, serta Aris lihat tadi terlihat Eza tengah dirangkul Gio ke ruang makan untuk diajak makan malam. Sedangkan kepergian Eza sekarang mungkin karena suatu hal jadi mereka tidak berani menghalangi yang Eza lakukan. Pikir mereka begitu.

Sebuah niskomunikasi. Hal sepele, namun jika mereka tahu karena gara-gara ini mengakibatkan hal fatal di kemudian hari, mereka pasti bakal merasa menyesal.

.





BAB 7 ¤ done
●●●●●●●●●●●●●●

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 11 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

E Z Ā - on goingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang