멀어 35

274 45 1
                                    

Dua hari sebelum insiden di mansion Jay

Saat itu adalah malam hari, Jay baru saja pulang dari kantor dan langsung membersihkan diri dalam bilik kamar mandi. Tiba-tiba kepala Jay menyembul dari celah pintu dan memanggil-manggil nama istrinya, “Ningning, ambilkan aku handuk baru!”

“Hei, di dalam sana sudah ada handuk, jangan mencari masalah, Jay!

“Aku tidak ingin yang itu. Ayolah, cepat ambilkan!”

Ningning mendecak kencang dan beranjak turun dari ranjang dengan malas. Ia membuka lemari khusus penyimpanan keperluan kamar mandi dan langsung disambut sejumlah handuk putih yang terlipat rapih, kemudian tangannya mengambil satu untuk diberikan pada Jay. Ia menyodorkannya acuh. Melihat Jay yang malah diam, tentu membuat Ningning kesal.

“Ini handuknya, sialan,” desisnya.

“Astaga, istriku cantik sekali. Kenapa akhir-akhir ini kau tambah mempesona? Kau ada main di belakangku?” Jay mengambil handuk dari tangan Ningning dan langsung memakainya secepat kilat. Ia melayangkan pertanyaan bodoh pada seseorang yang bahkan tak punya waktu untuk sekedar berbelanja ke supermarket terdekat.

“Ya,” jawab Ningning asal, “aku bosan dengan tingkahmu. Ayo kita cerai saja.”

Setiap kali membahas perceraian atau perpisahan pasti Jay selalu menciumnya. Takut benar dia, padahal Ningning hanya membual. Jay memakai piyama tergesa dan memboyong tubuh Ningning menuju ranjang masih sambil membawa handuk di pundak. Ia duduk membelakangi perempuan itu dan memberikan isyarat untuk mengeringkan rambutnya.

“Kita punya hair dryer, dan kau punya dua tangan untuk melakukannya sendiri,” ujar Ningning sarkas.

“Aku ingin kau yang melakukannya.”

“Kenapa belakangan ini kau manja sekali!” Meski bibirnya menggerutu, tapi tangannya tetap menggosok handuk dengan lembut pada rambut suaminya. Sesekali juga Ningning sempatkan memijat pelan kepala Jay.

Bagaimana perasaanmu? Merasa lebih baik?” tanya Jay pada Ningning. “Aku masih punya banyak bir, kau mau kita pesta alkohol malam ini? Kau terus menolaknya akhir-akhir ini.”

Ningning menggeleng. “Terima kasih, tapi kau saja yang minum.”

Jay menahan tangan Ningning di pundaknya kemudian menoleh. “Pernahkah kau berpikir kalau aku sangat beruntung memilikimu?”

“Tidak ada hal yang bisa aku banggakan dari diriku sendiri, Jay.” Ningning menyahut pelan.

“Aku tak bisa melindungi siapapun,” sambungnya.

Jay menatap Ning begitu dalam, sehingga Ningning pun takut akan tenggelam dalam kenyamanan itu. “Jangan bilang begitu. Tanpamu, aku pasti sudah mati di Hongkong. Akulah masalahnya. Kalau saja aku tidak secara tiba-tiba mengajakmu menikah, dan kalau saja aku bisa melindungimu dari keluargamu. Kau pasti takkan tambah menderita.”

“Kau harus mengakui kalau kau sudah tidak bisa menjagaku, Jay. Bukan karena kau tak mampu, kau sangat mampu untuk itu.” Ningning mundur ke belakang saat Jay berbalik dan memilih pahanya sebagai bantalan tidur. “Dalam hidupku, aku tak yakin bisa menemukan seseorang yang bisa menjagaku sebaik kau.” Ia memuji suaminya.

“Tapi, kau juga harus memikirkan hidupmu. Mencintaiku hanya akan mendatangkan kemalangan, sebaiknya kau berhenti.” Baru hendak Jay memotong, Ningning lebih dulu melanjutkan bicaranya, “kau kehilangan segalanya karenaku, jangan berbohong lagi.” Telah banyak kebohongan yang Ningning telan karena Jay tak ingin semakin melukai perasaannya.

