Chapter 10

1.2K 34 2
                                    

Bukan hanya para penghuninya saja yang aneh, tapi rumah ini juga benar-benar membingungkan.

Giselle masih digendong Soobin hingga sekarang. Entah seberapa luas bangunan ini, yang jelas keduanya kini kesasar dan dibuat linglung karena dari tadi hanya berkekeling di tempat itu-itu saja.

Pintu kamar mereka tidak ada di manapun. Padahal barang-barang berharga ada di sana semua, termasuk kunci mobil dan lainnya.

“Kalau kayak gini gimana caranya kita pulang, Bin?” dari nada bicaranya, Giselle sudah sangat putus asa.

Mereka juga sudah berteriak memanggil yang lainnya, tapi tak kunjung mendapat jawaban. Jika situasi ini normal, mustahil kalau tak ada satupun yang mendengarnya.

“Aku yakin kita semua pasti bisa pulang, Gi. Kamu jangan takut, aku gakkan pernah ninggalin kamu. Kita pasti bisa keluar bersama-sama dari sini.” Soobin berusaha meyakinkan meskipun sejujurnya ia juga sangat ketakutan.

Ini tidak normal. Buktinya sekarang mereka malah kembali lagi ke dapur. Pecahan beling dan jejak kaki berdarah Giselle juga masih nampak di ubin. Selain itu, mereka juga menyadari bahwa keadaan di sini sudah lebih acak-acakan dari sebelumnya.

Giselle ingat ada kamar mandi di sini, dan dia meminta Soobin agar membawanya ke sana karena ingin buang air.

“Aku tunggu di luar ya, Gi.” ujar lelaki itu setelah menurunkannya di dalam.

“Iya, Bin. Kamu jangan ke mana-mana ya?”

“Iya.”

Giselle menutup pintu berderit tersebut, di sini lebih gelap ternyata. Setelah menuntaskan hajatnya ia pun mulai membasuh luka di kakinya. Mulutnya meringis kecil menahan perih.

Sementara itu, Soobin masih menunggu di luar. Pandangannya mengedar ke segala arah dan tidak ada tanda-tanda kehidupan. Saat ia ingin mengetuk pintu guna menanyakan keadaan Giselle di dalam, tiba-tiba betisnya ada yang menendang dari arah belakang.

“Arrrggghhh...”

Soobin ambruk. Dan sebelum mengetahui siapa yang menyerangnya, ia keburu tak sadarkan diri karena sebuah pukulan telak mendarat di tengkuknya.

Mendengar hal tersebut kini Giselle mulai panik tak karuan. “Soobin? Soobin, kau kenapa?! Soobin?!” teriaknya.

Hingga akhirnya ia kalap setengah mati saat merasakan ada lengan berkuku runcing tiba-tiba mencengkram lehernya, lalu mendorong kepalanya ke dalam bak yang airnya masih penuh dengan sekali hentak.

“Hmmppphhh... Hmmppphhh...” sekuat tenaga Giselle melawan. Berusaha mengangkat kembali kepalanya namun cengkraman itu lebih kuat. Bahkan ia juga merasakan kuku-kuku itu menembus kulit lehernya.

“Hmmppphhh... Hhhh... Hhhh...” tangannya berusaha keras melepaskan kuncian itu dan akhirnya berhasil juga setelah beberapa saat.

Udara pun langsung dihirupnya dengan brutal, dan saat berbalik ia tidak menemukan siapapun di sana.

Degup jantungnya berpacu cepat, matanya menatap awas sekitar. Yang melakukan hal barusan sepertinya bukanlah manusia, dan ia terperanjat menemukan sosok Hanni berdiri mematung di ambang pintu sana yang kini terbuka.

“Hai, Kak?” sapa bocah itu riang seraya menendang-nendang pelan tubuh Soobin yang tergeletak di lantai.

Giselle yang masih blank tidak sadar kalau di bak mandi belakangnya kini muncul sepasang tangan menyeramkan berkuku runcing yang tadi mencoba membunuhnya.

