Prolog

28 9 3
                                    

Beberapa tahun yang lalu

Pagi itu matahari bersinar terik, membuat Embulina tergiur untuk merebahkan tubuh di teras. Ia berguling sejenak, membiarkan sisi tubuhnya yang lain disengat sinar mentari.

Ah, indahnya. Embulina memejamkan mata dengan perlahan. Bulu-bulu putihnya menari ditiup angin sepoi-sepoi, begitu pula dengan kain-kain yang tergantung pada temali jemuran. Ia yakin, sebentar lagi dirinya akan terbang ke dunia mimpi ....

Shyuuuu.

Kedua kelopak mata Embulina sontak terbuka lebar. Kucing itu duduk siaga; nyaris saja ia mengeluarkan cakarnya secara refleks. Kali ini angin agak kurang bersahabat. Dari sudut mata, sebuah kain ringan tertiup hingga terbang melintasi pagar—

Sapu tangan milik tuannya! Embulina tak mungkin membiarkan benda itu terbang jauh. Kucing yang belum genap berusia satu tahun itu lantas menegakkan tubuh dan berlari. Ia lalu melompat, menyusuri dinding pagar, berpijak pada aspal, menghambur menuju arah utara, hingga akhirnya beranjak ke arah sapu tangan itu mendarat.

Embulina baru saja hendak melangkah mendekat ketika suara geraman terdengar.

"Mau ke mana kau, kucing kecil?"

Mula-mula Embulina melihat pantulan bayangan pada genangan air; kedua telinga tegak, moncong berwarna gelap yang berkedut-kedut, serta tatapan tajam mengarah padanya. Perlahan tapi pasti ia mendongak ... dan lantas berhadapan dengan seekor anjing yang memiliki tinggi tiga kali lipat dibandingkan dengan dirinya. 

Kucing itu menelan ludah. Keempat kakinya bergerak mundur perlahan. Kepalanya tertunduk waspada.

"Jawab aku." Suara itu dalam dan mengancam. "Mau ke mana kau, kucing kecil?" Figur tanpa bulu itu kian mengikis jarak dan menyeringai. Tak hanya menampakkan taring serta gusi, ia juga melambatkan deru napas. Sebuah ciri dari seekor pemangsa, Embulina meyakini hal itu.

Geraman lagi. Kali ini, anjing cokelat itu seakan menegaskan bahwa ia tidak main-main. Tubuh kecil Embulina bergetar. Bulu-bulu putihnya meremang. Mungkinkah ia memasuki daerah kekuasaan anjing itu? Kalaupun demikian, bukanlah hal sulit bagi anjing itu untuk mengejar tubuh Embulina terutama dengan keempat kaki yang tinggi serta ramping.

Embulina bersumpah, sang lawan sama mengerikannya dengan sosok yang kerap ia lihat dalam film-film yang ditonton tuannya. Malah lebih mirip dengan serigala ....

Tak jauh dari kaki depan si anjing cokelat, kain sapu tangan berwarna putih tergeletak. Kini warnanya tak lagi putih pun tak lagi kering. Kain itu seakan nyaris ditelan oleh genangan air ....

Satu langkah lagi dan sapu tangan itu mungkin akan kotor seluruhnya.

Sebuah senjata Embulina luncurkan, berharap anjing itu akan melangkah mundur sejenak. Bukan senjata—bentuk perlindungan diri, tepatnya. Namun, sang lawan malah tertawa meremehkan.

"Hahahaha! Bagus, bagus. Selain mendesis, kau bisa apa lagi? Sini, tunjukkan padaku."

Embulina menghela napas dengan berat. Benaknya berteriak, tapi mulutnya tidak. Alih-alih bersuara, ia hanya mendesis lirih.

"Aku hanya ingin mengambil sapu tangan milik tuanku! Kumohon jangan menginjaknya!"

Dua detik, empat detik ... Embulina sengaja sedikit mengulur waktu dan menunggu kalau-kalau seorang manusia dapat melerai mereka. Syukur-syukur si pemilik anjing membawa serta peliharaannya itu. Ia pun menoleh ke berbagai sisi dan mendapati hanya ada mereka berdua di pertigaan itu.

"Hei, kubilang tunjukkan padaku seluruh kemampuanmu!" Detik berikutnya, taring demi taring si anjing cokelat kembali terlihat.

Clak. Kain itu kini telah merembes sepenuhnya ke dalam kubangan.

Embulina memejamkan mata rapat-rapat. Bayangan tuannya memasukkan berbagai kain ke dalam mesin cuci, menjemur sembari bersenandung riang, serta kala menggunakan sapu tangan itu ketika mengelap keringat berkelebat dalam ingatannya. Demi kumis kucing Sphinx, ia hanya memiliki satu kesempatan untuk membawa pulang sapu tangan itu.

Embulina terlampau sibuk dalam lamunan kala sang anjing melangkah mendekat ke arah kucing malang itu, inci demi inci. 


Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Embulina & Embulono: Bulu KesayanganWhere stories live. Discover now