Bab 22

18 2 0
                                    

Liburan panjang telah usai. Anak-anak kembali masuk sekolah di semester baru. Mereka tampak kurang begitu bersemangat karena mereka masih terbawa suasana liburan. Karena itulah, proses belajar mengajar di hari pertama masih belum efektif.

Melihat wajah murid-muridnya yang ceria, Indra bisa melupakan kesedihannya untuk sementara waktu. Dia meminta mereka untuk maju ke depan secara bergantian dan menceritakan pengalaman liburan mereka.

Cerita-cerita mereka sangatlah beragam. Ada yang lucu dan juga ada yang bikin Indra merasa iri. Contohnya adalah kisah si Zaky yang diajak liburan ke Singapura oleh kedua orang tuanya. Kebetulan, orang tuanya sedang ada perjalanan bisnis saat itu.

Bimo beda lagi. Dia tidak terlalu suka pergi jauh-jauh dari rumah. Sebagian besar waktu liburannya dihabiskan untuk bermain Free Fire sembari menonton acara streaming salah satu Youtuber favoritnya.

Yang paling lucu adalah pengalamannya si Fajar. Bagi anak itu, bukan liburannya yang seru, tapi wisata kulinernya yang membuat Fajar merasa senang. Dia sempat berlibur ke salah satu pantai di luar kota. Di sana, dia makan bakso yang menurutnya sangat enak.

Seharian penuh, Indra hanya mengajak anak-anak untuk bermain dan bercanda satu sama lain. Sesekali, dia menanyakan beberapa pertanyaan seputar topik-topik menarik yang bisa memberikan stimulus positif agar mereka jadi tertarik untuk belajar.

Meskipun pertanyaan itu tidak relevan dengan mata pelajaran di sekolah, Indra merasa bahwa cara tersebut bisa memancing nalar kritis mereka dalam berpikir. Dia ingin mendorong anak-anak untuk lebih aktif dan berani berpendapat.

“Pembelajaran hari ini cukup itu saja ya, anak-anak. Kita sambung besok lagi,” ucap Indra ketika bel pulang sekolah telah berbunyi. Anak-anak sibuk berhamburan keluar kelas dengan ekspresi yang riang gembira.

Selepas keluar dari ruangan, Indra sempat berdiri di teras. Perhatiannya tertuju pada gadis mungil berjalan tergesa-gesa menuju pintu gerbang. Gurat wajah gadis itu memang sangat persis dengan Valen. Namun, kedua matanya terlihat lebih bulat.

Indra sebenarnya sangat ingin menemui Valen. Ada banyak hal yang harus dia bicarakan, tetapi dia belum mendapatkan momen yang pas. Dia bisa saja menunggu Valen di depan pintu gerbang atau meminta nomor Valen yang ada di arsip sekolah dan mengajaknya bertemu.

Namun, Indra menganggap bahwa tindakan itu tidaklah etis mengingat profesinya sebagai seorang guru. Satu hal lagi yang membuat dia jadi bertambah ragu adalah sikap Valen yang seolah-olah enggan menemui Indra.

Tatapan dingin Valen pada hari itu masih terekam jelas di ingatan Indra. Sungguh sebuah ironi. Mereka yang dulunya pernah dekat kini berubah menjadi orang yang asing.

***

Malam hari ini, warung nasi goreng Indra sangat ramai. Sekitar sebulan yang lalu, Indra sempat meng-endorse salah satu food vlogger lokal yang punya reputasi bagus. Walaupun biayanya lumayan mahal, dampaknya jauh melebihi perkiraan Indra.

Para pengunjung baru semakin bertambah dari hari ke hari karena mereka tertarik dengan menu nasi goreng Indra yang beraneka ragam, mulai dari nasi goreng seafood, nasi goreng sayur, hingga ada nasi goreng khas dari negara lain seperti Jepang dan Thailand.

Indra jadi berpikir untuk membuka cabang baru di titik yang berbeda. Namun, dia masih perlu persiapan yang cukup banyak karena dia harus menyewa tempat hingga merekrut serta melatih pegawai baru.

Salah satu dari sekian banyak pengunjung yang datang malam ini adalah Bu Citra. Sesuai janjinya, dia mampir ke warung Indra untuk mencicipi cita rasa nasi goreng buatan Indra. Dia turut membawa beberapa teman perempuannya.

“Mau pesan apa, Nona Cantik?” tanya Indra dengan nada yang agak genit. Wajah Bu Citra mendadak bersemu merah hingga dia jadi salah tingkah untuk sesaat. Lantas, dia menyebut menu yang ingin dia pesan untuk dia dan teman-temannya.

“Ditunggu ya, Chef Indra!” sahutnya lalu menghampiri teman-temannya yang duduk manis di bangku yang sudah disiapkan oleh Indra.

Ketika Indra sibuk membuatkan nasi goreng untuk mereka, dia sengaja mencuri-curi dengan pembicaraan Bu Citra dan teman-temannya. Celetukan salah satu teman Bu Citra sempat membuat Indra jadi grogi.

