Part 4 | Bunga Matahari dan Dendam

151 49 25
                                    

Galen memasuki rumah mewah bergaya arsitektur Amerika klasik. Ia membuka pintu mewah itu dan mendapati sang nenek sedang menata vas bunga di ruang tamu. Galen pun mendekat, berniat membantu sang nenek menata semua vas bunga.

"Nek," sapa Galen yang dibalas senyuman. Ia lantas menyalami tangan yang telah keriput itu. Meskipun telah keriput, tetapi genggaman dari tangan itu membuatnya nyaman. "Galen bantu, ya, Nek."

Tanpa menunggu persetujuan, Galen segera membantunya. Sejak kecil, Galen senang sekali membantu Suni, neneknya.

"Kamu nggak capek emang?" tanya Nenek Suni sembari menatap cucunya.

Galen menggeleng. "Nggak ada kata capek kalau soal Nenek," jawabnya.

Nenek Suni terkekeh pelan. Cucunya yang satu ini memang sangat pengertian kepadanya. Perilaku cucunya mengingatkannya pada seseorang. "Dulu, almarhumah ibu kamu suka banget sama bunga," kata Nenek Suni tiba-tiba di sela-sela aktivitasnya.

Galen menoleh. Merasa tertarik dengan topik pembicaraan neneknya.

"Setiap pulang sekolah pasti selalu bawa bunga," kata Nenek Suni lagi.

Galen tersenyum. Ia membayangkan dirinya melihat sang ibu tengah merangkai bunga dan ia turut membantunya. Khayalan yang menyenangkan dan hangat.

"Mama paling suka bunga apa, Nek?" tanya Galen ingin tahu.

Nenek Suni tersenyum. "Bunga matahari," jawabnya.

Galen mengernyit. "Kenapa bunga matahari?" tanyanya tak mengerti.

"Ada filosofinya," balas Nenek Suni seraya menatap Galen. "Nenek juga sama sepertimu dulu. Selalu bertanya-tanya kenapa mama kamu suka banget bunga matahari. Hampir setiap hari mama kamu kasih bunga itu untuk Nenek," jelasnya lagi dengan mata berkaca-kaca.

Galen paham. Ada pancaran kesedihan di sepasang netra neneknya. Ada rasa rindu yang tidak dapat ditahan.

"Mamamu bilang, bunga matahari melambangkan ketulusan dan kesetiaan. Dia kasih bunga itu ke Nenek sebagai bentuk rasa sayang yang tulus untuk Nenek. Dan dia bilang, rasa sayang itu akan selalu ada, bahkan ketika dia sudah tidak ada lagi di bumi."

Setetes air mata jatuh begitu saja dari sepasang netra Suni. Kenangan-kenangan tentang Arumi yang selalu memberinya bunga matahari terputar begitu saja di kepala. Sudah lama. Rasanya sudah lama ia tidak menerima bunga matahari dari putrinya. Ia sangat merindukannya.

Galen tersenyum mendengarnya. Bisa Galen rasakan betapa tulusnya sang ibu. "Mama punya hati setulus itu, ya, Nek?" lirihnya.

Suni mengangguk. Di antara anaknya yang lain, memang hanya Arumi yang berhati tulus. "Mama kamu seringkali merelakan kebahagiaannya demi kebahagiaan orang lain. Di antara om dan tantemu, hanya mama kamu yang selalu mengalah tentang apa pun. Makanya Nenek merasa sangat kehilangan."

Galen lantas memeluk tubuh neneknya erat. "Mama pasti udah bahagia di sana, Nek," ucapnya dengan suara parau.

Tidak hanya Suni, Galen pun turut merindukan mamanya.

Tangan Galen membelai lembut punggung Suni. "Mulai sekarang, Galen yang akan menggantikan mama. Galen yang akan kasih bunga matahari untuk Nenek."

GALENDRA [TERBIT] ✔️Wo Geschichten leben. Entdecke jetzt