BAB 3

218 22 0
                                    

Sudah hampir dua jam mereka berdua terjaga di dalam selimut, herannya tidak ada orang lain yang bangun, semuanya tertidur lelap.

Geon, selaku anggota OSIS sekaligus kakak kelas berusaha menenangkan adik kelasnya. Arme memiliki ketakutan tersendiri terhadap gelap, biasanya di malam hari ia nyalakan lampu tidur, tapi kali ini tidak bisa karena ini bukan berada di asrama.

"Makhluk itu sudah hilang, kan?" tanya Arme melirih pelan. Geon mengintip sedikit di celah selimut, bayangan makhluk itu masih ada di sana, hanya saja dia tidak tau apa yang dilakukannya.

"Dia masih ada, tapi dia tidak melakukan apa-apa kok," jawab Geon.

"Kau yakin?" Baru saja Arme melontarkan pertanyaan itu, seketika suara melengking memekakkan telinga mereka. Makhluk itu mencakar-cakar kukunya yang tajam ke pintu.

Bulu kuduknya semakin tegak berdiri, Arme memperkencang tangannya untuk menutupi telinganya. Ternyata selama ini Arme memiliki ketakutan terhadap tempat gelap. Semua terlihat jelas pada detik ini juga, tangannya gemetar, dan keringat dingin bercucuran di dahinya.

"Bagaimana bisa mereka masih bisa tidur di situasi seperti ini?!" kesalnya.

"Pelankan suaramu. Dia akan terus membuat keributan hingga ada yang membukakan pintu, makhluk itu tau ada yang masih bangun di sini," tegur Geon.

Suara cakaran berhenti. Waktu menunjukkan pukul 01.00 malam, makhluk tadi bergerak menjauh dari sana, bayangannya kini tidak terlihat lagi.

"Dia sudah pergi." Geon membuka selimut, dia menyarankan agar Arme cepat tidur, serta tidak terlalu memikirkan kejadian tadi untuk malam ini saja. Arme hanya menurut, mereka berdua kembali ke atas matras masing-masing, dan berusaha tidur.

****

Semenjak kejadian itu, Arme selalu mengunci pintu kamarnya di malam hari, ia juga mengingatkan Han dan Nagisa agar sebisa mungkin jangan keluar saat malam, apalagi jika jam bergerak menuju titik tertingginya.

Tentu saja kedua temannya ini bingung, mereka bertanya-tanya apa yang terjadi kepada Arme hingga sampai sebegitunya.

“Semenjak kalian resmi menjadi OSIS, Arme selalu waspada di malam hari. Saat rebahan, dia terus melihat ke arah pintu, bahkan lampu tidurnya selalu menyala tanpa henti sepanjang malam.” curhat Han.

"Jangan-jangan ini karena dia udah tau lebih dalam tentang sekolah ini, ya?" pikirnya tepat sasaran. Nagisa yang memang tidak tau apa pun menjadi kebingungan. Han pun mau tidak mau mengatakan semua yang ia tau tentang sisi lain sekolah ini di balik prestasi tingginya.

“Tidak masuk akal. Hanya karena satu peraturan, kau berpikir kalau sekolah ini menyimpan hal seperti itu? Kau ini ada-ada saja.” sangkal Nagisa mentah-mentah.

“Arme juga berpikir begitu awalnya, tapi lihatlah dia sekarang, dia menjadi lebih sering gelisah.” Mereka berdua terus memperhatikan Arme yang duduk sendirian di meja pojokan cafetaria.

Lelaki bermanik mata Hazel itu sudah melamun cukup lama di sana, bahkan ada yang datang menghampirinya pun, dia sendiri tidak sadar.

"Arme," panggil Vida berhasil membuyarkan lamunannya, ia meletakkan nampan berisi makanan pesanan mereka di atas meja.

“Seharusnya kamu tidak usah begini, Kak Vida,” ujar Arme merasa sedikit tidak enak.

“Tapi aku sudah janji, dan aku berusaha menepatinya,” jawab Vida tidak mempermasalahkan. Ini membahas tentang janji yang Vida sendiri buat ke Arme saat memergoki dia menguping pembicaraannya.

Keduanya menyantap makanan mereka dalam senyap. Vida menjadi yang lebih dulu membuka pembicaraan di tengah-tengah makan. “Sedari hari pelantikkan waktu itu, kau terlihat agak pucat. Kau sakit, ya?” tanyanya setengah khawatir.

Arme memberhentikan makannya. Jujur, dia sendiri pun bingung harus bagaimana menjawab, karena kejadian malam itu sangat terdengar tidak masuk akal di logika mereka.

“Dia begini karena melihat makhluk “itu”, Vida,” jawab Geon menyela, dia ikut duduk di meja mereka, serta nimbrung di percakapan.

Vida terbelalak kaget mendengar jawaban dari Geon barusan. “Kau bercanda, kan?” tanyanya.

“Kalau aku bercanda, apa anak ini akan sebegitu takutnya pada malam hari?” tanyanya balik.

Vida meletakkan alat makannya di meja, seketika kepalanya terasa sakit. Ia tidak tau lagi harus bagaimana sekarang.

"Kenapa tidak kita ajak dia? Dia sudah tau bagaimana rasanya," saran Geon berusaha memberikan solusi.

"Masalahnya, aku tidak mau melibatkannya."

"Kalau begitu, tidak akan ada yang dapat melakukan apa yang kau lakukan. Semua yang kau bangun untuk sekolah ini akan menghilang begitu saja, memangnya kau mau?"

Arme bingung harus bagaimana menengahi kedua kalau mereka berkelahi, masalahnya mereka ada di cafetaria sekarang, keributan kecil dapat menarik seluruh perhatian.

Baiklah, sekarang Vida kalah debat dengan Geon, mau tidak mau harus menurutinya. Geon penuh semangat menyuruh agar keduanya cepat menghabiskan makanan mereka.

****

Derap kaki mereka bergema di koridor sunyi itu. Di posisi paling ujung, terdapat jam berdiri tua yang sepertinya sudah lama tidak diurus. Bagian dalamnya terlihat berdebu, sedangkan bagian kakinya dipenuhi jaring Laba-laba serta lumut.

"Kita sedang apa ke sini?" tanya Arme penasaran. Vida menarik sesuatu yang menggantung di lehernya keluar dari seragam. Sebuah kalung berbentuk kunci.

Vida melepas kalungnya lalu memasukkannya ke lubang kunci di jam tadi. Lapisan kaca pelindungnya ia buka, kemudian tangannya mendorong dinding belakangnya yang merupakan sebuah pintu menuju ruangan tersembunyi.

"Cepat masuk," suruhnya memberikan jalan. Arme serta Geon masuk lebih dulu ke sana, disusul Vida yang menutup semua pintunya agar aman.

"Selamat datang di tempat rahasia kami," mereka berdua ramah. Ruangan itu ternyata lumayan besar juga, mungkin sebesar satu buah kelas. Isinya ada sofa, lemari, kulkas, dan beberapa alat hiburan. Benar-benar seperti dibuat khusus berantai.

"Aku baru tau ada ruangan tersembunyi seperti ini di sekolah," ujar Arme.

"Kami juga kok dulu. Bisa-bisanya Vida menyembunyikan tempat sekeren ini dulu." Geon merangkuk pundak teman seperjuangannya, mereka berdua terlihat sangat akrab bersama.

Singkatnya, mereka bertiga duduk santai di sofa, cemilan dan minuman sudah disediakan di atas meja. Mereka membahas tentang kejadian pada malam itu ke Vida.

"Aku benar-benar tidak mendengar semua suara-suara mengerikan itu," ujarnya setelah Arme selesai bercerita.

Arme mengacak-acak kesal rambutnya. "Sebenarnya aku tidak suka tempat yang gelap gulita, menurutku kurang nyaman saja. Jadi, Maaf atas kejadian itu, Kak Geon," sesalnya di akhir.

"Tidak apa, tidak ada salahnya takut gelap. Pasti kau kesulitan sekali malam itu, ya." Vida mengusap punggung Arme lembut, berharap bisa memberikannya energi positif.

Ia dan Geon tau betul kalau ini tidaklah mudah untuk Arme dihadapi, apalagi dia memiliki ketakutan terhadap tempat gelap, sudah dipastikan sekarang kalau mereka akan terus berusaha menemaninya, setidaknya sampai kondisi mentalnya membaik lagi.

Arme memperhatikan foto yang terpajang di dinding, isinya ada beberapa murid yang saling memasang senyum bahagia, dua di antaranya adalah Vida dan Geon.

"Mereka semua adalah pengurus inti OSIS saat ini. Kami harap kau bisa akrab dengan mereka, ya," ucap Vida seakan tau apa yang akan Arme tanyakan nantinya.

****

At the Midnight [END]✔Opowieści tętniące życiem. Odkryj je teraz