Setelah tiga hari menginap di rumah Ibunya, akhirnya Kina pulang dijemput oleh Zino.
Sebenarnya pria itu sudah ingin menjemputnya saat hari pertama dia menginap, tapi Kina menolak dengan alasan bahwa dirinya masih mau berlama-lama bersama Ibunya.
Di perjalanan tak ada perbincangan. Kina hanya diam memandang keluar jendela dengan pandangan lelah.
Kembali ke rumah Ibunya bukannya memberi ketenangan, justru menambah beban.
Menerawang kembali kejadian ketika dirinya mendengarkan nasihat Ibunya sehari yang lalu, membuat Kina semakin terbebani oleh keadaan.
Semua keluarganya saat ini lebih mempercayai dan membanggakan Zino daripada dirinya. Mereka berharap banyak pada Kina agar bisa menjadi Istri yang sempurna.
"Jangan pernah kecewain nak Zino sama keluarganya. Kamu harusnya nurutin semua kemauan Suami kamu. Nak Zino aja udah sebaik itu sama keluarga kita"
Itulah yang dikatakan Ibunya setelah membangga-banggakan Zino di depannya.
Wanita itu berkata bahwa Zino selalu memberikan uang dan kebutuhan pokok Ibunya setiap bulannya. Bahkan pria itu juga memberikan modal pada Kakak iparnya yang saat ini berjualan es dan camilan ringan kekinian di depan cabang toko baru milik Zino.
Zino melakukan itu semua tanpa memberitahunya. Pria itu tak hanya mencukupi kebutuhannya, tapi kebutuhan keluarganya yang bahkan bukan tanggung jawabnya.
Kina malu. Seharusnya dia'lah yang bertanggung jawab atas keluarganya. Kina ingin bekerja dan memberikan penghasilannya pada Ibunya agar keluarganya tak bergantungan pada Zino.
Tapi pekerjaan apa yang bisa ia lakukan dengan kondisinya seperti sekarang. Untuk berdiri dari tempat duduk saja Kina membutuhkan bantuan.
"Ini Papamu minta kita buat mampir ke rumah dia dulu, mau mampir atau langsung pulang?" tanya Zino begitu membaca pesan yang dikirim Mertuanya.
Kina menoleh, meski berat ia mengangguk menyetujui. Lagipula semenjak menikah Kina tak pernah berkunjung ke rumah Ayahnya. Dia akan dicap sebagai anak tak tahu diri nanti.
"Beneran gapapa emang? Sebentar aja tapi ya?" ragu Zino.
"Iya, lagian udah lama gak ke sana. Mereka juga gak bakal berani ngapa-ngapain aku depan kamu," terang Kina.
Zino menurut, dijalankannya mobil itu menuju ke rumah Ayah mertuanya meskipun sebenarnya berat baginya untuk melakukannya. Zino takut... Takut jika Kina mendapatkan tekanan batin di sana nanti.
Sampainya depan pekarangan rumah keluarga Ayah Kina, Zino memarkirkan mobilnya lalu menunggu Istrinya keluar mobil.
"Hati-hati," peringat Zino menuntun Kina yang kesulitan dengan perut besarnya.
Zino maju satu langkah, mengetuk pintu kemudian mengucap salam hingga suara balasan dari dalam terdengar.
Alis Kina bertaut. Setaunya, tak ada gadis yang tinggal di rumah Ayahnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Sepatu Tanpa Arah [END]
Romance"Lo gak sadar? Kita sama-sama hancur. Gak ada keharmonisan dikeluarga kita. Tapi lo bermimpi buat membangun rumah tangga sama gue? Lo pikir bisa? Lo yakin gak akan buat tuh anak menderita dengan kelakuan kita di masa depan? Lo yakin bisa jadi orang...