4. Gibran

91 18 2
                                    

Sudah beberapa hari ini Gibran mencari keberadaan Anneth yang hilang begitu saja. Tapi waktu baru saja mengantarkan Gibran pada orang yang ia tuju. Netranya baru saja menangkap gadis yang ia cari tengah duduk sendiri menyantap makan siang di salah satu meja kantin.

Gibran dengan cepat memesan menu makanan apa saja yang ada di sana sebagai alasan bahwa ia tak sengaja bertemu dengan Anneth di sini. Gibran juga akan menambahkan alasan kalau ia duduk bersama Anneth karena tidak ada kursi yang kosong lagi. Bukankah rencananya sangat mulus?

Salahkan sendiri mengapa Gibran tidak bisa melupakan sosok Anneth yang sudah beberapa hari ini memenuhi isi kepala. Mungkin atas dasar rasa bersalah yang menghantuinya.

Dengan satu mangkuk bakso di lengannya, Gibran duduk dengan santai di depan Anneth. Gadis itu melonjak kaget, bakso dalam mulutnya belum ia telan karena melihat wujud Gibran yang tiba-tiba duduk di hadapannya.

"Kenapa lo duduk di sini. Tumben amat." Tanya Anneth, karena nyatanya Gibran sangat aneh hari ini. Biasanya Gibran benci pada Anneth. Dulu kalau ia melihat Anneth berjalan melewatinya, Gibran langsung memasang wajah benci.

"Buta mata lo? Liat tuh kursi lain pada penuh." Jawabnya, padahal duduk di sani memang rencananya.

"Oh..." Memilih untuk menutup komunikasi, Anneth kembali fokus pada baksonya. Menganggap Gibran tak pernah ada di depannya.

Di sisi lain, Gibran sudah tarik nafas dalam-dalam, ia sudah siap untuk mengucap maaf. Bahkan di dalam hati, Gibran juga mencoba merangkai kalimat yang bagus agar ketika terucap tidak berantakan, walaupun sejujurnya ada rasa gugup yang tertutup oleh gengsi yang tinggi.

"Sebenarnya gue..." Ucapnya terhenti kala Anneth menatap kedua matanya sebagai tanda respon. Ditatap seperti itu, Gibran jadi gugup. Apalagi sorot mata itu terlalu fokus kepadanya.

"Kenapa?" Anneth masih menunggu kata selanjutnya dari apa yang diucap Gibran.

"Gue..." Belum sempat terucap, ungkapan Gibran terpotong oleh kehebohan Anneth pada sosok laki-laki yang bersurai gondrong. Fokusnya sudah tak lagi pada Gibran, melainkan pada Kamal.

"Dokter Kamal, duduk di sini aja!" Ucap Anneth, ia terlihat senang kala melihat seorang laki-laki bertubuh tegap itu mulai menghampiri meja Anneth. Kamal tersenyum ramah, lengannya membawa nampan makanan, dan ia membawanya ke meja Anneth.

"Saya boleh duduk di sini?" Tanya dokter Kamal, dan disuguhi oleh anggukan.

"Ah sial." Gerutu Gibran dalam hati, ia baru saja ingin mengutarakan kata maaf, tapi Anneth dengan seenaknya mengalihkan atensi pada Kamal.

Gibran juga sudah kehilangan minat awalnya, ditambah lagi kesal dengan ekspresi Anneth yang teramat berseri-seri melihat seorang pria yang berparas rupawan bernama Kamal. Sungguh berbanding terbalik dengan ekspresinya pada Gibran.

"Makasih ya Anneth, tadi saya bingung mau duduk di mana. Ternyata di jam makan siang ini kantin sangat penuh." Ucap Kamal, masih dengan senyuman indahnya.

"Iya dokter Kamal di sini aja bareng aku." Ucap Anneth, matanya tak lepas dari Kamal.

"Oh ya lo tadi mau ngomong apa?" Tanya Anneth pada Gibran yang cemberut. Gibran juga memakan bakso itu dengan emosi.
Anneth benar-benar melupakan Gibran yang ingin menyampaikan sesuatu padanya beberapa waktu yang lalu.

"Gak jadi." Ucapnya Sarkas.

"Gak jelas lo." Balas Anneth kesal. Kamal hanya tersenyum saja melihat dua orang di hadapannya sedang merajuk.

Daripada meladeni Gibran, Anneth lebih suka bercengkrama dengan dokter Kamal. Baginya dokter Kamal tidak pernah membosankan kala dipandang. Bahkan Anneth sempat kagum dibuatnya, dalam aktivitas apapun dokter Kamal selalu tampan, termasuk saat makan.

Garis Lintang (PARK JIHOON) by Pupuriri30 Where stories live. Discover now