Part Six: So, This Is the Truth

488 52 5
                                    

Stefan menjemputnya seusai sekolah, mengagetkan beberapa murid karena menjemput Thompson dengan mobil mewah mereka. Salah satu dari mereka kalau tidak salah bernama Wyne, cowok berkawat gigi dengan rambut berminyak yang sempat mengajak Thompson bicara di koridor ketika dia hendak ke toilet. "Kau mau bergabung dengan sekte kami?" tanya Wyne saat itu, nyaris membuat Thompson terjengkang saking kagetnya. Thompson cukup yakin cowok tersebut tidak tahu istilah "zona pribadi".

Sekte yang mereka maksud ternyata semacam kelompok pembenci Griffin. Mereka yakin Griffin "bersikap sombong dan sok keren sementara kalangan tertentu merasa tertindas". Thompson yakin mereka tidak punya kegiatan apa-apa kecuali mengata-ngatai cowok itu di belakang dan mengompol ketika ketahuan. Thompson tidak mau berurusan dengan Griffin maupun sekte aneh apapun.

Thompson mengabaikan mereka dan duduk di jok belakang. Karena terburu-buru, sikunya terbentur bagian dalam mobil yang keras. Dia abaikan rasa sakitnya.

"Bagaimana sekolahmu?" Suara Stefan memecah keheningan yang sempat menggantikan seru-seruan murid serta paduan suara klakson mobil yang melintas di jalan raya.

Thompson tertegun. Stefan tidak pernah menanyakan urusan sekolah. Stefan lebih peduli dengan kantornya serta apakah dasi yang dia kenakan miring atau tidak. "Ehm, baik-baik saja."

"Lalu kenapa anak-anak tadi mengerumunimu?" tanyanya datar.

Thompson tak bisa menghentikan dirinya untuk tersenyum tipis. "Entahlah."

Mereka tiba di rumah setelah perjalanan yang sama seperti biasa, sedikit percakapan dan banyak keheningan. Thompson tidak pernah mencoba mengobrol panjang lebar dengan ayah angkatnya itu karena ... yah, Stefan selalu tampak seperti sedang tidak ingin bicara dan kapan dia tidak sibuk? Thompson tidak pernah mengakui ini, tapi dia senang Erika sering sekali memulai percakapan dengannya. Seperti saat ini.

"Kutebak kau sudah punya banyak teman sekarang?"

Wanita itu duduk di balik setir dengan senyum mengembang di wajah. Thompson tidak pernah melihat ibu kandungnya, tapi dia selalu bertanya-tanya apakah dia secantik Erika. "Eh, iya," jawab Thompson, lebih terdengar seperti pertanyaan bahkan bagi dirinya sendiri.

Thompson bisa merasakan tatapan Erika padanya. "Kuharap kau bisa memaklumi Stefan," katanya. "Dia agak uring-uringan belakangan ini. Ada masalah dengan berkas penting di kantor."

Thompson mengangguk. Seharusnya dia tahu pria itu tidak mungkin bisa mengantarnya malam ini.

Mereka menemukan rumah Zeke. Rumah tersebut cukup besar, dicat cokelat gelap dengan atap berwarna lebih muda. Ada gudang kecil di samping rumahnya. Pohon-pohon tanpa daun tumbuh di beberapa tempat di pekarangan. Sebuah kolam ikan berukuran sedang tampak di sebelah tanaman-tanaman herba.

Erika berkata pada Thompson untuk meneleponnya ketika dia selesai, lalu menyuruh Thompson agar pulang sebelum pukul sembilan malam. "Ingat pesanku. Jangan membuatku terpaksa menelepon polisi kalau kau menghilang!" tambahnya sebelum pergi, masih tersenyum sekalipun terdengar serius.

Thompson mengangguk. "Aku tahu. Aku bukan anak kecil lagi. Nanti akan kuhubungi. Sampai nanti!"

Erika meniupkan ciuman, bertindak seolah Thompson adalah bocah delapan tahun yang dulu. Kemudian mobil melaju pergi.

Udara di luar cukup untuk membuatnya merapatkan jaket ke tubuh. Setidaknya tadi di dalam mobil hangat. Thompson sampai di pintu rumah Zeke. Dia mengetuk perlahan, namun tidak ada jawaban. Ketukan kedua juga sama saja. Apa mereka sedang pergi? Apa dia terlambat? Zeke bilang malam, 'kan?

Tapi pikiran berikutnya langsung hilang setelah pintu terbuka. Seorang gadis berumur kira-kira lima atau enam belas tahun dengan rambut cokelat gelap serta mata biru laut dalam yang membukanya. Mata itu sempat berkilau sesaat. Thompson tidak yakin itu tipuan cahaya. Ketika melihatnya, gadis itu tersenyum. "Hai! Kau Thompson, kan?"

The Seer's BloodWhere stories live. Discover now