The Sweetest Pain

8.2K 720 91
                                    


🍉


Nadine 

Mirror, mirror on the wall,

Who's the prettiest of them all?

Aku.

Seharusnya aku yang tercantik malam ini.

Butuh waktu lebih dari lima jam untuk membuatku siap seperti bidadari. Acara megah penuh hiasan mewah dan makanan dengan menu pilihan yang di masak langsung oleh koki bintang lima begitu ramai membuat para tamu tersenyum puas. Karena malam spesial ini dibuat khusus untuk merayakan ulang tahunku yang ke 23 tahun. Lalu kenapa si bajingan tua itu membawa perempuan lain yang mencuri sorotan malam ini?

Lihat senyum pongahnya. Dari satu orang ke orang lain, dia terus menggandeng perempuan tak diundang ke acara ulang tahunku.

Mataku terus mengikuti gerak pasangan itu dari kejauhan dengan tangan memegang kuat gelas panjang berisi anggur putih.

Dua orang itu bahkan belum menghampiriku si pemilik acara dan mereka sudah memegang gelas panjang yang sama sepertiku.

Hatiku tentu kepanasan melihat tingkah tamu tak tahu diri yang mereka tunjukkan.

Dia sengaja.

Aku tahu kalau Fabian sengaja. Meski sedari tadi ia tidak melemparkan lirikan sedikit pun padaku yang satu-satunya perempuan di ballroom hotel yang memakai gaun pink mewah ala putri kerajaan. Dia seharusnya langsung melihatku yang begitu memukau malam ini.

Tapi, tidak. Dia tidak sekali pun melirikku. Dia hanya sibuk tertawa haha-hihi bersama teman-temannya itu.

"Who are you looking at?"

"Your brother."

"Duh." Desahnya malas, "Stop looking at him. Kamu bisa patahin kepalanya kalau kamu melotot begitu terus sampai satu jam ke depan." Abby menyesap wine miliknya sambil berdiri di sampingku yang masih menatap kakak sulungnya, "And... who is she?"

Abby atau Abigail adalah sahabatku sejak kami masih sering kencing di dalam celana. Kami dekat karena keluarga kami bersahabat. Kedekatan kami bahkan semakin kuat seiringnya kami tumbuh dewasa. Ke manapun aku pergi, di sanalah ada Abby. Dan di manapun Abby berada, disitulah ada aku.

Abigail memiliki tubuh lebih pendek daripadaku, namun lekuk tubuhnya sangat sempurna dan menggoda dengan pinggang kecil dan pinggul lebar. Sebagai atlit tennis profesional, tinggi tubuh Abby bukanlah sebuah masalah. Karena meski kecil, dia sangat lincah.

Aku menghela nafas kasar, ikut meminum wine milikku dengan tenggakan kasar, "Dunno." Balasku singkat yang membuat Abby tertawa geli.

"Don't worry my friend. Kita tahu mereka cuman bertahan sampai seminggu ke depan."

Of course Abby tahu tentang perasaanku pada kakak lelakinya. Tapi, sebagai sahabat dan adik, ia tidak pernah memihak salah satu diantara kami.

Perasaan yang aku punya pada Fabian mungkin dianggap sepele. Cinta monyet. Itu kata orang-orang. Karena apa yang mereka pikir, aku hanya tertarik pada fisik yang Fabian suguhkan.

Mereka tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Antara perasaanku dan hubungan kami. Yang mereka anggap hanya sebuah obsesi dari perempuan muda sepertiku.

"Oh! Kayaknya aku tahu siapa itu!" Abby terpekik kecil, "Well, dia beda sekali kalau enggak pakai jas dokter." Lanjutnya seakan takjub melihat perempuan yang masih setia merangkul tangan Fabian.

Aku menoleh mengangkat alisku tinggi, "dokter?"

"Dokter Marsha. Kamu ingat?" Tanya berbalik membuat kepalaku memutar kembali apakah aku mengenal nama Marsha sebelumnya, "Dia dokter Papaku."

Short Story IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang