XXIII. Epilog

108 14 24
                                    

Delja merasakan efek kutukan itu beberapa malam kemudian, dimulai dari rasa kebas di kakinya yang lama-lama terasa sakit.

Sebelum berubah menjadi duyung di ranjang gantungnya, Delja terburu-buru berlari keluar kamar kru dan berhasil mencapai geladak tepat ketika kakinya kehilangan kekuatan. Para awak yang berjaga langsung mengitarinya dengan cepat.

"Baiklah, semuanya tenang!" Elijah yang tadi berjaga di geladak langsung mendekat. "Kita sudah membahas ini."

"Kami sudah tenang," salah satu awak menyeletuk. "Hanya mau melihat."

"Jangan bicara seolah dia atraksi," awak lainnya menegur.

"Heh, kau sendiri langsung cepat-cepat datang ketika melihat dia keluar—"

"Bisakah kita tidak berdebat?" Akhirnya suara Namar terdengar. Dia keluar dari kamarnya sendiri dengan langkah tertatih, dibantu oleh Marius. "Semuanya, beri ruang! Tidak usah pelototi dia."

Perintah itu segera ditanggapi. Orang-orang dengan cepat mundur, bahkan memalingkan pandang. Delja mengulurkan tangan ke arah Namar, yang dengan cepat disambut gadis itu.

"Tidak apa-apa," Namar menenangkan. "Apa rasanya sakit?"

Delja mengangguk.

"Sakit sekali?"

Tidak ada jawaban yang sempat Delja berikan. Perubahan itu berlangsung cepat ketika bulan purnama mencapai puncaknya, dimulai dari pangkal pahanya yang mulai sulit digerakkan secara terpisah, terus turun hingga ujung jemari kakinya. Berhubung Delja mengenakan gaun, transformasi itu berjalan tanpa masalah.

Decak kagum terdengar dari para kru kala itu juga. Semuanya langsung melangkah maju lagi, ingin melihat sisik Delja yang sewarna rambutnya, dengan kilau kelap-kelip ketika tertimpa cahaya lentera kapal. Ujung siripnya yang transparan meliuk ke sana-sini, menimbulkan cahaya pelangi samar di lantai kayu.

"Semuanya, kembali ke posisi masing-masing!" Perintah tak terelakkan dari Kapten Ilona sontak membuat kru bubar walau mereka melakukannya dengan enggan. Wanita itu baru saja keluar dari kamarnya. Kedua tangannya disandarkan pada pinggang. "Jadi ini rupa aslimu."

Kendati bahasa Halina masih dapat dia pahami dengan jelas, pada saat bersamaan Delja bisa merasakan serbuan memori dalam kepalanya, berisikan pengetahuan bahasa duyung yang sebelumnya terhapus dari pikiran. Lagu dan percakapan masa lampau kembali terdengar dalam bahasa yang seharusnya, memancing rasa haru dalam diri Delja.

"Kau butuh sesuatu?" tanya Elijah, dari samping sang kapten.

"Aku...." Aneh rasanya berbicara dalam bahasa Halina ketika dia ingat bahasa ibunya. "Tidak apa-apa, Eli. Hanya sedikit pusing."

"Kau yakin bisa berenang?"

Delja mengangguk. Sementara Kapten Ilona membantu Namar berdiri, Elijah dengan sigap mengangkat tubuh Delja dan membawanya ke tepian kapal. "Tidak apa-apa kalau aku melemparmu?"

"Lempar saja."

"Ah, tapi, rasanya tidak sopan."

Memutar bola matanya, Delja menggeliat dari pelukan Elijah dan melompat dengan sendirinya. Didengarnya pemuda itu mengaduh nyaring. "Ekormu menamparku!"

Semua kru bergegas ke tepian kapal. Namar melambai ke arahnya, "Berhati-hatilah!" suruhnya. Delja mengangguk dan membalas lambaian gadis itu serta para kru. Dengan sedikit waktu yang dimiliki, Delja menyelam ke balik permukaan lautan.

Tidak ada yang bisa menggambarkan betapa lapangnya hati Delja. Betapa dia merindukan wajahnya yang melawan arus air dan belaian lautan di tubuhnya. Delja tertawa, berenang bermanuver di antara ikan-ikan yang lewat dan memecah formasi sekerumunan tuna. Oh, betapa menyenangkannya bisa kembali ke laut!

A Heart for A HeartWhere stories live. Discover now