Aku masih memilikimu.” Jay menatap Ningning dari sudut bawah dengan tulus. Ningning diam, Jay juga mengikuti atmosfernya. Selama beberapa saat hanya diisi deruan nafas masing-masing.

Hingga akhirnya Ningning menarik napas panjang dan kembali bicara dalam satu hembusan. “Jangan lakukan ini, Jay. Itu tak sepadan dengan apa yang kau korbankan. Kau harus menjalani hidupmu.” Ia mengusap rambut Jay sebentar.

“Jangan jadikan aku tujuan hidupmu. Aku masih ingin melihatmu mengejar impian lain.”

Ningning hendak memindahkan kepala Jay karena ia ingin merebahkan diri di atas ranjang, tapi Jay buru-buru memeluk perutnya. Perempuan itu membeku sepersekian detik karena takut Jay sadar akan sesuatu.

“Bisakah kau tetap tinggal bersamaku selama mungkin?”

Sampai kapan?” Ningning menyentuh pipi Jay. “Maksudku, sampai kapan aku harus melarikan diri dari takdir yang sudah digariskan?”

“Entahlah, aku hanya berharap bisa melihat wajahmu setiap hari dalam hidupku.” Bukannya memberikan jawaban jelas, Jay malah terus berputar-putar.

“Jay.” Ningning merubah situasi dengan mudah. “Kau mengatakan padaku soal anak ... apa kau benar-benar menginginkannya? Maksudku—“

“Ya, Ibuku juga sangat menantikan itu.” Jay bergumam di sekitar perut Ningning. Ia menghembuskan nafas panas yang membuat Ningning merasa geli.

“Apa kau yakin anak kita nantinya akan bahagia?” tanya Ningning ragu. “Aku hanya berpikir, kalau dia tahu Ibunya pecandu ... juga pembunuh. Apa dia tetap menganggapku ada? Aku takut nantinya dia mengalami apa yang aku rasakan. Disisihkan, dan kesepian.” Ningning menundukkan wajahnya.

Jay meraih leher Ningning, mendaratkan ciuman disertai lumatan. “Semuanya akan baik-baik saja. Jika nanti kita punya bayi yang menggemaskan sepertimu, itu adalah anugerah Tuhan yang luar biasa. Kita harus harus menjaganya. Aku mencintaimu, jangan pernah merasa ragu.” Ia selalu punya cara memberantas habis keraguan dalam hati istrinya.

“Jika dia perempuan kita beri nama siapa?”

“Jennifer.”

“Kalau laki-laki?”

“James.”

Ningning mengernyitkan keningnya. Jawaban Jay seperti sudah terencana dengan pasti, bukan sekedar asal bicara. “Aku hanya asal bertanya. Kenapa kau menjawab dengan sangat serius begitu?”

“Karena aku sudah mempersiapkan semuanya.” Netra elangnya lebih menelisik jauh ke dalam mata Ningning, berusaha memberitahu kalau perasaan cintanya bukanlah omong kosong semata.

Kau bicara seolah tahu aku sedang mengandung anakmu,” gumam Ning yang tidak terdengar jelas di telinga Jay.

“Aku selalu mengeluarkannya di dalam, kemungkinannya sangat besar untuk kau hamil.” Jay menaik turunkan alisnya menggoda.

“Sekali lagi kau bicara, aku akan melempar tubuhmu ke kolam renang,” ancam Ningning serius. Enteng betul mulut Jay membicarakan hal yang vulgar, ia saja mati-matian menahan rasa malu karena pernyataan rendahan barusan.

“Untuk bercinta denganmu?”

“Bangsat kau, Jongseong!”

•••

catatan:

Manis-manisnya, Kak. Silakan dinikmati sebelum baca chapter berikutnya 🙏

Blind (멀어) ; angrybao [✓]Where stories live. Discover now