Chapter 02

48 10 1
                                    

Jum'at, 8 Desember 2023

Kali ini tetap menjadi orang bodoh dengan mempertanyakan kekurangan dirinya tanpa melihat kelebihannya.

Selamat membaca.

PS. Like dan komentar kalian ditunggu.
______________________________________

Acha mengerutkan kening melihat Emier berdiri di pinggir jalan dengan sepeda motor di sisinya. Ia menimbang untuk berpura-pura melewati Emier atau mendekat. Tidak cukup lama untuk Acha berpikir karena wanita itu sudah berhenti di samping Emier. Ia membuka helm miliknya dan berkata, “Mogok ya Pak?”

Emier menoleh dan menemukan Acha berdiri di depannya. Ia mengangguk dan kembali mengetikkan pesan pada entah siapa yang pasti Acha bisa melihat kerutan tidak menyenangkan di dahinya.

“Pak Emier butuh bantuan saya?”

Emier menggeleng. Tuh kan, Emier itu cuek dan Acha tidak betah. Ingin hati langsung pergi saja tapi apa daya, sifat pedulinya lebih besar daripada sifat bodo amat nya.

“Pak Emier saya-”

“Bu Acha bisa benerin sepeda motor yang rusak?” tanya Emier dengan memasukkan handphone nya ke dalam saku celana. Ia sudah selesai mengetikkan pesan pada seseorang.

Acha menggeleng, “Saya ga bisa Pak, kan bukan mekanik.”

“Karena itu saya ga butuh bantuan Bu Acha.”

Acha menggigit pipi bagian dalam pertanda ia sedang kesal dengan jawaban Emier.

“Kalau Pak Emier ga butuh bantuan saya, saya mau berangkat duluan Pak.”

“Tunggu.”

“Kenapa Pak?”

“Saya butuh sepeda motor Bu Acha.”

Acha mengerjapkan matanya lalu bertanya, “Sepeda motor saya mau diapain sama bapak?”

Emier mendecak, “Saya ikut Bu Acha ke sekolah pakai sepeda motor itu. Nanti saya yang nyetir. Jadi Bu Acha tunggu disini dulu, saya sudah hubungin teman saya buat ambil sepeda motor saya.”

Acha mendengus. Tadi saja tidak butuh bantuannya terus sekarang butuh sepeda motornya. Jual mahal sekali bapak satu ini.

Sekitar sepuluh menit kemudian temannya Emier sudah datang dan Acha hanya diam menunggu selagi dua pria itu sedang berbicara. Sesekali Emier melirik Acha, memastikan teman kerjanya itu tidak pergi meninggalkan dirinya di pinggir jalan.

“Ayo!”

Acha berjengit mendapati Emier sudah berdiri di sisinya dan memberikan tanda untuk Acha mundur. Pria itu yang akan menyetir. Acha berdeham dan mundur ke belakang. Setelah memastikan dirinya duduk dengan nyaman ia menepuk pundak Emier, memberikan tanda kalau bisa berangkat sekarang.

Selama perjalanan ke sekolah tidak ada yang berbicara. Acha menutup rapat mulutnya karena ia memilih untuk menikmati angin pagi yang masih segar. Berbeda dengan Emier yang sesekali melirik Acha dari kaca spion sepeda motor. Ia berdecak kemudian berkata, “Bu Acha kalau ngantuk, saya berhentiin sepeda motornya.”

Acha mendekatkan kepalanya dan berkata, “Saya ga ngantuk Pak. Lanjut aja nyetirnya.”

“Kalau ngantuk kasih tahu.”

“Bapak mau berhentiin sepeda motornya kalau saya ngantuk?”

“Saya turunin ibu dipinggir jalan.”

~~~

Acha meletakkan buku paket matematika miliknya di atas meja. Ia menghela nafas untuk kedua kalinya dalam jarak hitungan menit. Karina yang melihatnya berjalan mendekat dan menepuk pundak Acha. “Masih jam segini sudah lemes. Kalah sama siswa kamu.”

Acha menatap Karina cukup dalam, “Pusing aku tuh.”

“Dia lagi?”

Acha mengangguk. “Aku banyak dosanya kali ya Rin harus diginiin dulu.”

Karina menarik kursi sebelah Acha dan duduk disana. Ia mengerti maksud perkataan Acha ini dan yang bisa ia lakukan hanyalah tertawa sebelum berkata, “Mau kamu banyak dosa atau enggak, Tuhan tuh selalu kasih cobaan yang sepadan dengan makhluknya. Kalau menurut kamu ini berat banget, aku yakin kamu bakal bisa lewatin ini.”

“...”

“Rion ga ada hubungin kamu?”

“Ga ada.”

“Kamu kayaknya beneran mending bubar aja deh. Hubungan kalian tuh toxic parah. Aku sudah kirim ciri-ciri orang toxic dari google kan? Ya itu, ada di Rion semua. Kalau kamu bilang, Rion tuh mungkin Tsundere. Ga ya Cha, dia bukan Tsundere tapi ga tau diri.”

“...”

“Sekarang tinggal kamunya aja buat sadar diri. Dia nya ga tau diri ya berarti kamu harus sadar diri. Dia ga baik buat kamu.”

Acha melirik ke sekitar memastikan tidak ada seorangpun yang akan mendengar pembicaraan berat ini. “Aku sangat sadar diri Rin. Dia ga bakal milih aku. Tapi ngelepasin dia begitu aja tuh susah. Tiap aku ajak ngobrol, dia ga ada respon.”

“Yang mau kamu harepin dari obrolan bareng sama dia itu apa?”

“Kurangnya aku apa sampai dia giniin aku.”

Karina mendesah, “Udah deh mending sama Pak Emier daripada sama Rion. Tadi pagi dateng boncengan berdua, simulasi kalau pacaran?”

Acha menggeleng, “Ga lah. Pak Emier sudah punya pacar kali ah.”

~~~

Adelia menarik tangan putrinya untuk duduk di sampingnya. Ia menatap Acha yang mengerutkan dahi lalu berbisik, “Rion datang kesini mau bicara serius.”

Acha tidak menanggapi. Ia memilih diam dan menunggu pria di depannya ini berbicara. Sudah satu minggu semenjak Rion tidak datang ke cafe dimana mereka janjian, pria itu tidak ada kabar sama sekali dan sekarang ada di depannya dengan senyuman manis yang terkadang membuat Acha sedikit mual.

“Ada yang ingin aku bicarakan dengan Acha sama Mama.”

Adelia mengangguk dan memberikan tanda pada Rion meneruskan pembicarannya.

“Aku ingin nikah sama Acha. Aku pikir sudah cukup selama satu tahun ini kita bertunangan.”

Adelia dan Acha saling berpandangan. Acha bisa melihat ibunya yang sedang tersenyum cukup lebar, ibunya bahagia. Acha mendongak dan ia melihat Rion yang sedang menunggu jawaban dari dirinya.

Acha memang menunggu Rion mengajaknya menikah tapi bukan ini yang ingin ia dengar saat pria ini berada di depannya. Rion seperti melupakan apa yang sudah ia lakukan satu minggu yang lalu.

“Ma, aku mau bicara berdua sama Rion.”

Adelia menatap putrinya dan mengangguk. Ia berdiri dan menepuk pundak putrinya. Setelah memastikan ibunya sudah pergi, Acha menghela nafas, “Kemana satu minggu yang lalu?”

Rion mengerutkan dahi dan Acha kembali berkata, “Di cafe. Kamu janji mau ngedate sama aku waktu itu, tapi kamu ga dateng.”

Rion terlihat menghela nafas, “Maaf, Cha. Aku lagi sibuk banget jadi lupa ngabarin kamu.”

“Bukan karena kamu lagi sibuk sama pacar kamu yang belum selesai itu?” Acha hanya ingin mendengar jawaban jujur Rion dan hari ni sebelum ia menjawab ajakan Rion untuk menikah, ia memastikan akan mendengar semuanya.

“Aku ga lagi sama siapa-siapa kecuali sama kamu. Kalau aku sama perempuan lain, aku ga mungkin ajak kamu nikah.”

“...”

“Kamu ragu sama aku?”

Acha mengangguk, “Gimana aku ga ragu sama kamu kalau kamu selalu ngehindar dari aku.”

“Itu hanya perasaan kamu saja, Cha.”

“...”

Rion menghela nafas. Ia berdiri dan berjalan memutar untuk duduk di samping Acha. Ia mengambil tangan kanan Acha dan menggenggamnya, “Hanya kamu yang aku mau, ga ada perempuan lain.”

Here's Your PerfectOnde histórias criam vida. Descubra agora