7. Meratapi Kebodohan

28 9 0
                                    

Hari ini begitu terasa panjang bagi Ilona yang sejak jam delapan pagi sampai pukul lima sore menghadiri kelas offline di kampusnya. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk mengajak Chika bertemu, tentu saja dirinya ingin menceritakan keresahannya pada Chika.

Berkali-kali panggilan masuk dari Ervin memenuhi notifikasi hp-nya, tapi tidak ada satupun yang ia angkat. Ilona tahu mengapa Ervin berbuat demikian karena seharian ini ia sengaja tidak berkunjung ke kedai. Selain karena kesibukan kuliahnya, dirinya masih syok atas kejadian semalam.

"Ya ... gila aja dia tiba-tiba bilang gitu," Ilona mengakhiri ceritanya pada Chika.

"Kan aku udah bilang."

"Aku gak expect dia bakalan begitu."

Chika menatap Ilona dalam. "Makanya kalau sama orang baru ngga usah seakrab itu. Hati-hati kalau kenal sama orang baru."

"Aku ngga menawarkan diri, Chik."

"Tapi kamu diajakin nge-brew dan apalah itu mau-mau aja."

Ilona terdiam tanpa ekspresi. "Aku harus gimana?"

"Ya, dilanjut dulu aja. Kamu juga sih pakai segala datang setelah itu, coba waktu itu kamu ngga usah datang ... selesai. Dia juga gak akan ngejar kamu kalau kamu ngga datang," jawab Chika, "kamu memutuskan datang sama aja kamu bersedia."

"Kalau udah kaya gini jadinya simalakama. Kamu ngga datang kamu dicariin, kamu datang ya bakalan ketemu dia,"

"Makanya, kalau ditawarin apa-apa jangan langsung mau. Ngga ada bedanya kamu sama anak kecil yang ditawarin permen langsung mau,"

"Kalau udah begini siapa yang bingung? Ya, kamu sendiri,"

"Kamu aja ngga tau background dia kaya gimana, siapa dia, sifat dia kaya gimana ... kamu lho padahal punya usaha, buat ngejalanin dan ngerekrut orang kan tau sendiri ngga semudah itu, pasti butuh banyak pertimbangan,"

"Harusnya kamu dari situ udah paham. Akal-akalan dia aja kalau dia bilang cari orang susah, ya memang cari orang susah, tapi orang pinter bisnis pasti hati-hati milih karyawan. Ngga mungkin langsung deal gitu aja,"

"Kamu juga bilang sendiri, kamu no experience di bidang itu, hanya berdasarkan modal kamu tau caranya ini itu, orang yang udah lama terjun ke dunia bisnis pasti juga mikir mau ngerekrut karyawan ngga cuma modal pengetahuan aja. Apalagi ini langsung dijadiin head bar, bisa-bisanya head bar ngga punya jam terbang."

"Toh kamu juga ngga disuruh ngapa-ngapain to? Maksudnya ya ngga seperti head bar pada umumnya. Apalagi pas kamu cerita siapa itu ... Pinkan? Ya itu lah, yang dia bilang kalau Ervin cuma butuh cctv ... Woi lah, apa gunanya tu cctv mojok di tembok."

Mendengar semua celoteh yang terlontar dari mulut Chika semakin membuat Ilona memojokan dirinya. Ilona mengakui semua yang dikatakan Chika benar adanya. Tidak seharusnya ia mengiyakan permintaan Ervin secepat itu. Tidak seharusnya ia datang lagi ke kedai setelah menerima tawaran Ervin, yang paling utama adalah ia seharusnya perlu menaruh kecurigaan pada Ervin.

"Aku bingung, Chik."

"Ya pasti bingung lah, orang mana yang ngga bingung padahal niat aslinya tulus ngebantu jadi berubah gara-gara sebuah kalimat aku suka kamu."

Chika memegang bahu Ilona. "Lon, kamu dah gede. Jadiin hal ini sebagai pelajaran. Ngga semua hal harus kamu iyain atas dasar kamu ngga enak atau udah terlanjur membahas terlalu jauh."

Biasanya Ilona marah jika dirinya dipanggil 'Lon' oleh Chika, tapi kali ini dirinya diam, diam-diam sambil memaki diri sendiri.

"Aku gimana ya, Chik? Aku harus apa setelah ini? Aku ngga mungkin tiba-tiba keluar ngga ada kabar."

JembarWhere stories live. Discover now