Pada akhirnya Zino mengikuti mereka untuk mendatangi reuni yang bertempat di cafe yang terkenal ramai dan luas itu. Lokasinya tak jauh dari toko oleh-oleh milik Zino.
Para alumni menyewa tempat itu bersama satu tempat di samping cafe sebagai acara hari ini. Penampakan cafe itupun terlihat berbeda karena hiasan khusus.
"Wah... Zino ternyata dateng! Tagih iuran! Gue kira gak dateng," seru seseorang saat melihat dua teman mereka membawa satu orang yang jarang aktif semenjak lulus, padahal dulu selalu menjadi pemersatu pertemanan.
Zino mengeluarkan dompetnya. Dia tak ingin menambah masalah. Kehilangan beberapa lembar tak terlalu berpengaruh baginya yang bisa menghasilkan lebih banyak dari ini.
Biasanya pun Zino sering menyumbangkan uangnya seperti saran Guru ngaji sekaligus temannya di lingkungan rumah.
Zino ikhlas...
Tentu saja karena itu untuk kebaikan.
Tapi,, untuk kali ini dirinya merasa sedikit tak senang saat melihat uang yang dia dan mereka semua yang hadir di sini keluarkan, digunakan hanya untuk pesta-pesta semata.
Botol-botol minuman beralkohol terlihat di beberapa tempat. Tempat ini juga penuh dengan asap rokok yang meninggalkan jejak bau di tubuhnya.
Zino pastikan setelah pulang dari sini dirinya akan mandi terlebih dahulu agar tidak ada bau rokok yang menempel di tubuhnya.
Tak akan Zino biarkan Istrinya yang tengah hamil tua mencium asap rokok meskipun bukan dirinya yang menikmati nikotin tersebut.
"Zino udah dateng?" tegur seorang gadis yang beberapa hari lalu berjumpa dengan Zino di tempat kerja dengan alasan bertemu temannya.
Zino tak membalas, tapi Zakhwan mendekat kemudian menanggapi gadis itu.
"Dimana Thefani?" tanyanya pada Khansa.
"Itu, di meja paling pojok," tunjuk Khansa.
Zino dan yang lain spontan mengikuti arah tunjuk Khansa.
Tepat saat gadis yang ditunjuk Khansa berbalik, Zino dibuat terdiam seperti orang bodoh yang mengagumi sesuatu.
Dres berwarna merah muda yang sama persis seperti yang dia beli untuk Istrinya itu melekat pada tubuh indah Thefani yang entah kenapa terlihat begitu cantik malam ini.
Zino meneguk kasar ludahnya, ia menggeleng kuat saat nafsu memenuhi akal sehatnya.
TIDAK..!
Hatinya masih milik satu orang.
Namun tak bisa dipungkiri, Zino juga merupakan pria normal yang pasti akan terpesona saat melihat gadis lain tampil cantik dan tersenyum ke arahnya. Apalagi dengan hal yang dia dambakan melekat ditubuhnya.
Zino membuang muka saat gadis itu mendekat menghampiri mereka. Dia tak tahan dengan dirinya sendiri yang begitu murahan.
"Kalian udah dateng daritadi?" ramah Thefani berbicara pada mereka.
YOU ARE READING
Sepasang Sepatu Tanpa Arah [END]
Romance"Lo gak sadar? Kita sama-sama hancur. Gak ada keharmonisan dikeluarga kita. Tapi lo bermimpi buat membangun rumah tangga sama gue? Lo pikir bisa? Lo yakin gak akan buat tuh anak menderita dengan kelakuan kita di masa depan? Lo yakin bisa jadi orang...