3) Menghindar

12 3 1
                                    

Lina mengembuskan napas panjang. Ia menjawab seraya becermin melalui permukaan kolam.

"Kau masih ingat ceritaku tentang anjing yang membuatku takut?"

Ono berpikir sejenak sebelum menjawab. "Ah, iya. Yang dulu kau temui di pertigaan itu? Anjing yang untungnya sudah tak ada lagi di sekitar sini?"

"Benar. Mereka memiliki persamaan, No. Tidak persis, memang, tapi keduanya sama-sama tak berbulu dan bermoncong gelap."

Embulono kemudian termenung sejenak. "Tunggu. Kau yakin mereka tak berbulu? Maksudku, bisa saja mereka memiliki bulu yang sangaaat pendek." Sepenuh hati ia berharap pertanyaannya dapat mengurangi kesedihan Lina. Baginya, tak apa ia menjadi sasaran kemarahan sang pacar daripada harus melihat kucing betina itu dilanda kesedihan.

Di tempatnya, Lina hanya mengembuskan napas panjang. Kepalanya tertunduk seakan menyadari sebuah kesalahan. "Intinya begini. Aku bukannya tak ingin berkenalan dengan Kimi, tapi aku hanya perlu waktu yang tepat untuk bisa mengobrol dengannya."

Embulono memiringkan kepala seolah tak memercayai perkataan Embulina. Pikirnya, kucing putih itu sekadar malas memiliki kenalan baru. "Begitu rupanya. Baiklah. Aku mengerti." Detik selanjutnya, ia mengayunkan kedua kaki belakang hingga berada tepat di samping Lina.

Sang kucing jantan mengedipkan mata amat perlahan, lalu dibalas si betina. Berpadulah mereka dalam afeksi satu sama lain—saling ndusel-ndusel seiring dengkuran yang terdengar kian jelas. Keduanya memejamkan mata, larut dalam kerinduan yang akhirnya dapat terluapkan.

Namun, tak lama kemudian ....

"Hei! Menjauh dari ikan-ikanku! Husss!"

Segayung air lalu diarahkan pada mereka.

"Uh, sial."

"Gawat!"

Cpraaat.

Baik Embulina maupun Embulono bergerak di saat yang tepat. Ini bukan kali pertama mereka diusir oleh si pemilik kolam. Biasanya, rumah tersebut memang jarang dihuni sehingga sejoli berbulu itu gemar menghabiskan waktu di sana tanpa gangguan.

"Lho? Embulina? Kamu di mana?" Si kucing jantan kebingungan mencari pasangannya. Benar-benar aneh. Biasanya, mereka kompak berlari menuju arah yang sama, tujuan yang sama.

"Embulinaaa?" Ono belum menyerah sedikit pun. Tidak biasanya Embulina tiba-tiba menghilang begini ... atau ia ingin balas berbuat usil?

Di atas atap suatu rumah, Embulina menatap Embulono dengan sendu. Sebagian dari dirinya ingin kembali bergabung dengan Embulono, sedang sebagian dirinya yang lain merasa begitu malu.

Tidak, pikir Embulina. Tidak seharusnya Embulono tahu hal ini. Aku belum siap mengatakan padanya tentang kondisiku sekarang. Ia lantas memejamkan kedua mata cukup lama dan berjalan mundur. Maafkan aku, Embulono.

○●○

"Kau terlihat lebih kurus, Embulina."

"Be-benarkah?"

Merasa salah tingkah, kucing berbulu putih itu membersihkan kaki depan sejenak. Kendati sempat memutuskan untuk pulang lebih dulu, kucing itu mengurungkan niatnya dan kembali menemui Embulono.

"Maaf. Tadi kalungku sempat tersangkut di dedaunan. Uh. Menyebalkan."

Si jantan sontak tertawa; tak menyadari Embulina baru saja berdusta. "Astaga. Maaf. Tentu saja itu menyebalkan."

Embulina menundukkan kepala. Ia lantas teringat momen yang jatuh pada beberapa bulan lalu. Kala itu, ia mengeluhkan sang tuan yang biasanya memanggil dirinya dengan 'Lina' tiba-tiba memanggilnya dengan 'Embulina'.

"Memangnya aku segemuk itu? Dasar manusia, mengatai kucing sebebas mereka. Aku disebut gemuk lah, embul lah, sekarang namaku malah jadi Embulina."

Ono terkekeh sejenak. Ia kemudian menyejajarkan langkah dengan sang pacar sebelum berkata, "Sudahlah, biar saja."

"Kau tidak tahu betapa kesalnya aku, Ono!"

Ono terkekeh lagi. "Begini saja. Kau Embulina, aku Embulono. Kau bisa panggil aku Embulono sebebas yang kau mau. Lagipula, kenyataannya memang aku yang lebih gemuk. Bagaimana?"

Lina menghentikan langkah. Ia menatap Ono tepat di manik mata. Perlu beberapa sekon hingga akhirnya kucing betina itu menanggapi. "Hm. Baiklah."

Itulah sebabnya kucing betina itu merasa bersalah karena tengah menutupi suatu hal. Belum lagi, Embulono baru saja mengatakan dirinya terlihat lebih kurus.

Bahkan, sang tuan[1] pun mengatakan hal serupa.

"Besok ditimbang ya, Embulina. Kita cek kesehatan kamu," ujarnya seraya memberi makanan basah serta mengisi air minum untuk kucing betina itu.

Embulina mengeong pelan sebelum mulai melahap isi mangkuknya. Bukannya tidak senang, hanya saja ia tak yakin pemeriksaan besok akan berlangsung singkat.

Suara lain lantas menimpali. "Sayang, kamu merhatiin nggak, Embulina makin sering garuk-garuk?"

Memang, jawab si kucing berbulu putih dalam hati. Inilah kenapa aku juga lebih sering menghindari Embulono. Ia lantas kembali menggaruk tubuh menggunakan kaki belakang. Tolonglah aku. Aku menderita kalau begini terus, tahu.

"Oh, iya juga ... apa jangan-jangan dia kutuan, ya?"

HA! Ke mana saja kalian selama ini, manusia lalai? Embulina setengah menggeram. Memang itu yang terjadi padaku. Tapi ... kuharap kalian masih sudi menampungku di rumah ini. Kalian tidak jijik padaku, kan?

 Kalian tidak jijik padaku, kan?

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Keterangan:

[1] Baik laki-laki maupun perempuan yang merawat Embulina disebut 'tuan' (kebetulan mereka pasangan suami-istri). Semacam bentuk keterbatasan kosakata dalam dunia hewan di cerita ini. Hal ini berlaku pula pada Embulono dan juga Kimi.   

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Feb 03 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Embulina & Embulono: Bulu KesayanganWhere stories live. Discover now