9. Ngunduh Mantu

4.4K 512 15
                                    

Ternyata apa yang dikatakan sepupuku tempo hari, ada benarnya juga. Acara nikahan di sini ternyata lebih capek daripada saat di Jakarta.

Mataku sudah berkunang-kunang, keluar keringat dingin, bahkan aku hampir muntah di pelaminan. Kalau saja Prabu Hanenda nggak segera sadar, mungkin aku sudah pingsan dan semakin bikin heboh.

Nggak lagi memedulikan acara yang masih berlangsung, aku dibawa masuk ke kamar. Bajuku dilepas karena aku susah bernapas. Setelah diberi air teh hangat dan dipijat, aku mulai bisa merasa hangat lagi. Ibu memijat kakiku sambil sesekali membantu aku minum.

“Udah, kamu ke depan lagi aja, Pra. Kasihan tamu-tamunya ditinggal sama pengantin,” kata Ibu pada Prabu Hanenda yang berdiri kebingungan di kamarnya sendiri.

Kami ada di kamar bujangnya, yang tentu saja sudah dirapikan. Kasurnya baru, karena kasurnya dulu katanya masih kasur kapuk, dan setelah bertahun-tahun nggak dipakai, tentu jadi keras dan nggak nyaman dipakai.

Semalam saat kami hendak tidur, Prabu Hanenda mulai sedikit membuka tentang cerita hidupnya. Dimulai dari kamar ini, yang dulu setiap hari akan dibersihkan oleh mendiang ibunya. Buku-bukunya adalah pemberian dari sang ibu, yang selalu menemaninya belajar hingga membuatnya jadi anak yang pintar di sekolah. Salah satu pemberian terbaik dari ibunya yang masih ada hingga saat ini adalah cangkul kecil yang disimpannya di rumah kami. Katanya, dulu ia sering membantu ibunya menanam di pekarangan rumah. Entah itu sayuran, atau bunga-bunga yang cantik. Lalu ia diberi cangkul kecil, karena ibunya takut Prabu Hanenda terluka karena cangkul yang besar.

Sejak saat itu, Prabu Hanenda tumbuh jadi anak yang suka menanam. Saat Bapak pergi ke kebun, ia akan ikut untuk sekadar melihat-lihat, nggak jarang mengganggu. Tapi biarpun begitu, Prabu Hanenda jadi tahu bagaimana cara berkebun yang benar.

Kenangan tentang sang ibu banyak ada di kamar ini, tapi Prabu Hanenda lebih memilih pergi dari rumah ini, saat ia merasa tidak lagi menyenangkan di rumahnya sendiri.

Aku tahu, pasti sulit menerima kehadiran orang baru. Orang yang baik saja belum tentu membuat kita nyaman, apalagi yang tipikal seperti ibu tirinya itu. Kalau saja bisa, aku juga memilih Prabu Hanenda yang nggak punya ibu tiri.

“Bapak nggak ngelarang Mas Prabu buat pindah?” tanyaku semalam.

“Ya, dilarang. Tapi saya tetap mau pindah. Dulu pindahnya ke rumah Mbah Uti, mbah dari Ibu. Tapi sekarang Mbah Uti juga sudah nggak ada.”

“Terus, yang bangun rumah Mas itu, siapa?”

“Tanah itu memang tanahnya Ibu. Memang yang beli Bapak, tapi diberikan untuk Ibu. Jadi sewaktu Ibu meninggal, Bapak kasihkan tanah itu untuk saya. Tanah warisan Ibu yang dari orangtuanya, dibeli Pakde saya. Uangnya dipakai untuk nyicil bangun rumah. Sedikit demi sedikit, ternyata sampai sekarang belum bisa jadi rumah yang bagus,” katanya dengan senyum kecil di akhir kalimat.

Namun, aku menyangkalnya. “Rumahnya bagus, kok. Emang belum semua temboknya disemen rapi, tapi Mas pinter ngurusnya, rumah nggak kotor, nggak kelihatan kalau itu rumah belum sepenuhnya jadi.”

Temboknya memang belum disemen dengan sempurna, masih kelihatan bata merahnya, tapi memang pengerjaannya rapi, jadi nggak kelihatan kalau rumah itu belum jadi seratus persen. Zaman sekarang, kan, malah banyak rumah yang dibangun dengan konsep setengah jadi begitu. Apa namanya, ya? Aku kurang paham, tapi betulan bagus.

“Terima kasih, tapi saya janji, nanti pasti dibikin yang lebih bagus. Sesuai kemauan Adek,” katanya sambil mengusap tanganku.

Aku menggeleng, menolak gagasannya. “Kalau emang belum ada uangnya, ya nggak usah. Nggak apa-apa, kok. Kayak gitu juga udah nyaman. Bakalan lebih nyaman dan ngebetahin lagi, kalau Mas Prabu nggak pelit ngomong. Biar nggak dikira aku istri yang cerewet,” kataku membuatnya mendengkus, dan aku tertawa melihat reaksinya.

EnchantedWhere stories live. Discover now