Chapter 22

65 2 2
                                    

~Selamat Membaca~

Rayn tersenyum tipis pada seseorang yang kini tengah berdiri di pintu rumah Rayn. Ia berjalan ke bawah sambil menebas satu per satu kepala anggota Voulres. Ia berhenti tepat di depan Chandra, warna matanya kembali seperti semula.

"Kamu harus mati!"

Chandra menarik pelatuk senapannya dan mengarahkannya pada kepala Rayn. Jika Rayn gerak sedikitpun, satu peluru akan menembus kepalanya.

"Aku sudah memberikanmu kesempatan, Chandra!"

"Kamu seharusnya berterima kasih karena gadis yang dulu bersamamu sudah mati. Dia bukan perempuan yang baik, dia membohongimu. Dia membohongi kita semua, om Chandra. Cassia dan kakaknya sama saja. Mereka jahat."

Chandra terkekeh pelan, "Yang jahat itu Calisha, nak. Dia membohongimu, dia tidak pernah berpihak padamu."

Tangan Rayn terangkat untuk menyingkirkan senapan yang Chandra todongkan pada dirinya. "Aku kira itu benar, tapi ucapanmu tidak berpengaruh sama sekali untukku."

"Aku sudah bertemu dengan ibuku, om. Tidak ada jalan lain untuk menghentikanku baik dirimu, Arion ataupun Baron. Hanya aku yang akan ditakdirkan untuk dunia ini."

Jleb

Jleb

Jleb

Erangan Chandra terdengar di seluruh penjuru rumah Rayn. Rayn tidak akan melakukan kesalahan yang sama lagi yaitu membiarkan musuhnya tetap hidup meskipun dalam awang-awang kekejaman Rayn.

"Pikir dulu sebelum bertindak!" Tegur Rayn pada Chandra yang sudah tidak bernyawa.

"Lo nakal." Rayn hanya tersenyum pada Steve yang mengacak-acak puncak kepalanya.

"Lo seharusnya masih di rumah sakit. Udah kabur terus bunuh ayah sendiri lagi." Rayn mengernyit heran.

"Ayah sendiri? Aku nggak punya ayah sejak dulu."

"Lo udah ketemu Berlina?"

Rayn menggeleng kecil, ia tidak akan sanggup jika melihat Berlina. Hatinya sudah terlanjur sakit karena dikhianati kedua kalinya oleh seseorang yang ia sudah anggap keluarganya sendiri. Mungkin ia bisa menerima pengkhianatan Caily tapi tidak Berlina, ia bersama Berlina sejak kecil. Mereka berdua tumbuh bersama dan belajar bersama.

"Dia kemarin hampir bunuh diri karena ngerasa bersalah."

"Kenapa dia ngelakuin itu? Kenapa dia bohongin aku, Steve?"

"Berlin pasti punya alasan." Rayn mengangguk kecil, ia mengambil handphonenya untuk menelpon seseorang agar membereskan semua kekacauan disini.

"Aku harus pergi."

----

"Pah?"

Seorang lelaki tua dengan anaknya yang kini sedang duduk di sampingnya menemani. Lelaki tua itu membuka matanya perlahan, mencoba mengingat semua kejadian yang dia alami.

"Kita harus membunuhnya."

"Kenapa papa selalu ingin bunuh dia?" Lelaki tua itu beranjak dari tidurnya. Ia menyentuh dadanya sambil menangis.

Third GenerationTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang