IV. Gift

85 22 2
                                    

Setelah insiden semalam, semua orang bersikap seolah tidak terjadi apa pun. Canda tawa tetap berlangsung, percakapan yang seru tidak menunjukkan tanda akan surut. Hanya Delja seorang yang sering termenung akibat memikirkan teriakan sang kapten.

Di tengah tawa girang dan pertukaran gosip yang sedang berlangsung antara para perempuan, si burung Camar datang, membuat percakapan berhenti seketika. "Kau, bereskan kamarku," Namar memerintah sambil menunjuk Delja. "Jeanne, bisa ikut aku sebentar?"

Delja dan Jeanne beranjak bersamaan. Sementara Delja pergi ke lorong, Namar berjalan ke arah sebaliknya bersama Jeanne. Percakapan serius mereka mungkin seputaran kondisi sang kapten. Memutuskan untuk tidak ambil pusing, Delja meneruskan langkahnya.

Tidak sulit menemukan kabin Namar karena pintunya terbuka lebar. Ruangan gadis itu memang berantakan, dipenuhi lembaran kertas dan buku-buku yang bertebaran di atas ranjang. Delja mengenali gambar yang ditunjukkan oleh buku-buku itu sebagai sosok para siren.

Beberapa manusia menggambarkan siren nyaris seperti duyung, dengan rupa tubuh atas mirip manusia dan sedikit sisik di kulit, ditambah ekor pada bagian bawah. Sebagian lainnya memberikan gambaran yang lebih akurat, di mana siren ditutupi oleh lebih banyak sisik berwarna kusam dan bertubuh teramat kurus. Jemari mereka panjang, serta gigi mereka dipenuhi taring kecil nan tajam. Pasti manusia yang menggambar dengan akurat ini pernah melihat secara langsung.

Tumpukan buku yang Delja lihat rata-rata membahas hal yang mirip, jika dilihat dari gambarnya. Berhubung dia sudah paham alasan Namar mencari semua ini, maka Delja memilih meneruskan pekerjaannya lebih cepat. Dia meyambar kertas demi kertas, merapikannya dan menaruhnya di nakas dengan bantuan pemberat berupa batuan kristal berwarna pirus kehijauan.

Gerakan Delja terhenti sejenak, tertarik dengan batu yang punya warna serupa dengan rambutnya itu. Lagi-lagi, ada sensasi aneh yang mengetuk benaknya walau Delja tidak tahu apa itu.

Ayah pernah menghadiahkan Delja dan kelima saudarinya batuan kristal yang sewarna dengan rambut mereka. Hanya milik Delja yang hilang entah ke mana, dan semua orang mengatakan bahwa Delja sendiri yang teledor karena membawa batu itu sambil bermain.

Batu kristal Namar mirip dengan miliknya dulu. Namun, dunia manusia menjual banyak hal menarik sehingga bisa saja batuan seperti ini didapatnya dari pasar. Delja mengambil batu itu dan mengamatinya lebih dekat, masih terkagum-kagum dengan keindahannya serta merasa sedikit geli karena warnanya.

Pasti Namar suka warna ini. Pantas saja dia langsung mengambil Delja sebagai pelayannya.

"Cantik, kan?"

Di belakangnya, Namar berdiri dengan tubuh disandarkan pada bingkai pintu. Delja sudah mengantisipasi tuduhan tajam terhadap dirinya. Dia pernah penasaran dengan sisir indah milik seorang pelayan yang tergeletak di nakas. Langsung saja sang pemilik merebut kembali sisirnya sambil memandangi Delja dengan tatapan sinis penuh kecurigaan.

Reaksi semacam itu sebenarnya normal. Oleh karenanya Delja bingung dengan pertanyaan Namar yang terdengar terlalu santai.

"Kau boleh ambil kalau mau," gadis itu menawarkan tanpa pikir panjang. Sungguh mengherankan sebab Namar tidak kelihatan seperti orang yang akan memberikan barang berharga miliknya kepada sembarang gadis. Padahal akan lebih masuk akal jika dia menembak Delja karena dianggap lancang sudah menyentuh batu cantik miliknya.

Delja melayangkan tatapan menyelidik. Kenapa?

"Cocok dengan rambutmu," Namar memberi jawaban sederhana. Dia berjalan ke arah Delja, lalu mendudukkan diri di ranjang sambil menguap. Jika dilihat dari dekat, wajah gadis itu memang tampak mengantuk. Delja malah bisa melihat kantong mata yang terbentuk, memperjelas keletihan Namar. Rambut pendek selehernya kelihatan berantakan—pasti dia jarang menyisirnya—menambah kacau penampilannya.

A Heart for A HeartOnde histórias criam vida. Descubra agora