Satu

301 27 1
                                    

Kaki lumayan panjang tersebut terus melangkah tanpa arah. Pikirannya kalut. Bertemu dan berbicara dengan Angkasa- pacarnya tidak ada gunanya. Cowok itu sama sekali tidak ingin mengakui bahwa janin yang di kandungnya adalah darah dagingnya sendiri.

Daisy paham benar Angkasa sosok seperti apa. Sebelum ia memutuskan berbicara pada cowok itu, untuk meminta pertanggungjawaban sudah Daisy pikirkan matang-matang.

Selepas bertemu harapan Daisy sirna seketika, Daisy dari awal telah menduga hal ini akan terjadi. Lagi pula apa yang di katakan Angkasa tadi adalah kebenaran, sebab jika ia tidak nekat ingin mengurusi Angkasa sedang mabuk berat semuanya tidak akan terjadi.

Jangankan membuatnya hamil, menyentuhnya saja Angkasa enggan. Angkasa seakan-akan tidak sudi bahkan sekedar menggenggam tangannya. Oleh sebab itu hal demikian mustahil terjadi bila bukan ketidaksengajaan.

Tetapi Daisy tak memiliki jalan lain selain mengatakan semuanya kepada Angkasa. Harapan tinggal harapan Daisy harus menanggung semua sendiri, salah satu kemarahan orang tuanya bila tahu dirinya sedang mengandung di luar pernikahan.

Daisy berhenti di tepi jembatan pandangannya turun kebawah. Helaan napas berat keluar dari mulutnya. Tangannya mengusap pelan mata sembab akibat terlalu banyak menangis.

"Mau pulang tapi takut. Pasti bakal kena marah lagi." Ia bergumam dengan suara serak. Bola mata berwarna coklat terang tersebut tak lepas memandangi air sungai yang tampak tenang.

Daisy memeluk dirinya sendiri, merasa dingin. Karena memang hujan deras baru berhenti belum lama. Jalanan aspal dan trotoal pun licin. Bila tak berhati-hati bisa terpleset.

"Kalo aku jatuh disitu bakal mati nggak ya, kira-kira?" ujarnya random.

Gadis itu mengangkat kepalanya lalu melihat kawasan. Sepi, Tak menemukan keberadaan manusia lain selain dirinya.

Tempat ini memang salah satu dimana Daisy sering memenangkan pikiran di saat dalam masalah.

Daisy melirik jam tangan di pergelangan. Hari sudah sangat sore. Namun, Daisy sama sekali tak berniat beranjak dari tempatnya berdiri.

Ia memejamkan mata menghirup udara yang terasa segar berbeda dari biasanya. Ada perasaan tak enak menelusup hatinya, seolah akan terjadi hal buruk padanya. Tapi Daisy secepatnya menepis, mungkin itu cuma perasaannya saja karena setiba dirumah akan mendapatkan amarah dari sang ibu.

Selama beberapa menit Daisy berdiam di posisinya. Ia melirik kearah kakinya saat merasa sesuatu berjalan di sana dan sedikit terasa sakit. Rupanya semut merah, Daisy menghentakkan kakinya berniat mengusir semut tersebut.

Namun di luar dugaan, entah bagaimana caranya kaki nya tergelincir, menyebabkan tubuhnya terdorong ke bawah jembatan yang terdapat air sungai.

Daisy tentu saja memekik. Wajahnya terlihat panik dan pucat pasi, beruntung tangannya cepat mencapai pembatas jembatan paling bawah.

Sekuat tenaga ia menahan tangannya yang menopang berat badannya yang bergantung di sisi jembatan. Air mata kembali lolos di pipi tirus Daisy. Gadis itu takut dan panik.

Memang tidak akan mati jatuh ke air dari ketinggian tapi Daisy tak bisa berenang. Daisy berteriak berharap seseorang lewat kemudian menolongnya.

Hingga beberapa saat tenggorokan terasa sakit karena terus memekik tapi tak membuahkan hasil. Tangannya pun sakit, tidak kuat lagi menopang tubuhnya.

Perlahan ia melepaskan pegangan, matanya terpejam seakan telah pasrah jika tubuhnya jatuh ke dasar sungai.

Byurr

"Apa ini akhir dari hidupku?"

Dingin dan sesak.

Ini sangat menyakitkan, Daisy tak pernah menduga akhir hidupnya mati tenggelam tanpa ada seseorang tahu.

Perlahan kelopak mata berbulu lentik dan panjang itu tertutup rapat dengan napas hembusan terakhirnya.

***

Kelopak mata seorang gadis terbuka lebar dengan spontan terbangun dengan posisi duduk dengan napas terengah-engah. Tetesan keringat mengalir dari dahi hingga pelipis. Degup jantungnya berdetak kuat.

Seakan tersadar Daisy mengedarkan pandangannya ke sekitar. Bukankah ini kamarnya?

Lalu ia beralih ke tubuhnya. Baju yang ia kena tidak basah dan berbeda. Kerutan pada dahinya semakin jelas. Daisy sangat mengingat bagaimana rasa teramat sakit kala tubuhnya tenggelam di sungai.

Dan apa ini? Mengapa kini ia terlihat baik-baik saja.

"Apa mungkin itu mimpi?" Daisy menggeleng cepat. "Harusnya aku meninggal. Tapi kenapa aku sekarang-" Daisy tidak melanjutkan ucapannya, kepalanya sakit. Rasa sakit ini amat nyata.

Secara tak sengaja mata melirik kearah kalendar yang terdapat di atas nakas. Bola matanya melebar dengan detak jantung kembali berpacu.

Dengan tangan gemetar Daisy meraih kalender berukuran kecil tersebut. Ia mengucek matanya memastikan penglihatannya.

Matanya mencari sesuatu dan lansung menemukan di samping tempat tidurnya. Daisy memakai kacamata minus berbentuk bulat mengamati kalender dengan benar.

9 Desember 2021

Daisy tidak salah lihat kalender itu menunjukkan tanggal, bulan, serta tahun yang benar.

"Kembali ke masa lalu?!" Daisy ingat betul, ini tahun 2022 bukan 2021. Lebih tepatnya 9 Desember 2022.

Mata Daisy berembun, dengan nada tak percaya ia bergumam. "Aku ... Aku kembali ke satu tahun lalu sebelum kejadian itu?"

Kacamata bulatnya mengabur karena air matanya. Daisy terisak kecil. Tuhan memberi ia kesempatan kedua, itu artinya Tuhan mengizinkan ia memperbaiki kesalahannya, bukan?

Daisy semakin terisak, bahu kecil gemetar. Ia melepas kacamata. Sungguh Daisy tak menyangka ini semua terjadi padanya. Seharusnya tempatnya bukan disini.

Daisy sangat berterimakasih atas kesempatan yang Tuhan berikan untuknya. "Aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Tidak akan! Aku akan memperbaiki semuanya dan anak itu tidak akan hadir sebelum waktunya."

•••

Anaxiphilia : Repeating TimeWhere stories live. Discover now