“Eh, Cit … teman lo ganteng juga ternyata. Kenalin ke gue, dong!” katanya.

“Kenalan aja sendiri! Orangnya ada di sana, tuh.” Bu Citra menjawab dengan suara yang agak ketus.

“Lo kok gitu, sih? Jangan-jangan, lo suka ya sama dia?” sahutnya lagi. Bu Citra tidak berkutik saat dia ditembak langsung dengan pertanyaan tersebut. Dia mencoba menyangkalnya dengan reaksi malu-malu kucing.

“Jadi, benar dugaan gue, kan? Ternyata orang itu yang sering lo ceritakan ke kita semua.”

Entahlah, ada rasa bahagia yang tiba-tiba menyembul di hati Indra. Dia baru tahu kalau Bu Citra ternyata suka membicarakannya. Di mata Indra, ekspresi Bu Citra pas malu-malu terlihat sangat imut.

Karena suasana saat itu sedang ramai, Bu Citra dan teman-temannya perlu menunggu sekitar lima belas menit sampai pesanan mereka diantar. Mereka tampak kelihatan puas saat menikmati nasi goreng buatan Indra yang kaya akan cita rasa.

“Saya kasih rating 9,9 buat masakan kamu, Mas. Enak banget. Jadi pengen nambah,” Bu Citra menyeletuk spontan. 

“Tenang. Stok masih banyak kalau kamu pengen nambah,” balas Indra.

“Bercanda, kok! Saya sudah kenyang. Nanti jadi gendut kalau kebanyakan makan. Jadi, berapa totalnya, Mas?”

“Hari ini gratis khusus buat kamu dan teman-temanmu.”

“Loh? Aku jadi nggak enak, Mas. Nih, aku bayar aja.”

“Udah enggak usah. Aku seneng banget kok kamu mampir ke sini. Tulis aja ulasan yang bagus tentang warung ini dan bagikan ke media sosial kamu sebagai ganti bayarannya,” jawab Indra sembari menolak uang pemberian Bu Citra. 

Teman-teman Bu Citra kelihatan bersyukur karena mereka bisa makan gratis malam ini.

“Makasih banyak, Mas Indra. Kapan-kapan, aku yang ganti traktir kamu aja.”

“Sip,” tukas Indra mantap. Bu Citra dan teman-temannya lantas pergi meninggalkan warung Indra. 

Belum pukul sembilan malam, nasi goreng Indra sudah hampir habis dan menyisakan beberapa porsi lagi. Pengunjung pun mulai kelihatan sepi dari beberapa saat yang lalu. Indra beserta Yono rehat sejenak sembari merokok.

“Cewek yang tadi cakep banget, Ndra. Itu si Bu Citra yang sering lo ceritakan ke gue?” tanya Yono penasaran. Indra mengangguk. 

“Kelihatannya kalian berdua cocok banget. Segera lamar deh sebelum keburu dipinang orang!” celetuk Yono sembari tertawa. 

“Lo udah mirip ibu gue aja. Menikah gak segampang itu, Yon. Gue dan Bu Citra emang dekat, tapi gue sepertinya masih belum siap untuk menjalin rumah tangga buat saat ini,” balas Indra dengan santai.

Ketika mereka sibuk berbincang-bincang, Indra tanpa sengaja melihat satu sosok perempuan yang sangat dikenalnya. Dia dibonceng oleh seorang laki-laki yang bertubuh tegap. Sayangnya, Indra tidak bisa melihat wajah lelaki itu karena dia mengenakan helm.

Pikiran Indra kembali melayang kemana-mana. Hati kecilnya masih sulit menerima kenyataan bahwa Valen sudah berkeluarga. Terbesit pula rasa cemburu di dalam dirinya.

“Ndra … lo masih sadar?” ucap Yono yang terheran-heran melihat Indra yang terdiam beberapa menit tanpa ekspresi. Karena anak itu tidak merespons, Yono menepuk bahu Indra dengan sangat keras sembari mengucap basmalah.

“Auww .. apaan sih lo, Yon? Sakit cuk!” Indra refleks mengeluarkan kata-kata kotor sembari mengelus-elus bahunya yang tadi ditepuk Yono. 

“Lo kenapa sih tiba-tiba bengong gitu?” Yono masih penasaran. Dia berusaha untuk memastikan bahwa Indra tidak kerasukan arwah gentayangan.

“Nggak apa-apa, Yon. Bukan urusan lo!” jawab Indra dengan suara yang ketus. Gurat wajahnya tiba-tiba saja berubah jadi tidak bersahabat. Yono pun terdiam karena dia tidak mau membuat Indra jadi tambah emosi.

Karena suasana hati Indra mendadak jadi bad mood, dia jadi pengen cepet-cepet pulang. Yono bergegas mengemasi barang-barang mereka sesuai perintah dari Indra. Dalam hati, dia masih menyimpan kecurigaan bahwa Indra lagi kesambet setan.

Begini Rasanya Jadi Pak GuruWhere stories live. Discover now