#i. geger pecinan [prolog]

39 9 1
                                    

" hidup enggan, mati pun tak mau "

" hidup enggan, mati pun tak mau "

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apakah kalian tahu Geger Pecinan?

Pada periode awal kolonialisasi Hindia Belanda oleh Belanda, banyak orang keturunan Tionghoa dijadikan tukang dalam pembangunan kota Batavia di pesisir barat laut pulau Jawa.

Mereka juga bertugas sebagai pedagang, buruh di pabrik gula, serta pemilik toko.

Perdagangan antara Hindia Belanda dan Tiongkok, yang berpusat di Batavia, menguatkan ekonomi dan meningkatkan imigrasi orang Tionghoa ke Jawa.

Jumlah orang Tionghoa di Batavia meningkat pesat, sehingga pada tahun 1740 ada lebih dari 10.000 orang. Ribuan lagi tinggal di luar batas kota.

Pemerintah kolonial Belanda mewajibkan mereka membawa surat identifikasi, dan orang yang tidak mempunyai surat tersebut dipulangkan ke Tiongkok.

Kebijakan deportasi ini diketatkan pada dasawarsa 1730-an, setelah pecahnya epidemik malaria yang membunuh ribuan orang, termasuk Gubernur Jenderal Dirk van Cloon.

Menurut sejarawan Indonesia Benny G. Setiono, epidemik Geger Pecinan ini diikuti oleh meningkatnya rasa curiga dan dendam terhadap etnis Tionghoa, yang jumlahnya semakin banyak dan kekayaan yang semakin menonjol.

Akibatnya, Komisaris Urusan Orang Pribumi Roy Ferdinand, di bawah perintah Gubernur Jenderal Adriaan Valckenier, memutuskan pada tanggal 25 Juli 1740 bahwa warga keturunan Tionghoa yang mencurigakan akan dideportasi ke Zeylan (kini Sri Lanka) dan dipaksa menjadi petani kayu manis.

Warga keturunan Tionghoa yang kaya diperas penguasa Belanda, yang mengancam mereka dengan deportasi.

"Jika tidak membayar pajak, kalian akan dapat dideportasi ke Zeylan!" Ujar petugas asli Belanda.

"Tetapi harga ini begitu tinggi, sangat tidak masuk akal!" jawab salah seorang pengusaha asal Tionghoa, yang kini tinggal di Batavia.

Stamford Raffles, seorang penjelajah asal Inggris dan ahli sejarah pulau Jawa, mencatat bahwa orang Belanda diberi tahu Kapitan Cina (pemimpin etnis Tionghoa yang ditentukan Belanda) untuk Batavia, Ni Hoe Kong, agar mendeportasikan semua orang Tionghoa berpakaian hitam atau biru, sebab merekalah yang miskin.

Ada pula desas-desus bahwa orang yang dikirimkan ke Zeylan tidak pernah sampai ke sana, tetapi justru dibuang ke laut lepas, atau mereka mati saat membuat kerusuhan di kapal, juga sebuah kecelakaan.

Ancaman deportasi ini membuat orang Tionghoa resah, dan banyak buruh Tionghoa meninggalkan pekerjaan mereka.

Sementara, penduduk pribumi di Batavia, termasuk orang-orang Betawi, menjadi semakin curiga terhadap orang Tionghoa.

LUOHUA | 1740Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang