Part Thirty One: Run with the Wind

157 20 16
                                    

Sial! Griffin memaki dalam hati. Kenapa harus di saat seperti ini?!

Yang terpikir olehnya pertama kali adalah mematikan dering tanda panggilan masuk itu. Griffin menyampirkan satu tali tasnya di bahu sambil merogoh-rogoh ke dalam. Dapat! Dia melihat layar ponsel sekilas:

Panggilan masuk dari Ibu.

Griffin memencet tombol merah dan berlari cepat ke belakang pohon terdekat untuk menyembunyikan diri. Dia menyetel ponselnya menjadi mode senyap, lalu mengembuskan napas lega. Perasaan itu tidak berlangsung lama karena dia sadar bahwa jejak kakinya membekas di atas salju, tepat mengarah ke tempat persembunyian dadakannya.

Griffin panik.

Derap langkah itu semakin tak terdengar. Mungkin si pendatang tak diundang sadar bahwa lebih baik bergerak sembunyi-sembunyi agar tak ada yang memerhatikan. Tapi Griffin tidak menurunkan kewaspadaan. Sebuah ide melintas di benaknya.

Griffin mengarahkan telapak tangan ke tanah bersalju yang dilangkahinya tadi. Jejak-jejak kaki itu masih terbentuk jelas di sana. Segera saja Griffin menggunakan telekinesis untuk menggerakkan salju supaya menutupi jejak-jejak itu. Gerakan yang ditimbulkan mereka membuat serpihannya berhambur tak beraturan dan mengepul di udara, seperti debu yang ditiup. Griffin bisa bernapas lega saat melihat jejak kakinya tak lagi terlihat, tertutup sempurna oleh salju. Tidak sia-sia latihannya selama ini.

Derap langkah itu semakin dekat, makin lama seperti tersaruk-saruk. Griffin menegang, menarik napas lalu menahannya di dada, berharap mati-matian agar siapapun yang lewat nanti hanya akan menganggapnya angin lalu.

Dia mulai menghitung:

Satu. Dua. Tiga. Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Sebelas. Dua belas ....

Tidak ada tanda-tanda apapun. Tak ada pergerakan mencurigakan. Griffin menghela napas sepelan mungkin, lalu melongokkan kepala dari balik batang pohon. Benar-benar tak ada orang lain. Yang tadi pasti sudah pergi.

Griffin memasukkan ponsel ke dalam ransel, bergerak menuju bangunan kuno itu sesudah menimbang-nimbang keputusannya untuk keluar dari persembunyian. Jam tangannya menunjukkan pukul setengah sembilan pagi. Oke, semakin cepat dia masuk, semakin cepat bisa keluar.

Dia harap begitu.

Bangunan kuno itu tampak seolah makin besar begitu Griffin berada dekat dengannya. Menjulang tinggi, dindingnya tampak mencolok di tengah suasana yang didominasi warna putih. Kenapa markas Seerhunter dibangun di sini? Apa ada yang sadar? Ataukah mereka pikir bangunan ini baik-baik saja sampai tidak curiga sama sekali?

Griffin memindai pintu masuk. Bangunan itu punya halaman yang hanya ditumbuhi semak-semak rontok mirip belukar tajam di sisinya. Mata Griffin tidak mendapati adanya penjagaan sama sekali. Mungkin ada di dalam. Dia harus hati-hati.

Langkah Griffin nyaris tidak terdengar olehnya sendiri di tengah deru angin yang lumayan kencang. Setelah beberapa langkah, dia menoleh ke belakang dan menghapus jejaknya dengan telekinesis. Gundukan salju jadi timbul berantakan, tapi masa bodoh dengan itu. Tidak ada tanda pergerakan orang lain sama sekali. Griffin terus berjalan hingga mencapai pintu depan.

Dia bukan mata-mata, tapi tahu bahwa saat ini pentingnya luar biasa. Kalau dia sampai ketahuan, peluang untuk berhasil keluar dengan selamat sungguh kecil. Lagipula ini adalah sarang Pemburu yang dieluk-elukkan kejahatannya oleh keluarga Welsch, bukan?

Griffin mendongak. Serpihan salju mendarat di ujung hidung dan bulu matanya, tapi dia tidak peduli. Matanya memindai jendela. Apa lebih baik masuk lewat situ? Griffin belum pernah membobol masuk seumur hidup - tak pernah sekalipun. Jalan mana yang lebih baik diambil? Pintu depan, tidak. Jendela? Apa ada pintu lain?

The Seer's BloodTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang