Bab 14

5 0 0
                                    

Pasca mengenal Valen, Indra mempunyai satu kebiasaan baru. Dia jadi suka nongkrong di warung dekat SMA Ceper sepulang sekolah. Alasannya hanya satu. Dia ingin melihat senyuman Valen dari kejauhan.

Perempuan itu tidak begitu tinggi. Wajahnya tirus dengan mata yang agak sipit. Kulitnya putih bening dan terawat. Tampilannya sederhana tapi anggun. Cocok banget deh dengan kriteria perempuan yang disukai oleh Indra.

Setiap hari, Indra mencoba mengulik informasi baru tentang Valen. Di mana alamatnya? Apa hobinya? Apa makanan kesukaannya? Dan hal-hal yang tidak begitu penting lainnya. Kuping Ceper sampai panas setiap kali dia mendengar pertanyaan-pertanyaan Indra.

“Gue bukan ibunya. Jadi, gue nggak tau sedetail itu tentang Valen,” ucap Ceper pada saat itu. “Santai aja, Per! Nih, minum es dulu biar pikiran lo adem! Gue traktir,” jawab Indra dengan santainya setiap kali Ceper merasa kesal.   

Ngomong-ngomong, Ceper tidak meminta bantuan Indra secara cuma-cuma. Dia adalah tipe orang yang bepikir bahwa tidak ada yang gratis di dunia ini. Karena itulah, dia meminta bayaran berupa sebungkus rokok kretek kesukaannya serta es dawet untuk setiap informasi yang dia berikan.

Setelah mengulik-ulik informasi secara diam-diam ke teman-temannya, Ceper akhirnya mendapatkan informasi yang selama ini diinginkan oleh Indra. 

“Dia belum punya pacar, Ndra. Tapi …” 

“Lo serius?”

“Eh, Monyet! Dengerin omongan gue sampai selesai dulu. Baru lo bicara!”

“Tapi gimana?”

“Dari yang gue dengar, si Valen lagi dekat sama Dion. Pemain basket jagoan di SMA gue. Katanya sih mereka bentar lagi jadian,” ucap Ceper sembari menghisap rokok kretek pemberian Indra.

“Wah, gua nggak bisa biarin gitu aja!” Indra tiba-tiba menggebrak meja dengan ekspresi wajah yang kecut. Semua pelanggan warung itu sontak menoleh ke Indra. Namun, Indra tidak menggubris mereka sama sekali.

“Lo mau apa emangnya, Ndra? Saran gue sih, lo cari cewek lain aja!”

“Kenapa lo bilang gitu? Emangnya gue nggak pantes buat si Valen?”

“Enggak gitu. Si Dion bukan orang biasa. Dia anak pejabat. Jangan cari masalah sama dia! Bakal panjang urusannya! Salah satu teman gue aja kemarin bonyok dan masuk rumah sakit gara-gara dia gak terima pacarnya diajak clubbing sama si Dion.”

Dalam hati, Indra bisa menduga bahwa si Dion adalah cowok yang brengsek. “Trus, kenapa Valen mau dekat-dekat dengan cowok gak bener itu?” Indra kembali bertanya dengan segudang rasa penasaran.

“Masalahnya bukan mau atau nggak mau. Si Dion itu orangnya manipulatif. Gue yakin kalau si Valen aslinya juga nggak mau deket-deket sama tuh bajingan. Tapi, dia enggak bisa nolak karena Dion selalu menghalalkan berbagai cara untuk mendapatkan yang dia mau.”

“Maksud lo gimana?”

“Dulu pernah ada cewek di sekolah gue yang gak mau pacaran sama Dion. Entah dari mana awal mulanya, cewek itu dirumorkan sering Open BO sama om-om. Gosip bisa menyebar cepat gitu aja, padahal itu  Karena nggak kuat dengan tekanan di sekolahnya, dia pun pindah. Jujur, kasihan banget gue sama cewek itu,” ucap Ceper dengan nada yang agak emosi.

Mendengar ucapan Ceper, tekad Indra untuk mendekati Valen jadi bertambah kuat. Dia tidak ingin membiarkan perempuan itu pacaran sama si Dion. “Makasih buat hari ini, Per. Gue mau cabut dulu,” ucap Indra mengakhiri perbincangan hari itu.

***

Valen tinggal di sebuah kompleks perumahan yang cukup elit. Indra tahu itu karena dia suka jalan-jalan melewati tempat tersebut di sore hari. Selain untuk membunuh rasa bosan, dia berharap bisa melihat perempuan itu saat dia melintas di depan rumahnya.

Suatu ketika, Valen menyadari bahwa cowok yang suka mondar-mandir di depan rumahnya adalah si Indra. Ketika Indra menyapanya dengan senyuman, Valen langsung memasang wajah kecut. Tampaknya, dia risih karena ada yang menguntitnya.

Bukan Indra namanya kalau dia menyerah begitu saja. Tidak peduli berapa banyak penolakan yang dia terima, dia tidak akan mundur begitu saja. Dia percaya dengan pepatah Jawa klasik tresno jalanan soko kulino yang berarti cinta datang karena terbiasa.

Sore itu, Indra kebetulan melihat Valen berjalan-jalan di sekitar rumahnya bersama dengan anjing lucu peliharaannya. Perempuan itu mengenakan kaos oblong warna pink dengan celana pendek. Rambutnya masih dikuncir seperti biasa.

Indra memelankan motornya ketika dia berada di dekat Valen. “Selamat sore, Valen!” ucapnya sembari memasang senyum selebar-lebarnya. Valen tidak menggubris. Dia malah sibuk mengusap-usap bulu anjingnya.

Indra tetap tidak bergeming dari situ. Setidaknya, dia masih menunggu sampai Valen mau mengeluarkan sepatah dua patah kata. Lima menit berlalu. Sepuluh menit berlalu. Lima belas menit berlalu.

Baru, Valen akhirnya mau menatap wajah Indra. Tentunya, tatapan matanya sangat sinis. “Lo emangnya nggak ada kerjaan? Apa sih yang lo mau dari gue?” teriaknya dengan suara yang agak lantang. 

“Kan, gue udah bilang kemarin kalau gue suka sama lo. Gue cuma pengen ngelihat senyuman lo aja,” ucap Indra. 

Valen melenguh sejenak lalu tersenyum dengan ekspresi wajah yang masih kecut. Permintaan Indra sudah terkabul. “Nih, gue udah senyum. Lo sekarang pergi atau gue panggil Pak RT karena lo udah ganggu ketertiban di kompleks ini.”

“Nah, gitu. Kalau lo senyum, lo kan jadi makin cantik. Iya, gue pergi sekarang juga. Sampai jumpa di lain hari!” Indra melambaikan tangannya lalu memacu motornya kembali motornya.

Ketika Indra menengok kaca spion, dia melihat Valen masih berdiri di tempatnya sembari memeluk anjingnya. Entah benar atau hanya perasaannya aja, dia sepertinya melihat perempuan itu tersenyum. Kali ini tulus. Tidak dibuat-buat.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruWhere stories live. Discover now