When A Man Falls In Love 4

4.7K 382 89
                                    




🍉


Aku kembali mencoba menghubungi Samara. lagi-lagi hanya suara operator yang menjawabnya.

Ada sedikit takut kalau nomorku ternyata di blokir. Tapi, aku tahu kalau gadisku tak seperti itu.

Samara hanya lari pada kenyataan keluarganya hancur. Dia dewasa pada permasalahan lainnya.

Dan juga ini kesalahan pertama yang aku lakukan dalam hubungan kami. Seharusnya, dia tidak sampai memblokir nomorku.

"Tadi, nggak ketemu Samara?" tanya Ersa menaruh sepiring nasi kehadapanku.

Datang ke cafe, aku tidak menemukan di mana Samara. Ponselnya pun tidak bisa aku hubungi. Di sana aku hanya bertemu rekan bandnya dan mereka mengatakan Samara mengambil libur hari ini. Iya, libur untuk berkencan denganku, tapi, aku sudah mengecewakannya.

Aku tidak bisa mendatanginya ke rumahnya. Samara masih memintaku untuk menutupi hubungan ini dari orang tuanya, karena dia tidak mau kalau kedua orang tuanya harus ikut campur pada hubungan kami. Aku paham dengan kekhawatirannya. Tapi, di saat seperti ini, aku jadi tidak bisa menemui dia.

Aku menggeleng lirih. "Harusnya hari ini kami pergi makan siang. Tapi, karena kejadian Tessa, Abang lupa sama janji hari ini."

Ersa duduk di kursi sebrangku. Alisnya berkerut khawatir, "Jangan bilang dia tunggu Abang di sana?"

Kepalaku mengangguk berat.

"Dia nggak nunggu lama 'kan? Abang nggak biarin dia nunggu gitu aja 'kan?" cecarnya.

Bibirku terkulum malu, "Samara tunggu lima jam di sana. Dia bilang dia kecewa dan sampai sekarang Abang telpon dia nggak diangkat."

Ersa menyenderkan tubuhnya ke kursi dengan wajah pias, "Lima jam?" ulangnya untuk meyakinkan dirinya sendiri.

"Abang salah, Sa."

"Dan Abang masih bisa sempat-sempatnya cium perempuan lain. Mantan Abang sendiri." Katanya berbisik tajam dengan mata melirik ke belakangku seakan takut Tessa hadir mendengarnya.

Mengusap wajah dan menumpukan dua tangan di atas meja, "Abang nggak bisa jelasin soal itu."

"Bang! Kenapa kamu malah jadi gini sih?!"

"Abang juga nggak tahu, Sa!"

Dia menggeram kecil, membuang wajahnya kesamping seakan malu pada dirinya sendiri.

"Sa."

Dia memilih diam menyilangkan tangannya di dada. Aku membiarkannya diam selama beberapa menit sampai helaan nafasnya terdengar.

"Sebenarnya ada apa sama Tessa? Bukannya Abang bilang kalian putus karena dia pilih lelaki lain? Terus kenapa dia ada di sini? Kenapa keadaannya kacau?"

Seharusnya Tessa yang menjelaskan kondisinya sekarang. Aku sebagai orang luar tak memiliki hak, tapi, aku yang membawa Tessa ke sini. Dan adikku ini berhak untuk menjelaskannya.

Perlahan aku mulai bercerita dari awal pertemuan kami. Ersa mendengarkannya dengan kening berkerut. Sekuat tenaga ia menahan diri untuk tak memotong ceritaku.

Aku hanya bercerita apa yang aku tahu dan yang terjadi selama seminggu ini menjadi tempat bersembunyi Tessa.

"Gimana, Dek? Kamu paham 'kan sekarang posisi Abang gimana?" aku menatapnya berharap dia menjawab 'iya'.

Rautnya melembut, "Aku paham, tapi, daripada datang ke Abang, lebih baiknya Kak Tess pergi ke kantor polisi. Di jaman sekarang, para korban kekerasan itu udah punya tempat berlindung Bang, udah banyak organisasi perempuan diluar sana yang ngasih wadah untuk mereka mengadu dan dampingin korban." Ucapnya menatapku lurus, "Aku sangat paham niat baik Abang. Kalo aku jadi Bang Revan pun pasti ngelakuin hal yang sama. Tapi, nggak selamanya Abang harus jadi tempat dia bersembunyi. Abang bilang tunangannya itu anak polisi 'kan? Gimana kalo dia bikin cerita dan Abang dituduh sembunyiin Kak Tess?"

Short Story IITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang