Sumpah

120 16 4
                                    

Dua jam berlalu tanpa terasa.

Yibo terbangun saat mendengar lampu safety belt dinyalakan Pilot. Beranjak duduk, menegakkan sandaran, memasang sabuk.

“Pagi, Yibo.” Xiao Zhan menyapanya di sebelah. Dia juga telah bangun.

Aroma kopi tercium pekat, Yibo menoleh.

“Kamu mau kopi?” Xiao Zhan menatap Yibo, “Anak itu membuatkanku segelas kopi lezat lima menit lalu─bahkan sebelum kusuruh. Dia semangat sekali.”

Yibo menoleh ke belakang, Sean kembali dari dapur, membawa botol minuman dingin.

“Apakah Tuan Besar mau air mineral?”

Yibo mengangguk, menerima botol air.

Sean segera kembali ke kursinya, mengenakan sabuk pengaman.

Pendaratan yang mulus, pesawat jet itu mendarat di bandara lima belas menit kemudian. Langsung menuju parkiran pesawat jet pribadi. Di bawah sana, terlihat dari jendela pesawat, tiga mobil hitam metalik telah menunggu. Enam petarung dan seorang kepala devisi bertugas menjemput rombongan dibandara. Yibo meletakkan botol kosong. Bersiap turun.

Saat itulah, Yibo benar-benar tidak menyangka, belalai mengerikan milik Morgan Thiago telah menunggunya. Bergerak diatas ibu kota, persisnya diatas sebuah gedung 20 lantai, 1.700 meter jaraknya dari bandara. Seorang pembunuh kelas dunia telah menunggu dengan sabar sejak dua jam lalu.

Pesawat telah berhenti. Lampu safety belt telah dipadamkan.

Yibo melepas sabuk pengaman. Berdiri.

Persis saat Yibo berdiri, senjata M-24 itu telah teracung sempurna ke pintu pesawat. Pembunuh itu mengenali pesawat jet milik mafia Atlas, dan lebih dari itu, dia tahu itu pesawat yang Yibo naiki. Dia bersiap menghabisinya.

Yibo melangkah melewati lorong pesawat, menuju pintu yang telah dibuka oleh kopilot. Di belakang menyusul Sean dan Xiao Zhan.

Persis saat Yibo bersiap keluar dari pesawat. Pembunuh itu telah siap memuntahkan peluru. Dia telah memperhitungkan kecepatan dan arah angin. Pembunuh itu telah mengkonfirmasi wajah Yibo di teleskop, dia tidak menunggu lagi. Segera menarik pelatuk. Tembakan jitu, tak meleset walau semili. Tapi takdir berkata lain, bukan Yibo yang tewas pagi itu.

“Biarkan aku di depan, Tuan Besar.” Sean mendadak melangkah cepat, memotong posisi Yibo.

Yibo mengangguk. Anak ini tahu persis tugas seorang anggota Shadow Atlas ─bahkan sebelum diajarkan. Sean melangkah mantap di depan Yibo, sesuai prosedur resmi pengawalan. Seorang pengawal turun lebih dulu sebelum Tuan Besar.

Sedetik.

Peluru itu menembus dahinya.

Darah muncrat ke mana-mana. Ke dinding, ke lantai. Tubuh Sean terkulai jatuh.

Yibo terperangah.

“SNIPER, YIBO!! Berlindung!” Xiao Zhan yang berdiri dibelakang Yibo berteriak.

Yibo tidak perlu diteriaki dua kali, segera lompat ke belakang.

“SNIPER!!!” Kepala devisi dan enam petarung Shadow Atlas di bawah segera berseru-seru melihat kejadian tersebut, empat diantaranya berlarian ke atas anak tangga, “LINDUNGI TUAN BESAR!!” Mereka segera memasang pagar hidup di pintu pesawat.

Pembunuh itu masih mencoba melepas dua kali tembakan, mengenai petarung tersebut, tapi dia tidak tahu dimana posisi sasarannya didalam pesawat jet. Tembakan berhenti, pembunuh itu segera membereskan peralatan sebelum posisinya diketahui. Lengang. Yibo menyeka cipratan darah dari wajah.

Pagi itu, Yibo benar-benar tidak menyangka, pembunuh bayaran yang disewa Morgan Thiago telah tiba di teritorial Shadow Atlas. Dari jarak 1.700 meter, pembunuh itu mengirim kematian. Sean tergeletak di lantai pesawat jet, bersama genangan darah. Dua petarung lain terluka parah, bahu dan kaki mereka ditembus peluru.

Dua rekan lainnya segera menurunkan Sean dari pesawat. Tapi tak ada yang bisa dilakukan, peluru itu menembus dahinya. Dia tewas seketika. Hanya Dua petarung lain yang masih tertolong.

Yibo dan Xiao Zhan turun dari pesawat.

“Tuan Besar baik-baik saja?” Kepala devisi bertanya.

Yibo mengangguk, mengusap wajahnya yang terkena cipratan darah.

Salah satu petarung memberi tisu basah.

“Segera bawa Tuan Besar pergi!” Xiao Zhan memberi perintah.

“Sesuai perintah, Tuan Xiao.”

Yibo segera menaiki salah satu mobil Jeep dengan kaca anti peluru. Xiao Zhan ikut naik.

“Bawa tubuh anak itu ke markas besar. Dia akan diurus penuh kehormatan. Beritahu Kafka segera, agar dia menuju titik pertemuan darurat yang akan kuinformasikan beberapa saat lagi.”

“Sesuai perintah, Tuan Besar!” Kepala devisi sekali lagi mengangguk.

Mobil Jeep segera meluncur meninggalkan bandara.

“Ini semua kacau balau, Yibo!” Xiao Zhan bergumam.

Yibo mendengus, masih membersihkan darah dari wajah.

“Kali ini si bedebah Morgan Thiago benar-benar serius. Dia mengincarmu.”

“Morgan Thiago akan menerima pembalasannya, Xiao Zhan. Aku ber-SUMPAH. Sebelum jasad anak itu dikebumikan, aku akan memastikan pembunuh bayaran itu diurus lebih dahulu, aku akan menangkap pembunuh itu. Kejadian ini… Astaga! Apa yang harus kukatakan kepada Maverick dan Bibi Li? Anak mereka, putra bungsu mereka meninggal pagi ini karena melindungiku.”

***

The Death Knell at 5 p.m ✔Where stories live. Discover now