“Sebenarnya aku berharap setelah kau lari dari dapur tadi kau ditemukan oleh kawanku yang lainnya.”

Pemilik tangan menyeramkan tersebut keluar dari bak. Sosoknya wanita dengan wajah berantakan dan mulut yang menganga lebar, cara berjalannya pun nampak tak beraturan.

“Tapi sayangnya kau harus kembali bertemu denganku. Maaf, Kak. Takdirmu mungkin akan buruk setelah ini.”

Grep!

Tepat setelah Hanni mengatakan hal tersebut, setan wanita itu langsung menerkamnya. Jerit ketakutan gadis itu menggema di keheningan malam. Keadaan pun bertambah seram saat setan-setan lainnya ikut muncul di sana dan berjalan terseok mendekatinya.

Giselle meronta-ronta tubuhnya direnggut entitas buruk rupa. Di ambang kesadarannya yang kian menipis, ia melihat kedatangan Minji yang tergesa-gesa menghampiri Hanni di sana.

Entah apa yang dibicarakan kedua anak itu, ia tidak bisa mendengarnya karena semuanya kini gelap.




























.

.

.

“Sedang apa sendirian di sini malam-malam?”

Taehyun membeku saat teriakannya yang menyerukan nama Ningning malah dijawab oleh suara yang tak diinginkan. Ia berbalik dan mendapati Irene sedang memegang lampu gantungnya.

“Tersesat ya? Mau saya antar kembali ke kamar?”

Lelaki itu menjerit kencang karena Irene berusaha menggapainya. Buru-buru ia berlari meninggalkan tempat itu. Tapi karena terlalu panik ditambah keadaan yang gelap, ia tidak memperhatikan langkahnya dan tidak sadar jika yang ada di depannya adalah sebuah tangga.

Srak!

Tubuhnya tergelincir hingga ke bawah. Sakit sekali rasanya, dan diambang kesadarannya ia melihat samar-samar ada seseorang yang menghampirinya.

“Hyein?” Taehyun merintih menyebut nama anak itu, namun darah yang keluar dari kepalanya semakin banyak dan akhirnya semuanya menjadi gelap.

Hyein menatap datar lelaki yang tergeletak di depannya tersebut. Ia mengulurkan tangan mengecek denyut nadi di lehernya, dan ternyata masih ada.

“Segera dapatkan yang lainnya sebelum fajar.” titah Irene seraya berjalan pelan menuruni anak tangga.

Hyein hanya mendongak menatap ibu pantinya itu tanpa menjawab sepatah kata pun. Setelah dirasa aman, ia mengeluarkan selembar kertas lalu menyelipkannya ke dalam genggaman Taehyun.

“Sebenarnya alasan aku dan Haerin menyekapmu itu karena kami ingin mengajakmu bermain juga, Kak. Tapi kau dan pacarmu itu malah menyerang kami lalu kabur. Untung aja sekarang aku berhasil menemukanmu lagi.”

Ia meraih kedua kaki jenjang Taehyun dan dengan enteng menyeret tubuhnya menuju ruangan bawah tanah. Memposisikannya pada salah satu dari enam buah pola pentagram yang tercetak dari darah binatang.

“Kau yang menganiayanya?” Haerin muncul mendekat dengan kedua tangannya yang belepotan darah. Pola pentagram itu adalah hasil karyanya, dan Ningning yang tak sadarkan diri juga sudah menempati salah satunya.

Hyein melirik Taehyun sekilas kemudian menggeleng. “Dia jatuh sendiri di tangga karena takut melihat ibu panti. Terus apa yang akan kita lakukan selanjutnya?”

“Kalau udah di tahap ini ya mau gimana lagi? Kalau mereka paham pasti mereka akan berusaha melarikan diri, kalau nggak ya udah kita eksekusi sesuai perintah ibu panti.”































.

.

.

TBC

Panti Asuhan || AESTXT [SLOW UPDATE]Where stories live. Discover now