II. Red Plague

107 21 8
                                    

Setelah menghabiskan dua puluh dua tahun hidupnya di air, Delja baru sadar kalau mandi bisa terasa begitu menyegarkan. Sekalipun dia cuma diberi spons kusam dan seember kecil air untuk menggosok debu dan kotoran dari kulit, semua itu sudah terasa mewah.

Air Delja gunakan untuk bebersih diri ternyata bukan air laut dan Delja malah merasa sedikit lega. Padahal dia yang tadi berusaha mengakhiri nyawanya. Sekarang, setelah kegagalan itu, rasa takut kembali merayapi hati Delja.

"Tadi kau kenapa?"

Sebuah suara dari samping membuat Delja menoleh. Wanita bernama Jeanne itu masih mengawasinya. Anehnya, hanya Delja yang disuruh mandi. Dia tidak melihat gadis lain yang tadi bersamanya.

Delja cuma menggeleng kecil sebagai jawaban, tidak tahu harus menjelaskan seperti apa juga.

"Kau takut?" tebak si wanita. "Tidakkah kau mendengar kalau kau akan dibebaskan?"

Sama seperti sebelumnya, Delja tidak memahami apa makna bebas jika dia hanya bisa berkeliaran di darat tanpa tujuan jelas.

Melihat Delja yang selalu menjawab dengan gerak kepala, Jeanne pun sampai pada suatu kesimpulan. "Kau bisu?"

Delja mengangguk. Segera saja, simpati memenuhi sorot mata Jeanne.

Wanita itu meletakkan sehelai blus lusuh dan celana panjang di dekat Delja, disertai korset hitam dan sepasang sepatu bot. "Bergerak cepatlah sedikit dan pakai ini setelah selesai."

Setelah mandi singkat itu, Delja segera diarahkan ke dapur untuk membantu menyiapkan makanan. Jeanne menunjuk ke kursi kayu kecil di lantai. "Duduk di sini dan kupas kentangnya."

Delja cuma mengamati benda bulat tidak keruan berwarna cokelat yang disebut kentang itu. Bukankah kentang seharusnya berwarna pucat dan berpermukaan mulus serta lembut? Kenapa bentuknya malah keras dan seperti batu?

"Kau lihat apa lagi?" tanya Jeanne, sewaktu mendapati Delja kebingungan. "Tidak pernah melihat kentang?"

Dengan polosnya, Delja menggeleng. Lalu semua awak perempuan yang sedang mengupas kentang berhenti serentak hanya untuk memandanginya dengan penuh ketidakpercayaan.

Mendapatkan perhatian semacam itu membuatnya bergerak tak nyaman. Buru-buru, Delja memposisikan bilah pisau di permukaan kulit kentang dan mulai mengupas berdasarkan apa yang dia lihat dari perempuan-perempuan di sekitarnya. Sepertinya Delja cuma cukup membersihkan bagian yang berwarna cokelat.

"Jangan terlalu tebal, kau akan memotong jatah makan para kru!" omel Jeanne. "Tipiskan lagi. Ya, seperti itu."

"Pasti dia dari keluarga bangsawan," duga seorang wanita. "Melihat kentang saja tidak pernah, apalagi mengupasnya."

"Ah, itu masuk akal!" awak lain menanggapi. "Aku pernah mendengar ada gadis bangsawan yang tidak pernah melihat sapi seumur hidupnya karena tidak diperbolehkan berada di peternakan."

Kalau mau dikata, sebenarnya Delja memang seorang bangsawan. Bahkan setelah tiga bulan pun, masih banyak hal dari Dunia Atas yang belum Delja kenali.

"Lalu kenapa gadis bangsawan sepertimu bisa tiba di sini?" Kali ini pertanyaan ditujukan langsung kepada Delja. Lagi-lagi perhatian dari semua orang membuatnya gelisah. Dulu, pelayan istana pun bersikap seperti ini kepadanya sebelum mereka memutuskan bahwa Delja tidak lagi membuat mereka penasaran; bahwa dia cuma gadis tanpa asal-usul tukang cari perhatian.

Delja menundukkan kepala, memilih melanjutkan tugasnya. Dia tahu orang-orang masih menunggu jawaban, tapi tidak digubrisnya tatapan-tatapan bingung itu.

"Dia bisu," Jeanne menimpali kesunyian yang berlangsung. Segera saja semua awak mengeluarkan seruan mengeluh.

"Harusnya kau bilang dari tadi, Jeanne!"

A Heart for A HeartTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang