11

182 15 4
                                    

"Jadi istri gue maka hidup lo akan bahagia."

"Jadi istri gue maka hidup lo akan bahagia."

"Jadi istri gue maka hidup lo akan bahagia."

.

.

"Aaa berisik! Kepala gue berisik banget. Setidaknya kasih gue waktu mikir dulu"keluh Ily mengerang frustasi.

Ia duduk di balkon apartemen dengan pemandangan hujan yang terus menetes ke bumi. Bulan Desember dimana hujan turun dengan deras dan kerapuhannya akan hidup, ia harus di suguhkan dengan kalimat sakti yang keluar dari mulut Alian. Berhasil menggetarkan dunianya. Benarkah ini jalan terbaik yang sedang Tuhan siapkan untuknya?

Menikah dengan Alian dan mengambil secara penuh apa yang menjadi miliknya? Tetapi, jika Embun Group seutuhnya menjadi milik Ily. Bagaimana cara ia terhindar dari kemurkaan Papa dan ketiga kurcacinya? Ditambah, Ansaka pasti akan murka.

Ya, Ily tidak peduli sih soal Ansaka. Hanya saja, ini terlalu rumit. Alian memang tidak terduga. Bisa-bisanya mengajak menikah disaat Ily menangisi hidupnya yang hancur. Setidaknya, melamar saat suasananya romantis dan dengan wajah Prilly yang tidak berderai air mata.

"Gue emang pengen sih cepet nikah. Nah, kebetulan Alian nawarin diri. Gue dan dia juga sama-sama punya ketertarikan. Tetapi, kenapa gue deg-degan sekaligus bingung? Ah, bahkan gue nggak paham sama tujuan hidup gue selanjutnya harus apa. Alian benar-benar mempengaruhi hidup gue. Dia semacam spotlight yang nggak berhenti membiarkan gue ada di dalam kegelapan. Maunya di sinari terus. Tetapi, giliran gue nih. Mau nggak terus di sinarin sama dia."

Ily menyesap teh hangatnya dan menghembuskan nafas. "Apa gue tanya Saesha aja ya? Ya, setidaknya bisa yakinin gue kalau pilihan gue kali ini nggak akan salah."

"Halo Aktrisku. Gimana kabarnya? Senang ya bisa istirahat selama sebulan."

Ily mendengus kesal mendengar kalimat sindiran dari Manajernya. "Sha, gue mau nanya sesuatu. Kali ini serius dan lo nggak boleh ngetawain gue."

"Apa nih? Jangan-jangan lo dipaksa sama Papa lo untuk balik ke rumah dan lo bingung mau balik apa nggak?"

"Bukan. Gue pengen nanya. Menurut lo, saat lo lagi bingung sama hidup dan ngerasa hancur banget. Terus ada cowok yang datang ngajak lo nikah. Lo mau nggak?"

"Hmm tergantung sih."

"Tergantung gimana?"

"Ya tergantung tuh cowok mukanya meyakinkan apa nggak. Terus, dari segi keluarga dan visi misinya. Nggak harus cari cowok yang kaya. Tetapi, setidaknya isi kepalanya sama kayak kita. Ya, paling nggak mukanya ganteng."

Ily mendelik malas. "Mau lo doang. Jujur deh kalau seandainya kita bahkan nggak tau gimana kehidupan si cowok. Diterima aja nggak masalah kan?"

"Masalah dong, Ly. Masa iya lo mau nikah sama sembarangan orang? Nggak jelas bibit, bebet, bobotnya. Lo nanya gini gue curiga. Lo habis di ajak nikah sama siapa?"

"Nggak diajak siapa-siapa kok. Udahlah gue tutup aja telfonnya."

"Eh, tunggu dulu. Dengerin dulu, Ly. Sebelum lo mengiyakan, alangkah baiknya lo setidaknya tahu tuh cowok dari keluarga yang bagaimana. Kalau lo cuma tahu sikapnya doang tanpa tahu keluarganya. Sama aja, lo di bohongin. Kalau emang ini cara lo supaya terlepas dari belenggu keluarga. Gue dukung, Ly. Tetapi, setidaknya selesaikan dulu kewajiban lo sebagai Aktris. Baru lo boleh ngelepas semuanya. Semangat, Zeilyna. Muahh gue tutup telfonnya. Byee."

Klik.

Ily menghela nafas setelah panggilan telfonnya di tutup secara sepihak oleh Saesha. Benar juga kata Saesha. Semua akan terasa percuma jika ia hanya mengenal sosok Alian tanpa mengetahui keluarga Alian seperti apa.

Honest ManWo Geschichten leben. Entdecke jetzt