BAB 30

127 14 0
                                    

Azura kembali ke ruangan rahasia dengan napas ngos-ngosan, bisa ditebak kalau ia habis berlari lumayan jauh. Keempat temannya mengerutkan kening mereka penuh bingung, mempertanyakan apa yang membuatnya sampai berlari begini.

"Keluarga Vida akan datang, mereka ingin mengambil semua barang-barangnya. Jadi, kita diminta membantu membereskan agar mudah dibawa," jelas Azura setelah merasa lebih tenang.

"Kenapa harus kita?" tanya Geon.

"Kau memangnya tidak mau memeriksa kamarnya? Mungkin saja ada petunjuk, begitu. Lagipula, ini kesempatan sementara Nicholas belum kembali!" gerutu Azura kesal.

Jenathan mengangguk paham. "Itu masuk akal. Sekarang, ayo pergi sebelum keluarganya datang!"

Mereka berlima bergegas pergi menuju Asrama Timur. Karena memang ditugaskan, Azura dipinjamkan kunci cadangan oleh pengurus asrama.

Kamar bernomor 27 itu terlihat berantakan akibat kejadian tadi malam, lantai pun masih terdapat sedikit bekas noda darah, dan memunculkan bau amis.

"Sepertinya kita harus membersihkan lantai dulu agar tidak mengganggu," celetuk Nagisa berkacak pinggang.

"Sekalian satu kamar saja. Lihatlah, sangat berantakan seperti habis dipakai perang," ujar Geon menunjuk ke seisi ruangan.

"Bagaimana kalau kita bagi-bagi tugas saja?" saran Jenathan, "Geon dan Azura mengurus lantai serta ruang tengah, aku mengurus gudang, lalu Arme dan Nagisa mengurus kamarnya."

Tidak ada yang komplain dengan tugas masing-masing, mereka langsung bergerak. Azura memberitahu perkiraan kapan keluarga tersebut akan tiba di Alevia High School, sekitar jam 12 Siang, sedangkan sekarang sudah jam 10.

"Lihatlah! Ada banyak sekali bekas cakaran di sini," tunjuk Geon ke salah satu sudut ruangan, Azura datang mendekat untuk melihat bekas yang dimaksud.

"Ini harus kita abadikan." Azura memotret bekas cakaran tersebut di kamera ponselnya.

Beberapa bingkai foto di ruangan tengah ada yang jatuh ke lantai, bahkan kacanya pecah, tapi ada beberapa lainnya yang justru robek dicakar sesuatu.

"Kenapa ... hanya wajah Vida yang dirusak?" bingung Geon memperhatikan bingkai foto yang ada di tangan Azura.

"Entahlah, aku juga ingin tau," jawab Azura.

****

"Astaga, kamar ini jauh lebih berantakan daripada ruang tengah," tutur Nagisa memperhatikan sekeliling bersama Arme, terdapat lebih banyak bekas bercak darah dan cakaran di sana. Sepertinya, sempat terjadi berkelahian hebat di ruangan ini.

Tangan Nagisa gemetar hebat ketika melihat sprai kasur yang berwarna putih itu kini dipenuhi warna merah yang sudah mengering.

"Tempat ini jauh lebih parah," gumam Arme merasa ngeri melihat ke arah kasur. Manik matanya beralih ke sisi lain kamar, beberapa kali ia mondar-mandir. Hanya ada bekas darah dan cakaran yang ditemukannya. Beberapa barang seperti laci dan isi rak juga tergeletak di lantai.

Arme menyingkirkan perlahan barang-barang yang kemungkinan masih bisa dikembalikan ke Keluarga Vida nantinya.

"Nagisa, apa kau tidak apa melepas sprai itu? Aku mau membersihkan lemari pakaiannya," ujar Arme.

"Tidak apa, kalau begitu aku akan mengambil kardus di tempat Kak Jenathan dulu, ya," sahut Nagisa beranjak keluar.

Sementara menunggu, perhatian Arme tertuju ke sebuah buku bersampul berwarna hitam yang menyangkut di sela-sela meja belajar dan lemari pakaian.

Karena penasaran, Arme iseng meraihnya. Sampulnya sangat polos, tapi warna kertasnya yang sudah menguning menandakan kalau buku ini sudah berumur lama.

Ia membuka halaman pertama dan membacanya seksama, kata-kata di baris pertama sempat membuatnya kebingungan. "Hanya beberapa hari sebelum kematianku." itu bertuliskan.

Baru saja ingin membaca baris lainnya, terdengar suara ketukan pintu dari Nagisa. Arme refleks langsung melempar buku tadi ke bawah meja belajar saking paniknya.

"Maaf, ya, agak lama. Aku sempat bicara dengan Kak Jenathan tentang bekas darah tadi," sesal Nagisa.

Arme tersenyum tidak mempermasalahkannya. "Tidak apa, ayo kita langsung mulai saja, waktu kita sudah tidak banyak," ujarnya.

Mereka berdua pun mulai membersihkan kamar tersebut. Jenathan sempat datang setelah selesai mengurus barang-barang Vida yang ada di gudang. Dia menyarankan agar kasur itu dibalik saja sementara untuk menghilangkan bekas yang tidak sempat dibersihkan.

Setelah selesai, mereka beristirahat sejenak di ruang tengah. Kotak dan koper sudah tersusun rapi di sana juga, mungkin ada beberapa barang besar yang tidak bisa dimasukkan ke dalam keduanya.

Sekitar pukul 12.36 PM, seorang wanita paruh baya beserta beberapa pria bersetelan jas hitam datang ke sana. Wanita itu mengaku sebagai ibunya Vida. Dia menyuruh para bawahannya untuk membawa semua barang-barang itu menuju mobil angkutan.

Mereka berlima berniat membantu, namun ditolak. Wanita itu mengatakan kalau mereka sudah banyak membantu, maka dari itu dia memberikan hadiah berupa uang bernominal 500 Ribu.

Arme sempat syok menerimanya dan ingin mengembalikan sebagian, namun lagi-lagi ditolak. Wanita itu dengan senyum ramahnya mengatakan kalau itu adalah hasil dari kerja keras mereka sekalian penyemangat agar lebih giat belajar.

Setelah wanita itu pergi bersama para lelaki berjas hitam tadi, mereka akhirnya bisa kembali bersantai di sana. "Apa tidak ada di antara kita yang mau memeriksa kamar milik Nicholas, begitu?" bingung Geon.

"Kita tidak dipinjamkan kunci cadangannya, lagipula tidak ada yang menarik mungkin di situ," jawab Jenathan.

"Ngomong-ngomong, ibunya Kak Vida ternyata cantik, ya," puji Nagisa beralih ke topik lain.

"Gisa, apa kau tidak tau? Beliau itu Madam Matilda Alevia, pemilik sekaligus pewaris sekolah ini," kata Azura.

Nagisa sempat terkagum mendengarnya. "Tapi, kenapa marga Kak Vida bukan Alevia?" tanyanya kemudian.

"Itu karena Vida adalah anak angkat," sahut Jenathan menjawab.

"Serius!?" kaget Arme dan Nagisa serempak.

"Iya, Vida sendiri yang bilang. Katanya dia hanya anak angkat di keluarga Alevia, pantas saja mudah masuk dan menjadi OSIS," lontar Geon.

"Kekuatan orang dalam memang tidak perlu diragukan lagi, ya," kekeh Jenathan merasa setuju.

Sementara mereka mengobrol ringan, Arme memeriksa kantong celananya. "Lho? Ponselku?" bingungnya. Ia kembali bangkit dari posisinya dan pergi ke kamar Vida.

Arme memeriksa setiap permukaan, bahkan sudut. Akhirnya, ia menemukan ponselnya tergetelak begitu saja di lantai dekat lemari pakaian, untung saja tidak tertendang.

Arme menyadari kalau ada sesuatu di bawah meja, ternyata itu adalah buku tadi yang secara tidak sengaja tertinggal di sana setelah ia lemparkan.

Arme merasa menyesal, tapi ini juga adalah kesempatannya untuk mencari tau isi buku itu. Mungkin saja ada rahasia tersembunyi di sana, kita tidak tau. Buku tadi ia masukkan ke dalam tas sekolahnya.

****

At the Midnight [END]✔Donde viven las historias. Descúbrelo ahora